(BILINGUAL) SEPULUH HARI YANG MENGGUNCANG INDONESIA | TEN DAYS TO ENCOURAGE INDONESIA
12 MEI (PENEMBAKAN TRISAKTI)
Para mahasiswa mulai berkumpul di Universitas Trisakti kurang lebih pukul 10.30 siang, tepatnya di lapangan parkir di luar gedung M berlantai 12. Berkumpulnya para mahasiswa ini merupakan peristiwa demontrasi terbesar pertama kali yang terjadi di kampus itu. Peserta demonstran sebagian besar adalah anggota kelas elite dalam masyarakat, anak-anak pengusaha, birokrat, diplomat, dan pejabat-pejabat militer. Pada siang itu, lapangan parkir yang biasanya dipenuhi dengan mobil-mobil, hari itu kosong dari kendaraan-kendaraan. Kurang lebih beberapa saat sebelum pukul sebelas siang, bendera merah putih dikibarkan setengah tiang, sementara mahasiswa dari berbagai fakultas menyanyikan lagu kebangsaan. Dalam situasi keheningan, begitu selesai menyanyikan lagu, mereka kemudian meneriakkan tuntutan yang intinya menghendaki Soeharto turun.
Pada pukul 12.30, kurang lebih 6.000 mahasiswa bergerak ke arah jalan tol empat jalur yang melintasi kampus Trisakti. Mereka berencana untuk mengadakan long march menuju gedung parlemen di Senayan. Tiga perwakilan dari Universitas Trisakti, Andi Andoyo Soetjipto, dekan Fakultas Hukum, Arri Gunarsa, kepala keamanan Kampus, dan Julianto Hendro Cahyono, salah seorang ketua senat mahasiswa mulai mengadakan negoisasi dengan polisi. Mereka meminta mahasiswa diijinkan untuk berjalan ke arah pusat kota Jakarta ke gedung parlemen yang berjarak lima kilometer. Hendro mengatakan, ia meminta dosen-dosen universitas dan anggota DPR untuk melihat dan jika memungkinkan, memberi kesempatan mahasiswa bertemu dengan wakil pemerintah.
Sementara itu, para mahasiswa duduk-duduk di jalanan, menggelar orasi, menyanyikan lagu-lagu nasional, dan menolak untuk kembali ke kampus. Diiringi turunnya hujan, beberapa orang menyelipkan bunga di atas pucuk senjata para polisi. Pada akhirnya, Hendro mendapat kabar dari partai pemerintah Golkar, bahwa pada saat itu tidak ada seorangpun yang siap bertemu dengan mereka. Dengan berdiri di atas meja yang terletak di antara polisi dan mahasiswa, Hendro berbicara kepada mahasiswa untuk tidak terpancing melakukan kekerasan.
Pukul 15.00, situasi tampaknya menjadi lebih tenang, dan kemudian Andi Andoyo kembali ke kantornya. Setengah jam kemudian asistennya memberitahu bahwa polisi akan menggunakan kekuatannya apabila ke 200-an orang mahasiswa yang tertinggal menggelar protes masih tetap berada di jalan dan tidak mau kembali ke kampus. Pada pukul 16.15 tercapai kesepakatan antara polisi dengan mahasiswa, mahasiswa dan polisi sama-sama menarik diri setahap demi setahap, tiap tahapan lima meter mundur pada waktu itu. Sebagian besar mahasiswa kemudian masuk ke dalam kampus. Beberapa bersantai di jalan atau mencari makan di warung tepi jalan tol. Hendro sendiri pergi untuk mencari sebotol air. Sementara itu, beberapa polisi juga tampak beristirahat. Semuanya kelihatan tenang. Andi Andoyo pun kemudian memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
Sekitar pukul 16.30, seseorang yang berdiri di antara para mahasiswa mulai berteriak supaya mereka meninggalkan demonstrasi. Para mahasiswa mengidentifikasi orang itu sebagai agen intelijen dan mulai memukul orang itu ketika kemudian ia berlari kurang lebih 50 meter ke arah garis polisi. (Ia kemudian diidentifikasi sebagai Maud, seorang jebolan Trisakti. Baik polisi maupun tentara menyatakan bahwa ia bukanlah orang mereka). Arri dan Hendro menyerukan kepada para mahasiswa untuk tenang dan kembali ke kampus. Kurang lebih pukul 16.45, seorang Letnan Kolonel Polisi membatalkan negoisasi dan menyatakan bahwa para mahasiswa hanya memiliki waktu lima belas menit untuk meninggalkan jalan dan masuk ke kampus.
