Cerpen Saiful Bahri
Malam dingin. Angin berhembus perlahan menepis pucuk-pucuk kemboja beku. Lolong panjang anjing hutan terdengar sayup-sayup di kejauhan. Sementara sepi kian garang menangkup bungkah-bungkah pilu di hatinya yang merindu.
Ya, rindu! Ia begitu rindu pada sesuatu yang ia sendiri tidak mampu melukiskan dan memastikannya. Entahlah itu suatu kematian. Yang jelas ia sekarang sedang digerogoti kebimbangan di tengah-tengah kegamangan. Dan ia berada di kompleks pekuburan. Sendiri! Mungkin ia tengah mencari arti dari mati yang dirindukan. Gila! Mengapa sampai merindukan mati? Ah, ini ganjil dan tidak lazim. Ini pembolakbalikan fakta. Ia mencoba tertawa dan bersikap menerima.
@sisaifulbahri bersama sastrawan @ahmadunyh di Pantai Uleelheu, Banda Aceh, Mei 2017 | Pemotret: @musismail
Adakah ia bermaksud mempermainkan dirinya? Atau ia tengah berpura-pura, tengah bersandiwara? Tetapi, tidak! Ada sesuatu yang mengganjal di batinnya. Ia telah tertipu justru disaat ia mau menipu. Ia malu dan terharu. Ia tak sanggup menerima kenyataan sepahit ini. Ia protes! Dan protesnya tertuju pada kuburan! Ya, kuburan! Sebab semua kisahnya berakhir di kuburan. Baginya, kuburan adalah segalanya yang tak termaknakan dari dusta yang melenakan. Dan ia adalah korban!
Tak terasa air matanya mulai menitik satu per satu. Ia yakin itu bukanlah tangisnya yang pertama dan bukan pula yang terakhir. Ia menangis karena sudah saatnya untuk menangis. Menangis adalah permenungan dari pilunya perjalanan hidup. Ia yang telah sekian lama mencerca dirinya hingga tak tahu lagi siapa dirinya yang sebenarnya. Ia larut dalam bayangannya dirinya. Ia tersesat dalam pencarian dirinya sendiri. Dan itu ia lakukan semata-mata demi harga diri. Ia tak pernah menyadari kalau harga diri untuknya tidak diberlakukan lagi. Ia telah dianggap basi dan tak berguna lagi. Ia telah disisihkan dari pergaulan dan kehidupan.
Sebenarnya ia merasa heran pada perjalanan hidup dan kehidupannya. Begitu ringkas perjalanan hidupnya. Dan tak ada variasi sama sekali. Ia merasa hidupnya hanya sebatas rutinitas, yang kini terasa sangat membosankan ketika jejak-jejak waktu yang telah ditelusurinya tidak meninggalkan bekas sama sekali. Ia jadi muak dan mencoba memberontak. Tapi, sayang, ia telah tersekap. Tanpa sadar ia telah menyekap dirinya sendiri. Seketika itu juga ia jadi ngambang dan hanya tinggal dalam lambang. Ia telah diperlambangkan. Ia telah dibekukan!
Dan apa arti dari suatu kebekuan? Bisu, batu, lugu, haru, rindu; itukah makna dari suatu lambang? Ah, terlalu riskan baginya untuk memberi suatu batasan. Batasan? Bukankah ia juga telah diperbataskan pada batas yang meresahkan keberadaan kediriannya? Ia terus terombang-ambing dalam kekalutan alternatif yang mencekik. Ia terhimpit di celah-celah curamnya impian. Dan akhirnya ia sendiri yang kalah. Ia menyerah.
Kenikmatan apakah yang terkandung dalam suatu kekalahan? Ia tak pernah peduli lagi tentang semua. Juga tentang dirinya yang kian lusuh, kurus, pucat dan gemetar tak mau diacuhkannya lagi. Langkahnya yang gontai terseret di sela-sela gundukan-gundukan kuburan. Agaknya ia telah menemukan suatu kepastian dari suatu pencarian. Sesekali tangannya menyaput rambut kusut yang jatuh dimukanya. Ia celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan. Kemudian tersenyum kecut. Rupanya ia telah menemukan apa yang telah sekian lama dicari-carinya selama ini. Dilototkan mata cekungnya sekali ke langit hitam. Kemudian dengan sangat perlahan dijatuhkan tubuhnya di samping gundukan sebuah kuburan.
