MENINGGALKAN ruang kerja dan berleha-leha di halaman belakang sambil menikmati sejuknya suasana petang sering aku lakukan apabila daya hayalku berkurang atau pun musnah sama sekali. Aku melangkah setapak demi setapak di taman berharap datangnya ide-ide cemerlang yang bisa aku tulis saat ini dan mungkin bisa abadi kelak.
Aku pandangi indahnya bunga sedap malam, seulanga, jeumpa, melati, meulu, anggrek, yang mekar di taman. Warna-warni serta harum bunga perlahan-lahan mengikis perasaan kosong dalam hatiku. Biasanya aku akan kembali berbahagia setelah lama berada di taman dan kembali ke ruang kerja untuk membuat rencana-rencana baru.
Di antara sekian banyak bunga, sedap malam adalah bunga yang paling aku sukai. Harumnya hanya bisa dibaui saat tengah malam dan akan berakhir ketika fajar mulai menyingsing. Menurutku sedap malam hanya milik bintang dan kegelapan. Lihat saja, ketika matahari terbit pasti tidak ada satu kembang pun yang mekar dan menebarkan keharuman, kecuali rimbun daunnya yang berwarna hijau kehitaman, kembang-kembangnya kuncup, lalu layu dan akhirnya berguguran.
Pohon sedap malam itu tumbuh berdekatan dengan kamarku. Dengan menyibak tirai serta mendorong jendela kamar, seketika harum sedap malam menyerbu kamarku. Di tengah malam buta harumnya kian semerbak. Keindahannya sempurna ketika fajar mulai tiba. Titik-titik embun di kelopaknya yang berwarna putih rapi bagaikan ada tangan gaib yang menatanya.
Pohon sedap malam itu warisan Nenek. Menurut Nenek sedap malam adalah kembang paling mahsyur saat dia remaja. Sudah sejak dulu sedap malam menjadi bagian tidak terpisahkan dari rumah ini. Rumah ini sudah mengalami empat kali renovasi, tetapi si sedap malam tetap saja tidak tergoyahkan. Nenek selalu berpesan kepada ibuku untuk menjaga pohon pujaannya itu. Ibuku sesungguhnya tidak begitu peduli dengan si sedap malam dan kadang selalu punya dalih kenapa dia harus menebangnya. Hanya karena campur tanganku saja pohon itu selamat oleh tebasan kapak si tukang kebun. Kini Nenek telah tiada, begitu pula Ibu. Tapi sedap malam tetap setia menemani.
Batang sedap malam yang sedang aku ceritakan ini sudah sangat gemuk. Kulitnya keriput dimakan usia. Walau sering dipangkas, dahan-dahannya tetap saja tumbuh subur dan menawan. Menciptakan keteduhan sekaligus keasrian. Jangankan manusia hewan seperti kucing saja sangat betah bernaung berlama-lama di bawahnya.
Kucing kesayangku tidak pernah pergi jauh dari taman ini. Dia mengintai belalang yang hinggap di kerimbunan daun sedap malam. Sesekali si kucing melompat menerkam belalang yang waspada. Gedebuk! Si kucing itu terpelanting ke bumi tanpa belalang dalam genggaman. Bergulingan di tanah basah berlumut. Lagaknya seperti Master Shifu dalam film Kungfu Panda. Aku dibuatnya tertawa. “Dasar kucing!”.
Ketangkasan si kucing hitam itu membuat aku jatuh cinta kepadanya. Dia begitu gesit dan genit. Apalagi ketika sedang mengibas-ngibas ekornya, mencium, menjilat, dan mengeluarkan suara mengeong.kucing itu selalu setia membangunkan tidurku. Walaupun sesekali aku berang dan mengusirnya dengan kasar. Tapi dia tidak peduli. Pagi hari aku memakinya, siang hari dia sudah kembali mengibas-ngibas ekornya dan menjilati kakiku.
Bulu-bulu halusnya yang berwarna hitam sering melekat di tempat tidurku. Ketika selimut kukibaskan ke udara, bulu-bulu itu pun berterbangan ke seluruh penjuru kamar tidur. Ibu selalu memperingatkanku agar menjauhi hewan-hewan atau benda-benda yang memiliki bulu-bulu halus agar aku terhindar dari asma yang sudah lama menggerogotiku. Tapi sejak kecil aku tidak pernah bisa berpisah dengan hewan yang berbulu halus. Ada rasa nyaman ketika bersama mereka. Apalagi dalam kondisi sendiri seperti saat ini. Bagaimanapun kehadiran makhluk yang bulu-bulunya dapat menebarkan ancaman itu membuat hari-hariku terhindar dari rasa sepi.
Melihat tingkah si kucing hitam berbulu halus, aku jadi teringat Tina, teman dekatku. Kami pernah sekantor dan berbagi kos dua tahun lalu di Jakarta. Menurut Tina, apabila seseorang mau sukses di abad ini hal yang sangat diperlukan adalah belajar teknik merayu dan menjilat. Pelajaran itu, kata Tina, bisa kita teladani dari hewan seperti kucing atau anjing.Di samping itu, jangan pernah abaikan penampilan. Tina selalu saja membandingkan penampilannya denganku. Caraku berbusana dan berdandan, menurutnya kolot. Sambil menelanjangi penampilanku serta mengurai satu per satu kekuranganku, dia menerangkan bahwa wajahnya tidak akan pernah dia biarkan pucat seperti mayat. Wajahku, menurut dia, pucat seperti hantu di film-film horor Indonesia. Dia menyerang bibirku yang tanpa gincu dengan bibirnya yang merah menyala. Lantas dia membanggakan lekuk tubuhnya yang telah bertahun-tahun terlatih menyilaukan mata laki-laki. Dengan serius Tina berkata, bahwa dia takut sekali tubuhku berubah menjadi seperti karung beras. Sambil berbisik, dia menunjuk beberapa contoh perempuan seperti itu di kantor kami. Menanggapi perhatian Tina, aku cuma bisa tertawa bebas dan menganggap hal itu omong kosong belaka.
