Aceh Jaya dan Segala Keindahan yang Tersembunyi di dalamnya Part 2

in #travel7 years ago

image

Setiap orang punya cerita masing-masing terhadap perjalanannya, baik itu berupa kesenangan maupun yang membuat diri tak ingin lagi menjejakkan kaki disana, sudah kapok mungkin, sekali saja cukup. Begitupun saya, perjalanan menyusuri Sampoineit kali ini dipenuhi oleh emosi, karena adanya kesalahan komunikasi di hari sebelumnya.

Seperti biasa sehari sebelum berangkat kita selalu briefing agar memudahkan perjalanan nantinya, itung-itung mempersiapkan kebutuhan yang diperlukan, dan itu hal wajib bagi saya agar tahu bagaimana kondisi medan yang akan di tempuh nantinya. Saya juga harus mengukur kapasitas saya agar tidak terjadi hal-hal diluar dugaan.

Malam itu saya coba menanyakan informasi sedetailnya, namun jawaban yang saya dapat sedikit mencurigakan sebenarnya. Tapi karena kebanyakan laki-laki yang ikut, akhirnya saya meyakinkan diri kalau semuanya akan baik saja.

“Sir, kalian udah pernah kesana kan? Aman kan? Kakak bisa kira-kira? medan nya berat gak?” saya menghajar Yasir dengan pertanyaan bertubi-tubi.

“Tenang kak, aman tu.. gak jauh kok, paling ke air terjunnya nanti sejam cuma, gak sampe sejam pun” jawabnya meyakinkan saya.

Keesokan harinya pun kami berangkat, menempuh perjalanan sekitar 3 jam dari Banda Aceh sampai ke CRU Sampoiniet, lalu menuju Sungai Ceuraceu, dan terakhir kami akan menempuh perjalanan lagi menuju air terjun Krueng Ayoen.

image

Bila ingin pergi ke air terjun ini kita harus mengendarai motor melewati jalan berlubang, berbatu dan becek, sepertinya baru hujan disini. Waktu tempuh perjalanannya sekitar 30 menit lebih, cukup lah untuk membuat pinggang encok semua.

Kami dipandu oleh 2 orang pemuda setempat, kami membayar mereka Rp 150.000 untuk berdua. Sesampainya disebuah warung kecil kami memarkirkan motor disini karena sudah tak ada jalan lagi untuk jalur kendaraan, kalaupun dipaksakan akan beresiko.

Saya ingat saat itu sudah pukul 2 siang dan kami belum mengisi kekosongan perut yang sudah berontak, dari hasil kesepakatan makan siang akan dilakukan di pinggiran air terjun. Jadilah di warung kecil itu hanya sebagai tempat peristirahatan sementara saja.

image

Lima menit lamanya kami istirahat, perjalananpun dilanjutkan dengan berjalan kaki. Saya sedikit punya firasat buruk kali ini, tiba-tiba saja muncul. Selesai berdoa kami langsung melangkahkan kaki, untuk menuju kesana kita nantinya akan melewati kebun sawit warga dan menyeberangi anak sungai. Untuk menuju kebun warga, kami memanjat pagar bambu yang terbilang rendah dan harus melewati tanah berlumpur yang lengket karena hujan. Baru beberapa langkah saya berjalan setelah memanjat pagar, kaki saya salah mendarat di lumpur dan bencana pun dimulai. Sol sepatu saya lepas, nyangkut dilumpur. Bayangin kalau jalan pakai sepatu tanpa sol sepatu bagaimana menderitanya. Disitu saya dan yang lain hanya bisa tertawa, ya menertawakan kejadian aneh sebagai penawar lelah. Saya beruntung saat itu Zaki punya cadangan sendal gunung yang dibawanya. Sendal itulah yang menjadi penyelamat saya. Lalu sepatu itu? Saya buang, sudah tak berguna jadi tak perlu dibawa pulang. Namun tetap saja terasa tak nyaman karena ukuran kaki kami yang berbeda, sendalnya kebesaran.

