Kota itu terus tumbuh dengan gerak tak begitu cepat. Pasar-pasar jalanan yang berhadapan dengan RSUD Fauziah kini tiada lagi, segala kesempitan, kesemrawutan yang dahulu akrab menjamu siapa saja di jalanan ini, kini sudah jauh lebih lenggang.
Kios-kios kelontong kecil, penjual buah, atau pedangang gulai kini tergantikan dengan pemandangan ekskavator dengan deru suara bising, menggeruk, meratakan dan merapikan apa-apa saja yang diperlukan. Sesuai dengan mapping yang mengacu pada RAP proyek.
Begitulah penampakan Bireuen Jalan Mayjen T. Hamzah Bendahara yang sedang dibedah dengan proyek jalur dua, dari RSUD Fauziah sampai ke depan pendopo bupati. Dibukanya jalur dua di area ini kabarnya menelan anggaran sebesar 7,8 Miliar yang bersumber dari APBN.
Bireuen yang berbenah dalam ruang lingkup infrastruktur nyatanya sama seperti gemuruh hati seorang lelaki yang kembali pulang. Baginya, Bireuen bukanlah sekadar tempat singgah, melainkan arah pulang di masa depan dengan segala kemungkinan yang terus disemogakan.
Saban datang; pergi-kembali, tak ubahnya menitipkan harapan, merawat semangat dengan durasi waktu yang sebenarnya ingin ditetapkan. Tetapi selalu saja tak mudah, mengingat kumbang dan mawar yang mesra kerap diuji angin. Entah angin gunung, entah angin laut, yang tak jarang memberikan jarak pada keduanya.
Bagi yang mencintai kota berjuluk "juang" tersebut mudah memberikan analisa bahwa kabupaten yang lahir dari rahim pemekaran ini, memiliki nilai tawar strategis, argumen yang jamak kita dapati adalah secara geografis cukup strategis; berada di tengah dengan segitiga penghubung; wilayah pesisir timur, gerbang utama dataran tengah Aceh dan barat-selatan.
Bila grand disain jangka panjangnya telah diatur sedemikian rupa oleh orang berisi kepala (bukan keras kepala), di masa hadapan kabupaten yang terkenal dengan nagasari ini dapat memainkan peranan penting. Secara geo-politik sesungguhnya Bireuen adalah kunci. Hanya saja, terkesan terlalu GR menyebutkan hal di atas.
Pun sama ke-PD-an bila menyebutkan bahwa "bunga juang" di kabupaten ini memiliki nilai berbeda. Toh, penentuan kumbang hinggap bukan semata-mata karena taman atauwa pot, polibet, sang bunga. Melainkan daya tarik tersendiri dari pada kemungkinan sari bunga yang diterka dengan imajinasi dan kalkulasi halus. Susah dijabarkan, tapi selalu mengundang senyum saat adrenalin diajak berpacu atas nama bunga.
Sejauh cerita lelaki misterius itu, dalam dunia per-bunga-an, "bunga nagasari" lah yang paling banyak menyita perhatiannya. Bahkan kumbang itu, sangat lama menghabiskan waktunya di taman itu. Sampai-sampai, dalam batin yang dewasa, dengan harapan yang besar sang kumbang mencoba hidup-mati di taman dan bunga naga sari yang aduhai.
Pun demikian, kumbang tahu bahwa bunga naga sari, sebagaimana bunga lainnya punya masa sampai kapan ia mekar. Maka butuh kehati-hatian dalam merawatnya. Konon, hal-hal yang pantang seperti menyirami saat matahari terik tengah hari bisa membuatnya mati. Sang bunga jua tak sanggup menunggu; melihat kumbang hinggap dan pergi, ia butuh kepastian.
Bagi lelaki misterius itu, Bireuen dan bunga adalah dual hal yang selalu mengisi relung memori. Bunga naga sari adalah sebentuk arti yang selalu mengetuk-ngetuk adrenalin imaji, sedangkan Bireuen tak ubahnya jalan tak buntu yang senantiasa mengajaknya berjalan maupun berlari. Ada sesuatu di kota ini, pun sesuatu pada bunga nagasari.
Dalam benak dan doanya, ia berharap kota tersebut bertumbuh hebat lagi kuat, tak serapuh keripeep (keripik). Memiliki nilai yang bernas, sebuah nilai yang tak hanya berharap 100 ribu rupiah. Pun begitu halnya dengan bunga, bunga yang dipetik pada masanya, bukanlah bunga biasa. Namun bunga yang tekstur luarnya meyakinkan, dengan isi dalam manis. Layaknya nagasari.