Suku Talang Mamak merupakan komunitas masyarakat suku asli Indonesia yang masih tersisa di pedalaman hutan Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Keberadaan suku ini di Indragiri Hulu berawal ketika perjalanan panjang yang dilakukan oleh Datuk Patih Nan Sebatang dari Minangkabau menyusuri Sungai Indragiri. Konon sungai itu awalnya bernama “Hindar Kiri”. Lama kelamaan orang menyebutnya dengan Sungai Indragiri. Rakit yang digunakan adalah rakit dari pohon Kulim, sehingga daerah di sekitar kawasan tersebut sampai saat ini bernama Rakit Kulim. Hutan dan tanah bagi mereka bukan hanya sebagai tempat tinggal yang menyediakan berbagai fasilitas hidup, tetapi melahirkan falsafah-falsafah budaya yang konon bernilai tinggi. Dulunya mereka menyebar hidup di rimba yang sangat luas. Namun pembabatan dan pembalakan liar hutan dan tanah yang tidak mengenal batas membuat mereka kian hari kian tersudut.
Paradigma pembangunan yang diterapkan di Indonesia terhadap pengembangan masyarakat masih banyak menggunakan model top down. Model ini ternyata kurang efektif dan melemahkan kreativitas masyarakat terutama masyarakat adat. Padahal mereka sendiri sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar untuk ikut berpartisipasi dalam memutuskan dan menentukan arah dan subjektivitas pembangunannya. Terbukti selama ini, paradigma pembangunan dengan menghadirkan perusahaan besar yang mengacu pada peningkatan produksi saja tanpa melihat aspek lingkungan akan berdampak pada eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Kenyataan ini berimbas hingga kepada suku-suku tradisional, seperti suku Talang Mamak yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu. Imbas ini disebabkan karena dalam masyarakat adat, hutan dan tanah mempunyai fungsi sosial yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Berbicara mengenai eksploitasi hutan di Indonesia terjadi sejak awal 1970-an (di Riau sendiri sejak awal 1974). Pemerintah membutuhkan dana pembangunan guna membangun Indonesia, dan hutan seperti halnya minyak dianggap sebagai sumber daya ekonomi yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sumber dana pembangunan. Untuk itu pemerintah mengundang para pemilik modal dalam dan luar negeri, untuk mengusahakan hutan di Indonesia secara komersial. Kebijakan kehutanan ini memang mampu mencapai tujuan nasional yakni naiknya pendapatan Negara melalui ekspor kayu. Namun bagi kaum peladang pengelolaan hutan secara komersial telah mempersempit matapencaharian mereka guna mempertahankan kehidupan, karena penghasilan dari hutan menjadi hilang dengan hadirnya perusahaan kehutanan itu.
Bentuk kesepakatan bersama tentang hutan dan tanah ini oleh masyarakat Talang Mamak sebenarnya sudah ada sejak dahulu, mereka membagi-bagi hutan dan tanah dengan 3 kriteria, yaitu; tanah peladangan, rimba simpanan, dan rimba kepungan sialang. Tanah peladangan yaitu tanah yang digunakan untuk membuat ladang dan kebun meliputi pula tanah untuk perumahan dan pekarangan. Rimba simpanan berfungsi sebagai tempat melestarikan atau memelihara berbagai jenis flora dan fauna dimana dalam prosesnya diawasi oleh pemangku adat. Rimba kepungan sialang merupakan gugus hutan dan tanah yang tidak luas dan berfungsi sebagai penyimpan air dan penangkal kebakaran hutan. Gugus hutan ini amat disukai oleh serangga, terutama oleh lebah hutan. Oleh sebab itu, hutan kecil ini biasanya dipakai oleh lebah untuk bersarang dan karenanya maka disebut Rimba kepungan sialang. Tetapi dalam perkembangannya, kemudian fungsi-fungsi hutan dan tanah tersebut hilang. Dan perlu dipahami pula bahwa hutan dan tanah tidak hanya berdimensi ekonomi sehingga cukup diberi ganti rugi uang. Hutan dan tanah juga punya dimensi religi, sosial maupun solidaritas yang menjadi sumber integrasi sosial. Sementara itu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang selama ini menjadi benteng pertahanan terakhir kaum tani, secara substansial sejak Orde Baru berkuasa tidak pernah dilaksanakan.
Kondisi ini tampaknya mirip dan juga tengah dialami oleh masyarakat Talang Mamak di daerah Riau. Hal ini disebabkan tanah ulayat yang merupakan warisan leluhur masyarakat Talang Mamak dan telah mereka kuasai sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu, kini sudah mulai habis dijadikan lahan HPH, HTI, perkebunan besar dan transmigrasi atas instruksi dari pemerintah yang menyebabkan mereka kesulitan mencari sumber-sumber ekonominya. Di sisi lain, ketergantungan masyarakat Talang Mamak terhadap lingkungan hutan dan tanah masih sangat kental dan masih sulit dihilangkan, hal ini terjadi karena manusia meskipun sebagai mahluk yang minoritas di dalam hutan, namun memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengintegrasikan berbagai fungsi yang ada. Dan kenyataannya fungsi-fungsi itu telah dilakukan masyarakat Talang Mamak sejak lama, dan kini beberapa fungsi itu mulai mengalami disfungsi akibat perubahan lingkungan di daerahnya.
Inilah faktor utama kesulitan meningkatkan taraf hidup rakyat masyarakat Talang Mamak. Sebab-sebab lain seperti kualitas sumber daya manusia yang rendah serta modal yang belum ada, hanya akan bersifat sementara. Sedangkan hutan tanah yang sudah dikuasai perusahaan-perusahaan besar, tidak mungkin lagi kembali kepada masyarakat. Keterkaitan manusia terhadap alam adalah sesuatu yang wajar, mengingat manusia memang ter manipulasi dan dimanipulasi oleh lingkungan sekitarnya. Namun masalahnya, bila manusia yang semula dibesarkan di lingkungan hutan dan senantiasa menjadi bagian dari ekosistem hutan, namun kemudian hutan itu hilang maka manusia sebagai mahluk yang dipengaruhi lingkungan akan mengalami culture shock dan culture disturbance.
Konsekuensinya masyarakat adat yang hidupnya tergantung pada sumber daya hutan kini semakin terdesak. Bila mereka mencoba untuk menuntut hak-haknya, mereka selalu berhadapan dengan aparat pemerintah yang berlindung di bawah peraturan. Tetapi kenyataannya, masyarakat Talang Mamak sejauh ini berdasarkan amatan penulis dan dari berbagai laporan yang dipublikasikan belum pernah terdengar kabar telah melakukan perlawanan secara terbuka dengan berunjuk rasa, perusakan atau melakukan pembakaran barang/lahan milik perusahaan atau pemerintah. Pada hal secara sosial, ekonomi maupun kultural mereka ini telah dirugikan oleh kehadiran berbagai proyek tersebut. Sementara itu, untuk menghadapi perubahan ekosistem hutan dan tanah seperti itu, masyarakat Talang Mamak kini harus senantiasa berusaha menyiasati keadaan serupa itu. Dengan kata lain mereka harus melakukan teknik dan strategi beradaptasi dengan perubahan ekosistem. Artinya, mereka harus tetap berusaha untuk bertahan hidup agar tetap eksis sebagai individu maupun sebagai komunitas budaya.