Kurang lebih 100 mahasiswa menolak untuk kembali dan berdiri berhadap-hadapan dengan barikade polisi. Tiga atau empat orang polisi mulai mengejek mereka, kata Hendro. Mahasiswa kemudian bergerak maju, tetapi tidak bergerak lebih jauh melewati garis yang dibuat oleh polisi yang disepakati dalam negoisasi. Polisi menyatakan bahwa kerumunan kemudian memancing kekerasan, tetapi saksi-saksi mata mengungkapkan bahwa para pemrotes tampaknya tetap tenang. Kurang lebih pukul 17.20, seseorang menembakkan senapan keudara. Polisi kemudian menyerbu, menembakkan gas air mata, memukul dan melepaskan tembakan ke arah mahasiswa. Para mahasiswa berlarian mencari perlindungan diri di dekat gedung dan di kios-kios di pinggir jalan. Polisi mengejar mereka ke arah pintu gerbang kampus Trisakti dan berhenti di depan pintu gerbang itu. Peluru berdesingan. Sebutir peluru karet mengenai Hendro di punggungnya, persis di luar kantor senat mahasiswa.
Para mahasiswa kemudian memberikan perlawanan dari dalam kampus, melempari polisi dengan botol-botol dan batu. Para mahasiswa yakin bahwa peluru-peluru yang ditembakkan ke arah mereka seluruhnya adalah peluru karet. Tentara dan polisi, keduanya merupakan bagian dari ABRI, merupakan kesatuan yang telah terlatih untuk mengikuti prosedur ketat menangani demonstrasi. Standar operasi itu diantaranya adalah empat lapis kekuatan polisi. Di barisan paling depan mereka dilindungi dengan pelindung tubuh dan alat pemukul. Lapis kedua adalah polisi dengan senapan dan gas air mata. Lapis ketiga adalah tentara bersenjata peluru karet dan gas air mata, sedangkan lapis terakhir adalah tentara dan polisi yang berada di atas kendaraan bermotor dengan meriam air.
Pada hari itu, di mana dua komandan polisi kemudian menyampaikan kesaksiannya, petugas-petugas tidak dibekali dengan amunisi yang lain kecuali senapan jenis Steyr AUG dan SS-1 dengan tiga peluru kosong dan dua belas peluru karet, ditambah senapan SS-1 dengan lima gas air mata dalam kaleng-kaleng kecil. Tetapi seseorang ternyata menggunakan peluru tajam. Saksi-saksi mata mengatakan, beberapa laki-laki mengendarai sepeda motor polisi melintasi jalan layang yang sejajar dengan jalan tol dan gedung kampus. Mereka menggunakan seragam Brigade Mobil Polisi (Brimob). (Beberapa waktu kemudian dua petugas militer mengatakan kepada Komnas HAM, bahwa satu minggu sebelum demonstrasi, empat orang anggota unit kendaraan bermotor hilang, beserta dengan seragam mereka).
Siapapun orang yan berada di atas jalan layang itu, mereka menggunakan peluru tajam sungguhan dan menembak untuk membunuh, empat orang ditembak di kepalanya, leher, dada dan punggung antara pukul 17.30-18.00.
Sebagian besar korban berhadapan dengan polisi, melempar batu ke arah polisi. Arri kemudian membawa Hendriawan Sie, 20 tahun, korban pertama ke rumah sakit Sumber Waras yang berada dekat lokasi bentrokan. Hendriawan ditembak mengenai lehernya di dekat gerbang kampus. Ia berlumuran darah dan meninggal ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Elang Mulya Lesmana, 19 tahun, tertembak di dadanya dan meninggal di dalam kampus. Hafidhin Royan, 21 tahun, tertembak di kepalanya dan meninggal di rumah sakit. Hery Hartanto, 21 tahun, tertembak di punggungnya ketika ia berhenti untuk membersihkan gas air mata yang mengenai matanya. Ia meninggal di dalam kampus. Peluru yang membunuh mereka, menurut polisi dan sumber-sumber yang dekat dengan militer, adalah peluru berkaliber 5,56 mm MU5 dari senapan Steyr AUG, sementara polisi menggunakan jenis MU4. Dilihat dari peluru yang diangkat dari tubuh Hartanto pada tanggal 7 Juni, peluru itu membuktikan bahwa polisi tidak bertanggung jawab dalam penembakan itu.