Tetapi, setiap kali Tina selesai menilai penampilanku, diam-diam, aku pergi ke kamar kecil, meminta bantuan pada sepotong cermin dan menilai sendiri setiap rinci tubuhku. Di hadapan cermin aku temukan wajah setara Tina. Aku lantas membayangkan, andai aku mau menata penampilanku yang seperti pocong-pocongan ini, aku rasa aku bisa jauh lebih menggetarkan dibandingkan Tina. Tubuhku lebih langsing daripada tubuh Tina. Tinggiku memenuhi syarat agen-agen model di planet ini. Kulitku putih dan rambutku ikal bergelombang. Alisku adalah serentang bulu-bulu halus yang tersusun rapi laksana barisan semut pekerja. Hanya ada sedikit masalah, yaitu kacamata minus yang telah bertahun-tahun melekat di wajahku. Tapi, seperti aku bilang, ini perkara kecil, aku bisa mencopot kacamata sialan ini dan menggantinya dengan lensa kotak berwarna-warni. Dari segi penampilan barangkali aku bisa mengalahkan Tina. Tapi aku yakin aku tak punya bakat merayu dan menjilat sama sekali. Apalagi untuk menjilat si Bos gila itu.
SUARA azan Magrib membuyarkan lamunanku tentang Tina. Betapa sia-sia aku telah berpikir tentang kawanku itu. Lebih baik aku mandi dan bersiap-siap untuk pergi keliling kota malam ini. Sudah lama aku tidak pergi kelililng kota menikmati gemerlap lampu-lampu yang bagaikan kunang-kunang di udara lepas. Berakhir di sebuah kafe di tengah kota sepertinya akan menjadi sesuatu yang indah malam ini.
Kupacu CRV hitamku melewati jalan Daoed Bereueh. Melintasi bundaran Simpang Lima, terus melewati halaman depan Mesjid Raya yang nampak bermatabat berdiri di tengah kota yang terkenal dengan Hukum Syariah. Dari arah Mesjid Raya aku berbelok ke kanan hingga tiba di Rise Up kafe yang lumayan bersih, dan segera disambut oleh pelayanan yang hangat dan ramah.
Aku mencari tempat duduk di pojok utara agar bisa memperhatikan para pelanggan yang keluar masuk kafe. Dari pojok ini enak sekali memperhatikan gerak gerik orang lain. Sebenarnya tidak baik memperhatikan tingkah laku orang lain. Tetapi perasaan nikmat yang menjalari hatiku telah mengalahkan sopan santun. Lalu, aku memesan teh jahe panas untuk menghangatkan tubuh. Tanpa menunggu lama, pelayan segera menyodorkannya.
Aku berpikir, betapa cerianya para pelanggan yang datang menghabiskan malam di kafe ini. Aku juga berpikir betapa sempurna malamku jika ada teman yang menemaniku minum teh saat ini. Aku juga berpikir, apa yang sedang dilakukan Tina sekarang, dia yang dulu selalu setia menemaniku minum teh setiap pulang kerja ketika aku masih di Jakarta. Aku jadi teringat wajah Tina yang ceria dan baik. Aku membayangkan, barangkali suatu hari aku akan mendatangi Tina dan betapa terkejutnya dia ketika melihat aku telah berubah menjadi cantik dan seksi seperti dirinya. Tapi aku tetap tidak mau menjadi kucing, apalagi anjing.
Terlintas dalam benakku mungkin baik juga menasehati Tina agar dia tidak lagi menjadi kucingnya Pak Rasyid. Menasehatinya sama artinya dengan membalas penilaiannya terhadap penampilanku. Tapi tidak mungkin, sebab Tina sangat menikmati perannya itu, sebagaimana aku menikmati penampilanku yang biasa-biasa saja ini. Persetan dengan kesucian! Biar saja Tina seperti itu, lagi pula dia masih menjadi seekor kucing dan belum lagi menjelma seekor anjing. Andai saja Tina ada di sini, pasti kami sedang tertawa mencela kelemahan (atau kelebihan) masing-masing sebagaimana gelak-tawa para pelanggan lain yang terdengar dari sudut sana. Tapi setelah aku pikir kembali, kota ini bukan tempat yang cocok untuk orang seperti Tina.
Suasana kafe kadangkala membuat aku memikirkan sesuatu yang jarang aku pikirkan. Misalnya hal-hal bodoh dan sia-sia seperti yang barusan aku pikirkan. Sekarang aku ingin menghabiskan teh jaheku dan membayarnya. Lalu melangkah pulang menembus dingin malam.
Tiba di rumah aku berpikir untuk menulis semua yang aku pikir hari ini. Menulis tentang si sedap malam; si kucing hitam; penampilanku yang seperti pocong, kesucian, kesia-kesiaan, dan juga menulis tentang Tina sahabatku yang belajar hidup dari kucing tapi tidak pernah mau menjadi anjing. Aku yakin cerita ini akan menjadi cerita yang menarik.
Source
http://aceh.tribunnews.com/2013/09/22/menjadi-kucing
Thank for you vote
<Follow me @FarahTjut>
Tulisan yang menaril untuk di baca kak @farahtjut
Sukses selalu kak
Sekali kucing tetap maling kak @farahtjut... heheee...
Hahahahahah