Perjalanan sudah menempuh 15 menit, setelah melewati hutan kami ketemu kebun sawit warga namun tidak ada tanda-tanda perjalanan akan berakhir. Tenaga saya sudah tinggal sedikit lagi, tadinya saya berada paling depan, tapi benar kata orang roda berputar akhirnya saya menjadi yang paling belakang. Sementara pemandu yang dua orang tadi mereka sudah berada paling belakang. Tadinya saya jalan berdua dengan Heru, namun berganti dengan Yasir. Tanduk setan saya mulai keluar, karena yang katanya perjalanan tak jauh sepertinya hanya sebuah ilusi. Seperti radio rusak saya mengoceh sepanjang perjalanan.

“Kok gak sampe-sampe, dek? Udah berapa lama ini, katanya gak jauh, Yasir sebenarnya udah pernah pergi belum? Ini pembohongan besar-besaran kayak gini, ahh kan semalam kakak udah tanya kan. Kalau gini rutenya gak sanggup lah kakak, mana kita istirahat sebentar.” Saya kesal bukan main

“Tenang kak bentar lagi kita sampe, siap habis kebunsawit langsung dapat air terjunnya” Yasir menjawab.

“Tau gini gak jadi ikut, itu pemandunya juga, mana orang tu, main tinggal-tinggalin orang aja” sepanjang jalan saya ocehan saya tak ada jeda.

image

image

image

image

Di tengah perjalanan hujan pun turun, nah kalau sudah seperti ini kita harus tetap bergerak agar tidak kedinginan yang nantinya bisa menyebabkan hipotermia, karena menurut cerita yang saya dengar pernah kejadian seperti itu. Langkah saya percepat sampai akhirnya bisa menyusul yang lain, jarak saya sama mereka sekitar 5 menit perjalanan, cukup jauh harus mengejarnya. Tapi itupun kami masih berpencar karena masih ada satu rombongan lagi yang sudah berjalan di depan.

Perjalanan sudah menempuh lebih dari 30 menit tapi tidak ada tanda-tanda akan segera sampai. Tiba-tiba betis kiri saya keram, langsung saya rebahkan tubuh di lumpur pada jalur perjalanan kami, saya tak perduli dengan kondisi tanahnya, saya menjerit sejadi-jadinya. Rasanya seperti digergaji, sakit sekali. Yasir yang tadinya disamping saya langsung lari ke kelompok yang sudah di depan untuk mencari balsem otot, sukur Rikaz membawanya, Bu dokter yang satu itu memang selalu membawa alat perang yang lengkap bila melakukan perjalanan.

Setelah mendapatkan balsem tersebut, Yasir lari lagi ke tempat saya dan menggosokkan balsem di betis kiri yang keram, sementara Yasir pergi tadinya saya ditemani oleh Ruli yang meluruskan kaki agar saya tak merasa sakit lagi. Lama saya menahan rasa sakit, tapi saya coba memaksakan diri untuk lanjut, toh kalau balik rasanya sama saja karena mungkin sudah setengah jalan. Sambil menahan rasa sakit dan kaki yang agar diseret saya coba berjalan lagi. Kebun sawit warga sudah terlewati, kali ini kami harus menyeberangi anak sungai, dan hujan pun semakin keroyokan turunnya, selepas melewati anak sungai kami berjalan dipinggiran sungai dan melewati hutan.

image

Sepanjang perjalanan kami melihat beberapa tumpuk kotoran gajah yang masih baru, disitu saya mulai khawatir dan berharap tidak bertemu dengan gajah tersebut, takut dianggap keluarga nanti.

Sebenarnya yang paling saya takutkan adalah bertemu dengan harimau, karena saat kami menuju kesana sudah menjelang sore. Bisa dibilang ini rute terparah yang pernah saya lalui, walaupun jalanannya tak ada yang menanjak namun kesabaran pun bisa hilang disini. Lebih dari satu setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai di air terjun tersebut. Saya hanya bisa meluruskan kaki disana, ingin mandi di kolam kecilnya karena saya merasa kedinginan tapi berhubung takutnya kaki keram lagi, jadinya niat tersebut saya urungkan. Sebenarnya kalau sudah merasa kedinginan, kita harus nyebur untuk menstabilkan kembali suhu tubuh. Tapi kondisi saya saat itu tidak memungkinkan.