Perang batinnya berkecamuk lagi. Ia kembali terpelanting ke dinding-dinding kusut-hitam yang pernah diraupnya. Suatu kali ia pernah melupakan kodratnya, ketika luka dunia tertoreh di mata hatinya. Ia terbentur pada ketidakpastian saat dirasakan degup jantungnya tidak beraturan lagi. Ia yakin bahwa ia akan segera mati, atau lebih tepat dimatikan. Tak ada artinya untuk memperpanjang hidup. Ia telah begitu lama tersiksa dan disiksa sampai siksa pasrah pada kehendaknya. Ia sebenarnya telah larut dalam dunia yang kusut-hitam yang diciptakan untuknya.
Dan sekarang ia terpekur di samping gundukan sebuah kuburan. Ia tidak tahu kuburan siapa yang diziarahinya itu. Ziarah? Adakah ini suatu ziarah? Bukankan dulu ia berprinsip bahwa ziarah adalah suatu tindakan pasrah dari orang-orang yang kalah? Ah, itu tidak penting sekali untuk dipermasalahkan. Sekarang yang mengganjal di batinnya adalah pertanyaan mengapa mesti ke kuburan? Adakah ia tengah dihipnotis? Rasa-rasanya tidak! Sampai detik ini ia masih bisa membedakan antara hitam dan putih, antara pahit dan asin. Ia masih sanggup mengangguk dan menggeleng, berkata ya dan tidak. Dan yang vital sekali ia masih bisa bergerak. Ia masih hidup! Tetapi dalam gerak hidupnya kali ini ia berkeyakinan bahwa ia bukan dirinya lagi. Inilah yang membuatnya gamang. Ngeri!
Di tengah kengeriannya tiba-tiba ia berkesimpulan bahwa gundukan kuburan yang berada di hadapannya itu adalah kuburannya. Ia terbelalak. Gemetar. Bingung. Ini tidak mungkin bisa dipungkirinya lagi. Ia benar-benar terbentur. Terjebak pada lubang yang digalinya sendiri. Dalam kebimbangannya ia mencoba tersenyum, sambil bergumam lirih: “Aku benar-benar telah kalah.”
“Tak perlu penyesalan di akhir pengorbanan!” seru sebuah suara dari dalam kuburan.
Ia termangu sejenak. Keyakinannya digerogoti lagi. Benarkah ia mendengar suara? Ataukah itu hanya suatu ketiadaan yang sengaja diada-adakan sehingga menjadi ada. Ia tak percaya! Ia tak mau dipercaya! Sebentar kemudian ia mulai tersedu. Pedih!
“Tak perlu tangisan di akhir perjalanan!” seru suara itu lagi.
Sekarang ia terperangah. Ia mendadak marah.
“Siapa kau?!” bentaknya keras.
“Aku juga kau!” jawab suara dalam kuburan pelan.
“Hah?! Kau mau mempermainkan aku, ya?”
“Tidak! Masa aku mau mempermainkan diriku sendiri.”
“Lalu apa maksudmu?”
“Aku adalah kau. Kau adalah aku. Kita adalah satu!”
“Hei, apa-apaan ini?”
“Ketahuilah, aku adalah kau yang telah mati. Aku adalah kau yang telah kau bunuh dengan sengaja!”
“Meragukan! Ini benar-benar meragukan!”
“Apanya yang meragukan?”
“Semua!”
“Kok!”
Mendadak saja ia tercengang. Tak ada lagi yang bersuara. Hening. Sayup-sayup langit meredup ketika suara serangga malam mulai bercerita tentang pilu dari liku perjalanan hidupnya. Saat itu juga ia mendendam serangga yang berani mengusik tabir gelap dari hidup yang pernah dilaluinya. Ia ingin menepis segalanya. Ia ingin melepaskan masa lalunya. Ia tak pernah mau mengaku. Dan ini pulalah yang membuatnya jadi penipu. Namun sekarang, ah, sekarang justru ia yang tertipu. Ia makin ragu pada kediriannya. Ia jadi pada kehakikian dirinya. Haru dan pilu kian menyatu dan menyekat dalam bungkah rindu yang tak menentu. Ia tersedu. Tersipu.
