Aku melihatnya. Mengusap peluh tanpa henti di pijakan tempat dia menanamkan harapan. Dapur besok ada bau ikan asin, paginya, kopi gula jawa di meja. Dan sorenya penagih hutang pulang tanpa makian. Lembaran lusuh aman di genggaman.
“Pak, pupuknya sudah beli kan?”
Kudengar istrinya memulai percakapan.
“Sudah, Bu. Ya, tapi beli yang murah itupun masih ada tunggakan di toko. Jadi gimana mau beli yang bagus seperti tetangga sebelah. Apa-apa sekarang mahal, Bu.” Aku ikut diam mendengarkan.
“Dicoba saja, Pak. Semoga dua bulan benar-benar bisa dipanen jagungnya. Bu lurah bilang jika kali ini panen gagal lagi, tanahnya mau disewakan ke yang lain, mana pak Miun nagih terus.” Aku dan bapak menjadi pendengar setia ibu berbicara tentang kekhawatirannya.
Aku akan berbagi sebagian yang aku tahu.
Bapak dan ibu tidak punya anak kandung. Mereka tinggal di kota kecil yang terkenal, Blitar, begitu nyanyian anak-anak yang sering aku dengar tentang kota ini. Mereka menyewa lahan untuk mencoba mengadu nasib mendapatkan uang. Agar bisa makan dan tentunya membayar hutang yang berbunga-bunga. Penghasilan tak seberapa pengeluaran tidak bisa diajak kompromi. Berkali-kali gagal panen, jika bukan karena hama ya cuaca yang tidak bersahabat.
Yang kudengar ini adalah peluang mereka yang terakhir jika gagal lagi terpaksa lahan tak boleh lagi diolah oleh mereka. Mereka pasangan tua yang kasihan. Aku bersama mereka sudah bertahun-tahun. Jadi tahu pahit getirnya keseharian mereka. Adakalanya aku ikut menanggung tapi lebih sering diam.
Mereka petani kecil yang kadang tidak paham apa yang terjadi tiba-tiba terasa sesak karena semua serba mahal, apa-apa naik, susah, yang murah hanya tenaga dan hasil taninya. Dicekik oleh makhluk yang kasat mata. Ah, sudah dulu ceritanya nanti kalian akan tahu kelanjutannya. Bapak ingin mengajakku ke ladang.
Bapak sedang menyirami tanamannya dengan wajah yang digembirakan. Sebab mendung berbondong-bondong menggumpal tepat di atas kepala. Dia tak perlu lagi menggunakan banyak air berbayar ini banyak-banyak. Biarkan alam yang bekerja.
“Mau hujan loh, Pak Man ayo pulang!” Tetangga kaya sebelah rumah memanggil bapak sambil berlari sebab berlomba dengan hujan siapa yang sampai rumah duluan.
“Silahkan, Pak!” Bapak mengangkat kepala sebentar, lalu mendongak. Mungkin dia bergumam ucapan terima kasih sebab si hujan akan datang. Dan tentunya akan dia akhiri dengan permintaan agar datang seperlunya saja, jangan terlalu lama.
“Ayo pulang!” Aku hanya mengikut dari belakang. Diam memperhatikan punggung yang tercetak jelas tulangnya karena keringat. Pundaknya yang tinggi sebelah.
Terlihat dari kejauhan ibu berdiri di depan pintu. Aku rasa bukan menunggui kami, karena pandangannya tertuju pada punggung perempuan gemuk yang mulai menjauh dari pelataran rumah.
“Barusan bu Prapti to, Bu?”
“Eh, Pak. Udah pulang? Masuk dulu lah!”
Ibu dengan cekatan mengambil teh manis yang mendingin. Menemani bapak yang duduk di dipan bambu ruang tengah.
“Bu Prapti bilang singkongnya tidak laku banyak, Pak. Ini uangnya.” Ibu menyodorkan uang sepuluh ribuan dan dua ribuan yang tak seberapa. Tak sebanding dengan tenaga dan jumlah singkong yang berkilo-kilo diangkut dari lahan ke tengkulak desa ini. Bapak mengembuskan nafas dengan berat.
Mungkin karena tidak pandainya mereka dalam memasarkan sendiri atau karena negara sekarang sedang krisis. Tengkulak membeli panen mereka dengan harga murah, benar-benar tidak sesuai harapan.
“Ya sudah Bu, disyukuri saja. Mau gimana lagi. Protes? Marah? Ke siapa?”
