Data BPS tahun 2018 menunjukkan akses ke sanitasi layak di Provinsi Aceh sejauh ini mencapai 63,38% persen. Angka itu masih jauh dari harapan nasional yang mengharapkan Aceh memiliki akses sanitasi 100% pada tahun 2019. Meskipun, capaian nasional sendiri sejauh ini juga baru 67,87% persen.
Hal ini terungkap dalam lokakarya 'Sanitasi Layak Mencapai Universal Akses', Rabu (20/4). Saya beruntung, berhadir dalam kegiatan ini. Jadi ada pengetahuan baru terhadap data sanitasi, terutama di Aceh.
Salah satu penyebab sanitasi buruk adalah, masih adanya perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Dari data yang ada, 1 dari 5 Rumah Tangga di Aceh, masih BABS. Selain itu, kesadaran dan perilaku masyarakat juga berpengaruh. Seperti masih adanya WC terbang, BABS di sungai, dsb.
Menanggapi hal tersebut, Perwakilan Unicef, Muhammad Afrianto Kurniawan yang selama ini berkerjasama dengan Pemerintah Aceh, mengaku terus melakukan yang terbaik agar persoalan ini dapat ditanggulangi. Komitmen dirinya bersama Unicef; satu dua tahun ke depan akan terus memberikan dukungan, tidak hanya sanitasi layak (saja), tapi juga aman. Serta Aceh bebas BABS!
Menariknya, perilaku BABS tersebut ternyata berkorelasi langsung terhadap tingginya angka kematian balita di Aceh. Lebih dari itu, berdampak pula pada persoalan stunting (bayi pendek). Merujuk pada data Riskesdas Kemenkes tahun 2019, Aceh (19 persen) menempati posisi ke empat, setelah NTB (14 persen) terkait stunting.
Selain itu, Adrianto menyayangkan isu sanitasi yang seyogyanya perlu ini, tidak seksi dan terkesan ada anggapan tidak penting. Padahal berdampak bagi banyak sektor. "Urusan 'najis', karena urusan belakang. Kita tidak ingin persoalan ini berdampak negatif baik kesehatan, pariwisata, ekonomi, dsb," tandanya.
Kepala Biro Adm Pemerintahan Sekda Aceh, Sunawardi mendorong agar isu ini menjadi perhatian bersama. Sejauh ini, melalui program Percepatan Pembangunan Sanitasi Pemukiman (PPSP) II untuk mengatasi persoalan itu, pemerintah daerah dari 23 kab/kota telah menyusun perencanaan sanitasi (BPS, SSK dan MPS).
Dokumen ini disusun sebagai dasar pelaksanaan kegiatan sanitasi di daerah utnuk mencapai target RPJMN 2015-2019 terkait universal access sanitasi. Karena itu, ia berharap adanya integrasi dan kolaborasi pihak terkait, perlunya SDM yang mau berpartisipasi demi sanitasi yang layak. Tidak hanya persoalan fisik (bangunan), namun juga pemahaman dan kesadaran melalui program-program.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menunjang sanitasi layak, dikatakan perwakilan Dinkes Aceh, Heriansyah, hal itu meliputi; stop BABS, cuci tangan pakai sabun, setiap rumah tangga harus memahami pengelolaan air minum dan makanan, pengawasan sampah, hingga pengelolaan limbah cair rumah tangga.
Menurut data WHO (2017), 10.000 anak di bawah tiga tahun meninggal karena diare. Ini karena sanitasi yang buruk. Selain itu, dalam berbagai penelitian ilmiah, telah disebutkan bahwa akses terhadap sanitasi yang baik, berkontribusi dalam penurunan stunting sebesar 27 persen.