“Tak perlu tangisan dan penyesalan di akhir perjalanan!”
“Siapa yang menangis? Siapa yang menyesal?”
“Ah, jeralah jadi penipu.”
“Siapa yang penipu?”
“Tak perlu malu untuk mengaku.”
“Keterlaluan! Ini sudah sangat kurang ajar!”
“Terserah! Sekarang kau sendiri yang menentukan perjalanan kisah kau selanjutnya. Kita memang tak selamanya sependapat.. Paham kita berbeda. Biarlah kau dengan jalan kau sendiri dan aku dengan jalanku sendiri. Mulai saat ini kita tak punya ikatan apa-apa lagi. Biarkan aku menikmati nikmatnya mati, dan aku biarkan kau menikmati sakitnya sepi. Kurasa inilah jatah yang paling adil bagi kedirian kita!” suara dalam kuburan mengakhiri uraiannya yang sedikit mengandung ancaman. Suara itu begitu lirih, serak, menyeramkan dan mematikan.
Ia tak berani membantahnya lagi. Tapi mampukah ia menerima kehadiran sepi dalam hidupnya setelah sekian ribu sepi menjeratnya? Bukankah sepi lebih menyiksa daripada mati? Bukankah lebih baik mati daripada terus-terusan diperbudak sepi, sepi dari arti kasih sayang dan makna hakiki kemanusiaan? Ia benar-benar terbentur. Bingung! Meraung-raung!
“Tidak! Aku memilih mati! Lebih baik aku mati. Biarkan aku merdeka dalam kematian!” teriaknya keras sekali. Tapi, sayang, suaranya tak berbalas oleh sesayup gema pun. Dirinya yang meringkuk dalam kuburan ternyata telah benar-benar mati dalam kesempurnaannya. Dan sekarang tinggallah ia sendiri. Sendiri! Apa makna dari kesendirian? Tak ada lain selain sepi yang kian agung dan mencekik.
Dan, gila! Kesim-pulan mati yang ingin ia nikmati ternyata belum bisa membe-rikan arti apa-apa. Hanya kosong dan bohong yang menggapai-gapai menjamah kediriannya. Baginya mati belum berarti berakhir segalanya.
Ketika ia mencoba meraung-raung lagi, ia jadi bingung sendiri. Suaranya tak bisa keluar lagi. Suaranya tersekat di kerongkongan. Ia memberontak untuk bisa terus bersuara, tetapi yang keluar hanya pekik-pekik kecil orang tercekik.
Tubuhnya mulai dingin dan gemetar. Desah nafasnya tak beraturan lagi. Matanya terbelalak. Mulutnya menganga. Liurnya menetes. Perlahan tubuhnya terangkat, kemudian dengan cepat meluruk dan terbanting kembali ke gundukan tanah samping kuburan. Ia menggelepar-gelepar. Kaki dan tangannya mengejang. Keras. Perlahan kemudian melemah. Akhirnya ia lunglai. Tubuhnya membiru. Kaku. Beku.
Ia tersenyum karena mengira semuanya telah berakhir. Tetapi dugaannya meleset jauh, sebab esok paginya ia masih melihat sinar mata hari. Ternyata semuanya belum berakhir. Ia belum mati. Ia terpekur di samping gundukan kuburan dirinya yang telah mati. Ia ingin menangis, tetapi keburu sadar bahwa tangisan juga tidak diperlukan lagi. Juga penyesalan. Semua tidak dibutuhkannya lagi.
Banda Aceh, 30071990
Selamat datang di Steemit Pak Saiful Bahri, cerpenis dan novelis dari Aceh.
Terima Kasih Pak Mus...
Mantaaap senior
Terima kasih, Dik Zulfikark-Kirbi....
cerpen yang seru, sekali mulai dibaca ingin terus dibaca, odi sangat suka gaya bg Pol memilih-milih kata perkata dengan banyak kosa kata yang berkata-kata.
Terima Kasih Dik Audi....Engkau bisa saja berkata-kata tentang kata-katanya saya...
mantap, orangkaya guegajah
Terima Kasih Orang Kaya Hermes....Ada kerinduan ingin jumpa orang-orang kaya, tetapi kerinduan itu sering tercekat rutinitas yang tak habis-habisnya....Saya Rindu, Orang Kaya.