Para mahasiswa mendengar secara sporadis bunyi penembakan dari pukul 18.00 sampai pukul 19.00. Beberapa saat sesudahnya, peluru memakan korban lagi. Sofyan Rahman jatuh terkapar. Pada kira-kira pukul 20.00, Intan mahasiswa fakultas hukum, berjalan keluar kampus dan mengibarkan bendera putih. Ia berteriak-teriak kepada polisi bahwa orang-orang yang terluka itu memerlukan bantuan medis. Beberapa saat kemudian penembakan berhenti. Baru saat itulah, 35 orang lain yang terluka dapat dibawa ke rumah sakit, polisi pada awalnya menolak untuk memberikan jaminan atas keselamatan ambulans. Lebih jauh, tutur Arri, seorang komandan polisi mengatakan padanya bahwa luka-luka itu tidak akan mengancam keselamatan jiwa mereka karena peluru yang digunakan adalah peluru karet.
Dalam waktu singkat setelah penembakan Trisakti, daerah Sunter di Jakarta Utara berada dalam keadaan siaga. Sunter adalah kawasan yang banyak dihuni oleh orang-orang keturunan China. Pada malam itu, Imam Suyitno, orang yang telah terlatih untuk memberikan bantuan darurat militer, diminta untuk membantu penjagaan keamanan. Ia berdiri di dekat kawasan pertokoan setempat ketika ia dan kawan-kawannya melihat truk yang penuh dengan orang berhenti di belakang supermarket. Lebih dari dua puluh orang berbadan kekar turun dari kendaraan. Suyitno mengatakan, bahwa mereka menerima sesuatu dari seorang laki-laki di dalam truk, sebelum mereka semua itu menghilang di kegelapan malam.
ENGLISH
(BILINGUAL) TEN DAYS TO ENCOURAGE INDONESIA | TEN DAYS TO ENCOURAGE INDONESIA
12 MAY (TRISAKTI TRACKING)
The students started gathering at Trisakti University at approximately 10:30 pm, precisely in the parking lot outside the 12th floor M building. The gathering of these students was the first greatest demonstration event that took place on the campus. Most of the demonstrators were members of the elite class in society, business children, bureaucrats, diplomats and military officials. That afternoon, the parking lot that is usually filled with cars, the day was empty of vehicles. Sometime before eleven o'clock in the afternoon, the red and white flags were raised at half-mast, while students from different faculties sang national anthems. In a situation of silence, when they finished singing, they then shouted demands that essentially wanted Suharto to descend.
At 12:30, approximately 6,000 students moved toward the four-lane highway that crosses Trisakti campus. They plan to hold a long march to the parliament building in Senayan. Three representatives from Trisakti University, Andi Andoyo Soetjipto, dean of the Law Faculty, Arri Gunarsa, head of campus security, and Julianto Hendro Cahyono, one of the student senate leaders started negotiating with the police. They asked students to be allowed to walk downtown Jakarta to the parliament building, which is five kilometers away. Hendro said he asked university lecturers and DPR members to see and if possible, allowing students to meet with government representatives.
Meanwhile, students sit on the streets, hold speeches, sing national songs, and refuse to return to campus. With the rain falling, some people slipped flowers on top of the police guns. In the end, Hendro got word from the Golkar government party, that at that time no one was ready to meet them. Standing on a table between police and students, Hendro speaks to students not to be hooked on violence.
At 15:00, the situation seems to be more quiet, and then Andi Andoyo returns to his office. Half an hour later his assistant informed him that the police would use his powers if the 200 students left behind protested were still on the road and would not return to campus. At 16:15, an agreement was reached between the police and students, and the police alike stepped down step by step, each step five meters backwards at that time. Most of the students then enter the campus. Some lounging on the street or foraging at the highway stalls. Hendro himself went to look for a bottle of water. Meanwhile, some police also appear to be resting. Everything looks calm. Andi Andoyo then decided to go home.