Air terjunnya sangat indah walaupun debit air hanya sedikit, setidaknya setara dengan perjuangan yang telah saya tempuh dengan kejadian-kejadian yang saya alami. Saya merasa sangat tenang disini. Malah kepikiran untuk bermalam disini, ditemani alunan air terjun, suara binatang malam yang merdu. Sudah terbayang bagaimana nyamannya.

image

Hujan masih saja turun, kami menghangatkan badan dengan memakan mie instant dan meminum kopi, setelah itu sekitar pukul 5 kita harus balik agar tidak kemalaman, yang pernah jalan-jalan ke alam liar pasti tahu kenapa tidak boleh melewati hutan ketika malam apalagi menjelang magrib. Kaki saya sebenarnya belum pulih dan saat itu saya protes karena pulangnya terlalu cepat.

“Belum lagi tarik nafas, udah disuruh pulang. Kakinya masih sakit ini...” saya kembali marah-marah.

“Nih makan dulu jeruk ini,” tawar bang Ucok.

Saya ambil jeruknya, tapi kemudian saya baru tahu alasan bang Ucok memberikan jeruk kepada saya. Ternyata supaya saya tidak marah-marah padanya, karena yang lain sudah terpapar emosi saya. Setelah memberikan jeruk pun, bang Ucok langsung jalan di depan dengan cepat.

Sementara saya disuruh jalan pelan-pelan oleh Yasir dan Ruli karena mereka masih bersih-bersihin sampah yang ada disana. Awalnya saya berjalan sama Heru, melewati anak sungai lagi. Zaki dan Rikaz sudah di depan, pemandunya mungkin punya ilmu menghilang karena tak terdeteksi.

Dari kejauhan Zaki memberi aba-aba, namun tak terlalu jelas aba-abanya apa. Saya coba berjalan dengan sedikit berlari ke arah mereka sama Heru, entah gimana kejadiannya saya pun ditinggal sendiri, dan kali ini giliran betis kanan saya yang keram. Saya menjerit sekencangnya. Tak perduli lagi bahaya apapun yang akan datang karena jeritan saya tersebut. Zaki akhirnya lari menghampiri dan membantu meluruskan kaki saya.

Kali ini rasa sakitnya semakin berlipat, disitu saya pasrah apapun yang terjadi, terjadilah. Setelah merasa bisa jalan, saya berjalan pelan dikawal oleh Yasir dan Ruli lagi. Sampai akhirnya kita mencapai pondok tepat ketika azan berkumandang.

image

Dari kejadian yang saya alami, hanya bisa menyarankan kalau mau pergi kemanapun apalagi masuk-masuk hutan, tanyalah sejelas mungkin sama orang yang paham betul tentang rutenya, dan kalau diawal sudah mempunyai firasat buruk, sebaiknya batalkan saja perjalanan.

Salam,

@fararizky

Sort:  

It seems you have great fun over their , nice han!!
i really like that water fall and want to see in real life.

Yeahh it was really great han!

Huhuhu Faraaa...ngeri2 sedap. Insiden sandal sampai tahi gajah. Btw, suami Kakak pertama kami bermarga Gajah, lo.

Iya, sebaiknya kenali medannya dengan benar lebih dulu ya.

Itulah kak.. Itu smpe bedrest fara bbrp hari

Marga gajah itu suku apa kk?

Beliau Batak, Mifta...

Posted using Partiko Android

Wadus far penuh perjuangan tapi jadi kemangan manis untuk dilukis

G ada manis2nya kak. Kapok fara

Kirain ga kapok dan pingin nyoba lagi

Benarkah catatan-catatan ini sudah bercerita tentang kesegalaan Aceh Jaya? :P

Belum semua.. Hehe