Jembatan Surga itu; Ayah!
Oleh: Uci Zahra
Duhai, Ayah ... Meski umur mengikis waktu yang ada dan keriput menjadikanmu tua, namun kasih sayangmu selalu terasa dalam senyum, belaian, tatapan dan roncean doa. Engkau adalah salah satu jalan utama mendapat ridho-Nya.
Terima kasih; Ayah
Punggung bungkukmu adalah satu bukti perjuangan seorang ayah untuk kehidupan layak bagi keluarganya. Ingatkah? Kala itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Lelap tidur siangku terjaga demi mendengar kericuhan di rumah. Dengan bingung aku hanya memandang tetangga yang menggotongmu dan dari mulutmu terdengar jelas teriakan, “aku mati ... aku mati ... tolooong!!!” begitu berulang-ulang. Mulutku saat itu tidak berani bertanya ada apa dan mengapa?
Aku hanya menyadari kakiku mengajak berlari ke belakang rumah. Sendiri dan menangis, baru setelahnya paman menghampiri. Ia menertawaiku sebab menangis secara sembunyi-sembunyi. Setelah berhenti menangis baru aku tahu cerita sesungguhnya tentang kondisimu. Engkau jatuh dari pohon durian saat ingin memetik buahnya untuk dipanen. Ketinggian pohon itu sekitar sebelas meter. Dan dampaknya tulang punggungmu patah.
Ibu merawatmu dengan sabar dan ikhlas. Mungkin aku belum paham tentang perjuangan ayah kala itu tapi kini ketika kukenang wajahmu membuat hati terasa sesak menahan sakit akan kerinduan. Ya, aku rindu ayah. Tubuh ayah yang kurus dengan punggung membungkuk. Karena luka itu engkau tidak sekuat dulu atau seperti ayahnya teman-teman lain. Adakalanya aku merasa sedih saat ingin pergi ke suatu tempat, selain tidak punya motor, engkau tidak bisa mengendarainya, akhirnya merepotkan tetangga.
Dan ketika aku mengadu padamu, engkau menjawab lirih berbaur senyuman.
“Biar saja ayah nggak bisa bawa motor, sebab nanti anak ayah ini bisa beli dan bawa motor sendiri”. Harapanmu lebih kepada kebahagianku. Setelah itu kita tidak merasa bingung tentang ketidak-punyaan dan ketidak-mampuanmu. Karena ucapan yang pernah engkau berikan selalu terngiang di telingaku.
Meski ragamu kini tak sekuat dulu untuk mencari nafkah keluarga atau tak segaul ayah orang lain. Aku tetap bahagia dan bangga masih mempunyaimu. Jika mau menengok ke belakang dan melihat ke bawah. Banyak di luar sana seorang anak tanpa ayah bahkan tiada orang tua lengkap. Aku masih punya engkau, Ayah.
Engkau yang pendiam dengan kerutan jelas di wajahmu, semoga kesehatan dan jagaan Allah senantiasa bersamamu. Hanya doa menjadi penyambung kerinduan di antara kita saat ini. Kendati pun bisa menelepon dan mendengar suaramu, akan tetapi kini pendengaranmu sudah tidak begitu jelas sehingga obrolan pun sering salah dengar. Bukankah kita sering berdebat sebentar? Dan setelahnya tertawa lepas. Kangen telah terobati.
Karena saat ini giliran aku yang bekerja. Bukan sebab engkau sudah tua atau ragamu sering sakit-sakitan. Tapi lebih karena aku sudah dewasa dan memang sudah saatnya kewajiban itu tertunaikan. Melalui ajaran, kasih sayang dan perjuanganmu serta ibu, aku bisa menjadi seperti sekarang. Cinta kalian tak kan pernah luntur oleh apapun.
Aku masih mengingat permintaanmu itu ayah. Engkau menyuruhku untuk tidak menambah kontrak kerja setelah selesai. Dan pulang untuk merawatmu karena merasa umur sudah semakin tua dan ragamu melemah. Saat itu bendungan mata tak mampu kutahan. Haru melingkupi naluriku dan terdengar pula isak dari seberang. Ayah berbicara dengan parau. Aku tahu engkau menangis. Sebab kesepian, setelah ditinggal ibu pergi selamanya.
Dan aku yang jauh dari rantauan.
Yang dapat aku lakukan ketika itu hanya bisa meyakinkanmu bahwa waktu dan jarak yang memisahkan ini akan segera berlalu dan mempertemukan kita kembali. Ya, mungkin terbaca seperti dua insan yang jatuh cinta. Namun cinta antara anak dan orang tua adalah suci dan tulus. Bukankah cinta orang tua seperti cinta Allah. Dan ridho orang tua adalah ridho Allah.
Sering kita mendengar surga ada di bawah telapak kaki ibu. Dan tahukah kita, engkau ayah adalah jembatan menujunya.
Aku menyayangi dan merindukanmu, Ayah. Segala nasehatmu akan terus hidup dalam setiap hela nafasku. Tunggu kepulanganku. Dan kita kan bersama duduk di teras bertemankan dua cangkir kopi dan engkau dengan rokok buatanmu sendiri. Mengenang cerita lalu dan tentang; Ibu.
Engkau; Ayah adalah lelaki sejati yang tak kan pernah menyakiti atau mengkhianati hatiku. Engkau tiada terganti!
Sayangilah Ayah, Ibu, keluarga kita dengan setulus hati. Sebelum kita mengenal orang lain yang mencintai kita, orang tua lebih dulu ada untuk kita. Lalu mengapa terkadang banyak yang menggadaikan hidup demi orang yang datang ketika kita dewasa. Lalu lupa orang tua. Ketika satu dari mereka atau bahkan keduanya diambil oleh Tuhan, baru kesadaran akan kehadiran mereka itu penting, sangat berharga.Sebelum menyesal, sebelum jembatan dan surga itu diambil oleh Pemiliknya, hormati, sayangi, bahagiakan dengan kehadiran kita, doa kita.
Teruntuk semua ibu dan ayah yang ada di dunia ini semoga kalian dalam lindungan Tuhan dan keridhoan-Nya.
salam aksara senja dari Formosa
Posted from my blog with SteemPress : http://ucizahra.epizy.com/2018/10/19/lagi-lagi-tentang-ayah/
Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by Ucizahra from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.
If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.