At about 4:30 pm, someone standing between the students started shouting to let them leave the demonstration. The students identified the person as an intelligence agent and started hitting the man when he then ran about 50 meters to the police line. (He was later identified as Maud, a Trisakti treble, both police and soldiers claiming he was not their man). Arri and Hendro called on the students to calm down and return to campus. At approximately 4:45 pm, a Police Lieutenant Colonel canceled the negotiations and stated that the students had only fifteen minutes to leave the road and enter the campus.
Approximately 100 students refused to return and stand face-to-face with police barricades. Three or four policemen began to mock them, Hendro said. The student then moves forward, but does not move further past the line made by the police agreed in the negotiation. Police claimed that the crowd then provoked violence, but eyewitnesses revealed that the protesters appeared to remain calm. At approximately 17:20, someone fired a shotgun in the air. The police then raided, fired tear gas, hit and fired at students. The students ran for self-protection near the building and at roadside stalls. The police chased them toward the gate of the Trisakti campus and stopped in front of the gate. The bullets were darting. A rubber bullet hit Hendro on his back, just outside the student senate office.
The students then provide resistance from inside the campus, pelting police with bottles and stones. The students were convinced that the bullets fired at them were all rubber bullets. The army and police, both members of ABRI, are trained entities to follow rigorous procedures for handling demonstrations. Standard operation that is four layers of police force. In the front row they are protected with body armor and bat. The second layer is police with gun and tear gas. The third layer is armed with rubber bullets and tear gas, while the last layer is soldiers and police who are on motor vehicles with water cannon.
On that day, in which two police commanders then delivered their testimony, the officers were not equipped with other ammunition except the Steyr AUG and SS-1 rifles with three empty bullets and twelve rubber bullets, plus SS-1 rifles with five water gases eyes in small tins. But someone turned out to use sharp bullets. Eyewitnesses said some men were riding motorcyclists across the elevated highways parallel to tolls and campuses. They use Police Mobile Brigade uniforms (Brimob). (Some time later two military officers told Komnas HAM that one week before the rally, four members of the motor vehicle unit were missing, along with their uniforms).
Anyone who was on the flyover, they used real bullets and shot to kill, four people were shot in the head, neck, chest and back between the hours of 17:30 to 18:00.
Most of the victims confronted the police, throwing stones at the police. Arri then took Hendriawan Sie, 20, the first victim to Sumber Waras hospital near the scene of the clash. Hendriawan was shot about his neck near the campus gate. He was covered in blood and died while on his way to the hospital.
Elang Mulya Lesmana, 19, was shot in the chest and died inside the campus. Hafidhin Royan, 21, was shot in the head and died at the hospital. Hery Hartanto, 21, was shot in the back when he stopped to clear tear gas that hit his eyes. He died on campus. The bullets that killed them, according to police and sources close to the military, were 5.56 mm MU5 caliber bullets from the Steyr AUG rifle, while police used the MU4 type. Judging from the bullet lifted from Hartanto's body on June 7, the bullet proved that the police were not responsible for the shooting.
The students heard sporadically the sound of shooting from 6 pm to 7 pm. Moments later, the bullets took another toll. Sofyan Rahman fell down. At approximately 20:00, Intan law students, walking out of campus and raising a white flag. He shouted to the police that the injured people needed medical help. Moments later the shooting stopped. Only then did 35 other injured people be taken to the hospital, the police initially refused to provide security for the ambulance safety. Furthermore, Arri, a police commander, told him that the injuries would not threaten their lives because the bullets used were rubber bullets.
In the short time after the Trisakti shooting, the Sunter area in North Jakarta was on alert. Sunter is an area that is inhabited by people of Chinese descent. That night, Imam Suyitno, a man trained to provide emergency military aid, was asked to assist with security. He stood near the local department store when he and his friends saw a truck full of people pulling up behind a supermarket. More than twenty stout people got off the vehicle. Suyitno said that they received something from a man in a truck, before they all disappeared in the darkness of night.
Cerita yang bgus ...
Vote back bro..