Di dekat situ, seekor anjing kuning sedang mengendus-ngendus sesuatu di tempat pembuangan sampah—aku tidak terlalu peduli padanya. Dengan mengumpulkan kekuatan, aku berusaha menghibur diri bahwa Zahra bukanlah jodohku. Sudah waktu baginya kawin, sebagaimana Aini yang seusia dengannya. Sekalipun dia menyukaiku, misalnya, dan usiaku terpaut dua tahun darinya, belumlah tiba saatnya bagiku duduk bersanding di pelaminan. Sebagai lelaki, usiaku masih terbilang sangat muda dan aku belum pandai mencari uang.
Namun, Marjono, lelaki hidung pesek itu, benar-benar beruntung sekali, pikirku. Selain amat menyakitkan, aku juga merasa terhina dengan jodoh Zahra yang sedemikian buruk. Tak ubahnya Zahra adalah putri jelita yang meloncat ke dalam kubangan lumpur dan mandi dalam genangan kotoran kerbau. Aku heran, bagaimana bisa dia tertarik dengan lelaki semacam itu? Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengannya selama sebulan lebih tinggal di Lamlhok, dan aku tidak habis pikir kenapa waktu yang begitu singkat dapat mengubah semuanya.
Pandanganku beralih pada anjing yang duduk di bawah pohon melinjo, seperti sengaja menungguiku, seakan aku ini tuannya. Entah kenapa, tiba-tiba aku kembali terisak dengan bahu agak terguncang, tidak dapat menahan sesak di dada, seperti ada suatu gelombang, begitu mengelegak, membayangkan betapa sulit dan besarnya perjuangan yang sudah kulakukan untuk mendapatkan cinta kasih Zahra. Karenanya, aku masih belum bisa menerima kenyataan ini, sekeras apa pun aku berusaha memahami keadaan, dan ingin cepat-cepat melupakannya.
Aku duduk layaknya bersiranggung, menundukkan kepala dengan kedua tangan menutupi muka. Aku terus dalam keadaan demikian menahan sebak di dada. Setelah agak pulih, aku mengangkat wajahku yang basah. Hujan benar-benar telah reda, di atas langit sedikit terang, dan cahaya matahari yang hampir tenggelam muncul di sebelah barat. Aku mengalihkan pandangan, memerhatikan anjing yang duduk situ; tiba-tiba saja ia menjulurkan lidahnya padaku.
Aku geram, meraba-raba sebongkah tanah, lantas melemparkan ke arah binatang itu. Anjing itu pun terkejut lari, sesekali memandang ke belakang dengan tetap menjulurkan lidah merahnya. Tidak jauh dari situ, di dekat pokok delima, ia berhenti. Ia tidak terlalu peduli, kembali duduk tenang mengarahkan pandangan padaku sambil menjulurkan lidah panjangnya.
Removal of Novel Tales of Suram Pelangi
Nearby, a yellow dog was sniffing something in the garbage dump-I did not really care about him. Gathering strength, I tried to console myself that Zahra was not my soul mate. It was time for her to marry, as Aini was her age. Even though he likes me, for example, and I am two years adrift, it is not yet time for me to sit side by side in the aisle. As a man, my age is still very young and I'm not very good at making money.
But Marjono, that pug nose guy, is really lucky, I thought. Besides being very painful, I also felt humiliated by Zahra's mate so badly. Zahra is like a beautiful princess who jumps into a mud puddle and bathe in a puddle of buffalo dung. I wonder how could he be attracted to such a man? I do not know what happened to him for a month or so in Lamlhok, and I can not understand why such a short time can change everything.
My gaze shifted to the dog sitting under a melinjo tree, as if intentionally awaiting me, as if I were his master. For some reason, I suddenly sobbed again with a shaken shoulder, unable to hold back the chest, like there was a wave, so uplifted, imagining how difficult and enormous the struggle I had to get Zahra's love. Therefore, I still can not accept this fact, no matter how hard I try to understand the situation, and want to quickly forget it.
I sat like a jewel, bending my head with my hands covering my face. I keep on holding it in my chest. After recovering a bit, I lift my wet face. The rain had completely subsided, above the slightly bright sky, and almost drowning sunlight appeared on the west. I looked away, noticed the dog sitting there; all of a sudden he stuck his tongue out at me.
I growled, groped a piece of land, then tossed it toward the animal. The dog was shocked to run, occasionally looked backward by sticking out his red tongue. Not far away, near the pomegranate, he stopped. He did not really care, sat back quietly gaze at me while sticking out his long tongue.
I really like this one.
Thanks for sharing.
Kisah yang bagus untuk seseorang yang genar membaca seperti anda