Rayat Aceh, melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Melakukan perlawanan bersenjata dan perlawanan politik terhadap Pemerintah Indonesia yang berpusat di Jakarta, perlawanan tersebut bukan tidak ada dasar, Aceh yang kaya akan sumber alam merasa di Padang sebelah mata oleh pemerintah Indonesia,
Sehingga timbullah gerakan perlawanan untuk berdiri sendiri sebagai Negara yang berdaulat.
Sebelum ada Indonesia Aceh merupakan Negara Merdeka yang makmur dan di kenal oleh banyak Negara di dunia di bawah kesultanan.
Saat penjajah Belanda masuk keseluruh pulau di Nusantara termasuk Aceh, terjadilah perang puluhan Tahun, setelah penjajah Belanda keluar dari bumi Nusantara para tokoh perjuangan sepakat menyatukan Nusantara menjadi sebuah Negara yang di sebut Indonesia.
Dalam proses perjalanan Aceh merasa di khianati oleh Indonesia, Aceh tidak mendapatkan tempat yang layak sebagai daerah terkaya dan pemilik modal untuk mendirikan Indonesia, sehingga timbullah perlawanan, perlawanan pertama kali dilakukan rakyat Aceh Tahun 1955 lebih kurang, yang berujung dengan perdamaian dan di kenal perjanjian Ikrar Lamteh, hasil perjanjian tersebut juga di khianati Pemerintah Indonesia.
Sehingga Tahun 1976 tokoh Aceh kembali mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bentuk perjuangan sambungan terhadap ke tidak adilan Jakarta.
Sejak deklari perjuangan tersebut Aceh kembali berkonflik dengan Jakarta, suara pemisahan diri dari Indonesia semakin terdengar di ruang publik Aceh.
Perjuangan bersenjata pun dilakukan rakyat Aceh,
Ratusan pemuda Aceh berangkat ke Libya untuk menimpa ilmu militer yang kemudian kembali ke Aceh untuk mengajarkan ilmu militer kepada pemuda Aceh lainnya yang dengan suka rela ikut ambil bagian dari perjuangan Aceh.
Perjuangan panjang rakyat Aceh yang memakan waktu hampir 30 Tahun dan ribuan nyawa melayang karena konflik tersebut.
Pada Tahun 2004, terjadi musibah besar di Aceh yang disebut sebagai bencana kemanusiaan.
Gempa bumi dan Tsunami telah meluluh lantakkan Aceh, ratusan nyawa melayang, harta benda dan bangunan rata dengan tanah, semua mata dunia tertuju ke Aceh, dunia ikut berduka melihat Aceh yang hancur di hantam dahsyatnya Tsunami
Aceh membutuhkan perhatian semua pihak di dunia, para negara donor dan relawan kemanusia mulai datang ke Aceh untuk melakukan evakuasi baik yg masih hidup atau yg sudah meninggal, puing - puing sisa Tsunami perlu pembersihan agar tidak menjadi sumber penyakit baru.
Semua pihak merasa khawatir kondisi Aceh yang benar - benar hancur akibat Tsunami, Negara donor ingin menggelontorkan dana ke Aceh, tapi mereka tau Aceh tidak hanya persoalan Tsunami semata, stabilitas keamanan sangat diperlukan untuk memperbaiki Aceh kembali.
Pihak internasional pun mendorong kedua belah pihak untuk melakukan perundingan damai.
pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka akhirnya sepakat untuk berdamai.
Tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2005 tercapai lah kesepahaman kedua belah pihak dan di tanda tangani, nota kesepahaman tersebut di kenal dengan MoU Helsinki (Memorandum of Understanding).
Dalam nota kesepahaman tersebut para pihak memiliki tanggung jawab seperti yg tertuang dalam nota kesepahaman.
Isi nota kesepahaman Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
http://www.acehpeaceprocess.net/pdf/mou_final.pdf
Hal - hal yang paling mendasar dalam nota kesepahaman Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka meliputi,
Pemerintah Indonesia;
Menarik semua pasukan militer non organik di Aceh.
Memfasilitasi lahirnya Undang - undang baru sebagai hukum positif sesuai konstitusi Republik Indonesia dengan mengakomodir semua isi nota kesepahaman.
http://pih.kemlu.go.id/files/UU%2011-%202006.pdf
Gerakan Aceh Merdeka;
Melucuti semua senjata api dan membubarkan sayap militer GAM.
Proses awal semua berjalan dengan baik tanpa kendala, para negara donor mulai mengeluarkan dana hibahnya membantu pembangunan Aceh kembali.
Sebelum memberikan kewenangan Aceh yang begitu luas Pemerintah Indonesia lebih dulu mempelajari watak orang Aceh dan sejarah orang Aceh, orang Aceh tidak akan pernah kalah dalam perang,
Aceh hanya akan kalah dengan uang dan adu domba, seperti yang pernah dilakukan Belanda saat menaklukkan kesultanan Aceh.
pemerintah Indonesia mengakomodir dana otonomi khusus besarannya 2% dari Anggran Pendapatan Belanja Negara (APBN)
Dana sebesar itu terkesan tidak di kontrol Pemerintah Indonesia, sehingga para politisi Aceh lalai dengan penggunaan dana tersebut.
Dana tersebut seperti menjadi jebakan sehingga perjuangan panjang terabaikan dan para politisi Aceh yang berjuang dulu pecah menjadi beberapa kelompok,
Sampai saat ini kegaduhan ruang publik Aceh seperti tidak bisa di hindarkan, dimana tujuan Mensejahterakan rakyat dan menuntut jakarta berlaku adil malah saling serang di antara sesama politisi Aceh.
Entah kapan para politisi Aceh sadar bahwa mereka sudah kehilangan Arah dalam memperjuangkan hak dan keadilan dari Pemerintah Indonesia.