Dear steemian, I am Shadow!
SOBAT LAMA. Masih ingatkan, aku Rino Abonita. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Tempat itu tidak jauh dari persimpangan yang empat, tempat kita sering lekat mengaspal dulu.
Letaknya hanya sepuluhan meter dari kedai tuak Wak Mamba tempat kita sering berpesta pora bersama para gadis dari kampung sebelah. Atau seperlemparan batu dari Toko milik Koh Ang Shai tempat kita sering mencuri lem cap kambing.
Ohya, kau masih ingat mereka? Gadis-gadis yang sering berkumpul di kedai tuak Wak Mamba. Kau ingat si Resi, Karmila, Sundari, dan Cici? Atau sama si denok "Sari" si manusia kontekstual itu? Yang kalau siang namanya diganti jadi Sardi? Tahu tidak, kabarnya Sari sudah menikah dengan seorang om-om kaya dari Jakarta.
Ia menghabiskan uang hingga ratusan juta rupiah untuk operasi alat kelamin dan beberapa bagian tubuh lainnya agar terlihat seperti wanita seutuhnya. Uang darimana? Katanya hasil jual sawah lima belas petak warisan moyangnya di kampung.
Konon, ia juga telah mengganti namanya di Kartu Tanda Penduduk, dari Sardi Sumanjaya Suryadikusumo menjadi Kartika Putri Sari. Kini ia tinggal di Banda Aceh bersama suaminya tersebut. Karena tidak dikaruniai anak, mereka mengadopsi seorang anak perempuan dari panti asuhan.
Sementara itu, aku tidak tahu bagaimana nasib keempat gadis kedai tuak Wak Mamba. Kau tahukan? Sejak kejadian malam itu mereka semua terpencar, lari kucar kacir dan tertambat entah di rimba mana.
Hanya saja, sempat terdengar kabar burung setahun silam, Resi, si gadis manis yang suka Ciki dan suka dielus olehmu itu, ditemukan sudah menjadi bangkai.
Seorang pemulung menemukannya tergeletak di dalam parit besar yang ada di depan rumah Haji Amir. Tragisnya, wanita yang sempat kau tiduri itu, ditemukan dengan tubuh tanpa kepala.
Setelah diselidiki oleh polisi, pembunuhnya ternyata adalah pamannya sendiri alias Wak Mamba, pemilik kedai tuak, sang germo tua.
Kau tahu apa motif Wak Mamba membunuh keponakannya itu? Karena cemburu! Aneh bukan? Rupanya Wak Mamba sudah lama menaruh hati kepada keponakannya itu. Konon benih cinta itu sudah tumbuh saat kita masih sering main ke kedainya dulu. Dan saat kau sedang mesra-mesranya dengan Resi.
Semua berawal saat Wak Mamba yang sedang mabuk berat terbesit birahinya demi melihat Resi tanpa sehelai benang pun di tubuhnya, ketika perempuan semok itu sedang mencuci baju di kamar mandi kedai tuak Wak Mamba. Kebetulan air kran di rumah Resi sedang mampet saat itu sehingga terpaksa mencuci di kedai uwaknya itu.
Dan semua terjadi begitu saja. Bak gayung bersambut, cinta Wak Mamba sama keponakannya itu berbalas. Katanya, keduanya juga sudah beberapa kali berhubungan badan sejak saat itu.
Ohya, ngomong-ngomong soal pantai di pinggiran kota yang kusebut sebelumnya. Kau tahu, aku akan membangun sebuah gubuk sederhana yang letaknya tidak jauh dari tempat itu. Ya, akan kubangun di sela barisan pohon cemara dekat pantai.
Kontruksinya nanti adalah kayu-kayu lapuk sisa rampasan perang. Lantainya membumi. Tanpa dinding dan jendela. Disitu kita akan melihat sunset seraya menyanyikan lagu-lagu pemberontakan. Tanpa tangan mengepal, tanpa lirik-lirik tua di ujung toa. Tanpa pamflet-pamflet munafik, hanya nyalak dari bedil di subuh yang akan datang.
20 June, at 03.11 Ante Meridiem. Rino Abonita.