Setelah menyampaikan kuliah umum di IAIN Langsa, saya mengantar seorang teman ke terminal, mencari mobil angkutan umum, untuk mengantarnya kembali ke Banda Aceh. Mobil yang kami cari adalah L-300. Angkutan umum paling populer untuk perjalanan darat. Namun mencari angkutan di tengah hari siang bolong, bukan pekerjaan gampang, karena biasanya, L-300 beroperasi pada malam hari, terutama tujuan ke Banda Aceh.
Lama menanti, yang ditunggu pun tiba. Kami pun beranjak dari kursi. Kernet pun melihat kami dengan bahagia, “penumpang nih.” Lalu seperti biasa, karena akan berpisah, kami bersalaman. Mengucap satu dua patah kata basa-basi, “jumpa kembali di Banda.”
Teman tadi pun dengan optimis. Tatapan matanya pasti.”Berapa ongkosnya?” tiba-tiba saya bertanya. Tergerak sendiri. Seperti hendak menyibak rahasia dari pertanyaan yang spontan itu. “50.000 bang,” jawab kernetnya. “Lha, 50.000? memangnya mobil ini mau kemana?” Teman saya pun terhenti langkahnya. Dia mematung. “Bukankah kalau ke Banda Aceh 120.000,” katanya dalam hati.
“Samalanga bang,” jawab kernet tanpa prasangka.
Saya pun menatap teman itu. Teman itu malah menatap sang kernet. Ada keanehan yang menyelinap.
“Hana jadeh bang! (gak jadi bang)” kata kami serempak. Bergegas teman saya tadi turun, tidak jadi menggunakan mobil itu. “Saya mau ke Banda Aceh,” kata teman saya lirih.
Tidak lama, mobil L-300 jurusan Samalangapun berangkat. Kami menatap mobil itu sampai jauh, hingga hilang ditelan dari pandangan mata.
Lalu bagaimana nasib teman saya itu? Apakah dia mendapatkan mobilnya tujuan Banda Aceh? Jawabannya ada paragraph berikutnya.
Ya, dapatlah mobilnya. Namanya saja L-300. Selalu ada di samping kita, belakang kita, bahkan di depan kita. Mobil L-300 yang lain pun tiba. Supaya tidak terulang lagi, kami memastikan. Benar. Tujuannya ke Banda Aceh.
Kali ini tidak pakai basa basi lagi. Tidak pakai salam-salaman. Langsung saja dia naik. Saya pun balik kanan.
Mobil L-300 memang penuh cerita. Sejak tahun 2008 saya aktif menggunakan armada itu. Dari L-300 yang sebenar-benarnya L-300. Disebut “sebenar-benarnya”, karena AC nya alami, alias angin dari jendela. Ditambah, ini yang parah, semburan asap rokok dari penumpang lain. Sekarang saya masih setia menggunakan L-300 yang sudah berhijrah. Tampilan lebih oke. AC asli punya toko. Merk mobilnya pun macam-macam. Akan tetapi saya menyebutnya, L-300 ber-AC. Sekali L-300 tetap L-300!
Disebut L-300 karena, secanggih apapun mobilnya, hobi sopirnya tetap sama: memutar music Pance dan kawan-kawan sepanjang perjalanan. Awalnya saya berfikir ini selera yang disesuaikan dengan usianya supir. Yang mungkin sejak muda sudah dicekoki oleh Panbers, The Mercy’s, Diana Nasution, dan tentu saja, Pance Pondaag.
Ternyata tidak!
Bahkan supir yang lebih muda. Ada supir yang usianya lebih muda dari saya, tetap juga memutar lagu-lagu aliran itu sepanjang perjalanan. Tidak peduli, bahwa itu lagu jadul bangeeet. Lagu-lagu dengan genre kek gitu seperti sudah menjadi perjanjian yang tidak tertulis di antara para supir dari generasi ke generasi.
Saya membayangkan, ketika salah satu perusahaan armada hendak menyeleksi salah satu sopir baru. Tidak hanya kemampuan menyetir yang ditanya, akan tetapi juga sejauh mana wawasan musik yang dimilikinya.
Jadi, audisinya nanti seperti acara Berpacu dalam Melodi yang dibawakan oleh Koes Hendratmo di TVRI dulu. Duh, kebayangkan berapa umur penulis ini.
Tidak seperti mobil labi-labi, yang kalah digerus zaman, armada L-300 ini saya kira akan berumur panjang. Pernah ada pakar per L-300-san dari kampus ternama di sebuah Negara antah berantah, yang meramal, bahwa tidak lama armada L-300 ini akan sepi peminat. Pakar antah berantah itu mungkin silau dengan booming bus mewah di Aceh kala itu. Double decker lah sampai mobil bertingkat-tingkat.
Namun ada variable lain yang dilupakan oleh pakar itu, bahwa L-300 itu menawarkan kenyamanan, kedekatan, kepenatan, keefektifan plus kejengkelan. Tapi itu adalah bunga-bunga. Yang tidak akan didapati bila kita menggunakan bus.
Keunggulan L-300, salah satunya, mengantar kita tepat di depan pagar rumah. Hal yang tidak mungkin dilakukan oleh bus. Apalagi double decker yang bertingkat-tingkat itu. Jadi tidak lucu, karena mau bersaing dengan L-300 juga ngotot mau antar penumpang ke tujuan masing-masing. Memang tidak lucu.
Selain itu, L-300 berjasa bagi para penumpang jarak pendek. Misal dari Idi-Panton Labu. Atau dari Ulee Gle ke Beureuneun. Lebih efektif dengan L-300 daripada naek bus, atau kendaraan bermotor.
Walau demikian, ya tolong diperhatikan juga jantung para panumpang. Jangan pulak digas kali. Coba kau selo kan sikit pak Supir. Tidak ada salahnya, prinsip biar lambat asal selamat. Tapi jangan lambat kali pulak. Kapan sampai penumpang ke tujuan.
Selamat ber L-300 ria.
Agak beda rasa tulisan ini
Beda rasa gimana
Abang kok belum ada tulisannya di Blog Steemit? haha
Ni lagi mikir apa sih yg bagus hahha
Hahahaha.... Meunan lah cerita L300
Renyah ni tulisan..L 300 saingan nya mobil rental..ada beberapa kasus di lintas barat selatan. Rental bentrok L300.
Saya pernah membaca itu di media beberapa waktu yang lampau.
Tulisan yang ringan dan renyah.
L-300, teman perjalanan sejak belia. Selalu ada cerita di dalamnya. Semoga eksistensinya terus terjaga.
Bereh-bereh, cerita yang sangat menghibur
Jadi teringat kenangan lama berasam L 30 0 ni Bang @bungalkaf, semenjak tahun 1996 saya kenal dengan angkutan penuh cita rasa ini, dan sampai sekarang jika kemedan saya @najmifajar lebih memilih L-300. angkutan ini juga yang mengajari saya bagaimana menjadi supir.
Ankutan yang tak lekang karena jaman.
Salam sepanjang jalan kenangan.
@najmifajar
udah yogi vote bang...
Pesan yang sangat penting, semoga para supir L300 membaca cerita ini