Hari libur saya manfaatkan bersama teman-teman pergi ke Lhok Gop, sebuah sungai di pedalaman Kecamatan Bandar Dua, Pidie Jaya (Pijay). Sayangnya, niat kami memanjakan diri dengan sejuk aliran sungai kandas. Lebatnya hujan dua malam lalu membuat debit air sungai meningkat. Warnanya berubah keruh serta bercampur sampah dedaunan.
Akibatnya, kami beralih menuju Pantai TPI Kuala Kiran (Pasi Kiran) di Meunasah (Gampong) Beurembang, Kecamatan Jangka Buya, Pidie Jaya. Inilah pertama kali saya pergi ke sana. Kami membayar biaya masuk Rp 3.000 untuk satu kenderaan roda dua. Uang tersebut dikutip oleh beberapa pemuda tanpa tanda pengenal khusus. Tanpa menerima tiket tanda masuk, kami segera menyusuri jalan dengan lebar sekitar tiga meter itu.
Di pinggir kanan dan kiri berjejeran ratusan sepeda motor. Umumnya pengunjungnya merupakan pemuda dari berbagai wilayah. Ada lima kafe semi permanen di bibir pantai pantai. Bentuknya seperti rumah panggung, bagian bawah dimanfaatkan sebagai tempat tongkrongan. Selain kursi di plastik, pihak kafe turut menyediakan kursi kayu bersambung, khusus untuk dua orang.
Kami memilih duduk di bawah pohon siren (waru). Sesekali berjatuhan bunga kuning. Riuhnya suara burung pipit di pohon itu menemani obrolan kami. Kami cuma bisa memesan minuman. “Makanannya tidak ada, kecuali pop mie,” ujar seorang ibu melayani pesanan kami sambil tersenyum.
Unik
Sambil menunggu pesanan datang, pandangan saya berotasi. Dibandingkan dengan pantai lain, bagi saya Pasi Kiran tidak ada yang istimewa. Pasirnya coklat kental, air lautnya biru kental. Musala terlihat sangat kotor. Debu tebal menutupi ubin, tidak ada sajadah.
Setelah beberapa saat memperhatikan, saya merasa ada yang janggal. Perasaan janggal saya utarakan kepada teman-teman, responnya negatif. Rupanya pengunjung di Pasi Kiran membuat suasana menjadi janggal. Belum pernah saya temukan pantai seperti ini. “Pengunjungnya membludak, tapi tidak nampak perempuan yang mengenakan celana,” bisik saya dalam hati.
Kepala saya semakin cepat melongok ke kiri dan ke kanan. Saya mencoba memastikan kalau di sana memang benar-benar tidak ada pengunjung perempuan bercelana. Hanya seorang perempuan saya lihat bercelana putih longgar. Dia pun bersama temannya hanya berputar-putar, kemudian meninggalkan Pasi Kiran.
Saya sudah mengunjungi beberapa pantai di Aceh. Tidak sedikit pengunjung perempuannya mengenakan celana atau berpakaian ketat. Bahkan beberapa di antaranya melepaskan jilbab. Sedangkan di Pasi Kiran tidak. Pengunjung perempuan di sana rata-rata mengenakan, blouse/gamis longgar, rok, pastinya berjilbab ukuran sedang maupun lebih lebar. Sedangkan pengunjung lelaki bercelana panjang, tidak sedikit yang berkain sarung lengkap dengan peci.
Di Pasi Kiran, jangankan melihat perempuan bercelana, pasangan muda-mudi jarang sekali ditemukan berboncengan di atas motor. Walaupun ada, perempuannya tidak duduk mengangkang. Interaksi perempuan dan lelaki di sana juga terbatas. Padahal tidak ada papan larangan bermesraan. Pengunjung seolah-olah tersugesti untuk saling menjaga ketertiban pantai. Pengunjung berlainan jenis tidak ada yang duduk berduaan.
Akhirnya saya menyimpulkan Pasi Kiran unik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) unik artinya tersendiri dalam bentuk atau jenisnya; lain daripada yang lain; tidak ada persamaan dengan yang lain; khusus.
Ketika memasuki Pasi Kiran, kita akan merasa seperti berada dalam lingkungan dayah. Usut punya usut, ternyata Pasi Kiran banyak diminati murid-murid dayah. Pantai ini sendiri tidak berjauhan dengan kawasan Samalanga, Bireuen. Samalanga dijuluki Kota Santri karena banyaknya dayah di sana. Kepada teman-teman pembaca, kalau ingin merasakan nuansa dayah di pantai, Pasi Kiran adalah tempat yang cocok.
Saya sendiri memahami pelaksanaan syariat Islam tidak hanya dapat diukur dengan pakaian. Menurut saya, kesan pertama seseorang tidak mungkin kita lihat hatinya, tetapi dari caranya berpenampilan. Setidaknya Pasi Kiran telah berhasil menjalankan salah satu dari sejumlah bagian syariat, yakni menutupi aurat. Padahal tidak ada papan larangan berpakaian yang melanggar syariat. Namun masyarakat sudah tersugesti bila ingin ke sana harus berpakaian sopan.
Pasi Kiran layak menjadi contoh bagian pelaksanaan syariat di lokasi piknik. Pengunjung saling menjaga ketertiban. Syariat Islam dapat terlaksana dengan baik apabila masyarakat mendukung sepenuhnya. Oleh karenanya, pemerintah bertanggung jawab mengedukasi masyarakat.
Bereh, hana pakat pakat adeun nyeh, ci jak sigo u sabana Raweu, nyan meulumpah indah untuk ta tuleh. Banyak sejarah terukir di sana sejak zaman dahulu.
Hehe..insha Allah laen kesempatan tajak, Bang. Tapi menyoe Sabana Raweu hana lon tupat.
lam gle tuhan toe pucok krueng Meureudu, di sinan jameun pusat akademi militer Kerajaan Aceh yang geubuka le Tgk Japakeh bersama para mualem/pelatih tentara dari Turki. Coba @furqanzedef baca dalam buku "Pidie Jaya Dalam Lintasan Sejarah" sudah saya tulis panjang lebar di sana.
Geut, Bang. Trimong geunaseeh.