Saya yang belum terbiasa dengan suhu dingin di Takengon, harus mengenakan jaket kemanapun pergi.
Pagi itu, saya sengaja mengujungi salah satu pasar tradisional di kota ini yaitu Pasar Pagi Paya Ilang. Saya penasaran dengan aktivitas masyarakat ini di waktu pagi.
Setibanya di sana ternyata pasar telah ramai. Para penjual buah menjajakan dagangannya di depan mulut pasar. Sementara penjual sayur, ikan dan lainnya berada di dalam pasar tradisional ini. Saya menelusuri seisi pasar. Melihat lebih dekat aktivitas antara pedagang dan pembeli di pasar ini.
Perhatian saya kemudian tertuju dengan barisan penjual makanan di pasar tradisional ini. Aneka kue dan menu sarapan lainnya cukup menggoda.
Saya pun mampir di meja dagangan milik seorang perempuan paruh baya. Ine, begitu sapaan bagi orang Gayo untuk perempuan yang seusianya, tampak begitu cekatan menyiapkan pesanan pembeli. Ine bekerja sendiri.
Kepada Ine, saya memesan sepiring lontong sayur dengan telur bulat balado. Dalam sekejap Ine sigap menyiapkan pesanan saya. Sambil menikmati lontong sayur, saya sempatkan berbincang dengan perempuan berkerudung ini.
Ine bercerita, bahwa semua sajian ini telah ia siapkan mulai pukul 1 dini hari. Ia bekerja dengan dibantu suaminya. Sebenarnya, Ine punya pekerja lain. Hanya saja ia merasa lebih nyaman bekerja bersama suaminya.
“Jam 5 pagi harus sudah siap, susah kalau harus bangunin orang lagi,” ujar Ine.
Setelah semua masakannya selesai, barulah Ine istirahat sejenak sampai azan Subuh tiba. Waktu yang cukup bagi Ine untuk mengumpulkan tenaganya kembali. Sebab setelah ini, Ine harus bergegas menuju Pasar Pagi Paya Ilang untuk menjajakan makanannya.
Ine berdagang mulai matahari belum terbit sampai pukul 3 siang. Pagi itu, sementara Ine berjualan ternyata suaminya sedang berbelanja untuk kebutuhan esok harinya. Jika masih ada belanjaan yang kurang, barulah Ine akan mencarinya sendiri pada siang nanti.
Begitulah, setiap pagi Ine melaksanakan rutinitasnya. Bekerja untuk mencari rizki demi keluarganya. Ine adalah potret kecil dari kegigihan Perempuan Gayo di Pasar Pagi Payang Ilang ini.
Perempuan yang bekerja dengan gigih atas nama cinta. Sebuah potret yang cukup menjelaskan betapa besarnya perjuangan seorang perempuan demi keluarganya. Ine menjelaskan cintanya dengan cara yang sederhana, tak perlu banyak retorika. Cerita ine pagi itu telah memberikan banyak prespektif baru dalam diri saya.
Ya, Kegigihan Ine adalah cerminan semua perempuan hebat di muka bumi ini.
Di indonesia ini bg kita harus bersyukur, karna sangat banyak di berikan keberkahan berupa perempuan2 yang tangguh dan lembut hatinya.. Postingan yang menyentuh bg....
Betul, masih banyak perempuan yang layak menjadi teladan
Terima kasih bang
Sipp, Mantab Djiwa. Karena adam hawa ada, karena hawa perempuan ada, karena perempuan kita ada.
Maka, anak muda, jangan lagi tunggu siang. Segera temukan hawamu haha
Hanya ada di Aceh, lontong sayur itu lauknya berat kayak makan siang. Ada rendang, ayam goreng, dan laut berat lain lagi.
Btw, kakak juga punya memori cantik di Takengon. Sehari sebelum ultah, Bangsu yang pulang dari dinas keliling Aceh, langsung ngajak ke Takengon...
huhuhu... ultah yang dingiiiiiiii.
hehe sarapan merangkap makan siang
Tulislah kak ceritanya
pasar Paya Ilang ini yang dekat terminal kan? aku ada juga ke sini, nyobain sarapan di warung yang ada di salah satu pojok pasar, menunya enak, pagi itu aku makan pake menu ikan pengat. Oh ya, bicara takengon rasanya tidak lengkap tanpa melibatkan kabut yaa...itulah salah satu bentuk romantisme kota dingin itu.
Ya Ihan,
Kata Kabut mengambarkan betapa dinginya kota ini
Kegigihan,fokus memang berat. Nggak semudah yg dibilang sama dilan
Dilan enak, cuma pura-pura :D