“Tapi tadi Miun datang lagi, Pak. Nagih. Seminggu lagikan jatuh tempo jika ndak bayar nanti berbunga lagi. Kan susah.”
Mereka tak lagi bicara. Hanya menikmati teh dingin yang paling gulanya hanya setengah sendok. Sambil memandangi hamparan sawah milik lurah yang hijau, menari-nari terkena siraman hujan. Tidak deras tapi sering. Pertanda hujan tak kan segera pulang. Sayup-sayup suara azan membuat keduanya beranjak dari duduk. Sedangkan aku memilih di sini merasakan sapuan angin sejuk yang menghantarkan aroma tanah dan dedaunan.
Benar adanya kawan. Hujan itu tak mau mendengar doa bapak. Bukan hanya sehari tapi empat hari berturut-turut tidak mau berhenti. Awalnya tidak deras, bukan? Setelahnya hujan seolah berpesta. Guyurannya membabi buta. Mungkin ia menguji bapak. Dan, ya, bapak seharian ngamuk-ngamuk sampai aku kena batunya, dipukul berkali-kali.
Ini hari pertama setelah hujan maraton. Bapak dan ibu sudah bersiap membawa peralatan seadanya untuk melihat tanaman mereka. Hari ke lima puluh sebelum, dua mingguan lagi berpanen. Aku tak ketinggalan pasti ikut mereka. Meski di belakang, aku mendengar dengan jelas degup jantung bapak. Ada ketakutan, harap-harap cemas tentang jagungnya.
“Jalannya pelan saja, Pak! Nggak akan lari itu jagung.”
“Ah Ibu ini. Aku kan ingin cepat sampai, mau tahu keadaan lahan. Jagung hampir siap panen di datengi hujan harian. Takut, Bu!” keluhnya.
Aku terhantuk punggung bapak yang berhenti tiba-tiba. Setelahnya aku baru sadar bahwa hujan ini menumbangkan banyak pohon jagung. Bukan saja milik bapak, tapi semua tanaman milik orang desa. Tanpa terkecuali, bahkan padi milik lurah terendam air dan hanya sedikit pucuknya yang tampak.
“Tuh kan, Bu. Hancur!”
“Sebagian, Pak. Ndak semua. Masih banyak yang selamat.” Ibu hanya tidak ingin menambah kekecewaan bapak dengan berkata seperti itu. Dia sendiri pasti terluka dengan keadaan ini.
Di ladang bukan hanya mereka berdua yang mengecek tanaman. Semua orang yang bercocok tanam berdatangan untuk melihat kerugian mereka.
“Sudah harga pupuk mahal. Tengkulak belinya murah. Hujan berhari-hari. Kapan untungnya, Bu, Bu jika gini terus?”
“Sabar, Pak!”
“Sabar bakal subur gitu to, Bu? Mimpi! Wong cilik kayak kita susah makmur, Bu.”
Dengan geram bapak mengajakku memangkas batang yang tumbang. Mereka tak kan bisa dipanen sempurna buat dijual. Nanti akan dipilihi yang sekiranya bisa mengisi perut-perut tanpa lemak milik bapak dan ibu. Lumayan, pengganjal perut.
“Isinya nggak penuh, Bu.” Bapak menyodorkan jagung tumbang yang dikupasnya. Tampak isinya jarang dan ukurannya pun tidak begitu besar.
“Masa iya semua gini, Pak?” Ibu masih ingin terlihat tegar dengan semua keadaan ini. Walau nadanya tak begitu meyakinkan.
“Mungkin pupuknya nggak cocok, Bu.”
“Banyak yang tumbang kah, Pak Man?” Bu lurah tiba-tiba saja sudah di belakang ibu.
“Oh, Bu. I ... iya, nih.” Ibu mendahului bapak menjawab.
“Hujannya nakal nggak ngerti orang lagi butuh, ya.” Bu lurah melirik bapak yang masih mengumpulkan jagung di tanah.
“Alam memang tidak bisa ditebak, Bu, ndak kayak bahan lainnya.” Giliran bapak yang cepat menjawab. Aku dibiarkan bersama jagung yang sudah diambil dari batangnya.
“Padi saya juga direndam itu, Pak. Entah surutnya. Oh iya, bukannya tidak tahu keadaannya sekarang tapi soal yang kemarin itu saya sungguhan, Pak Man, Bu Man. Maaf jika saya bilang lagi, soalnya kan sebentar lagi mau pemilihan kepala desa jadi kami butuh sekali.”
Pembicaraan ini lagi. Bapak dan ibu selain raut lelahnya juga tampak jelas kepasrahan itu. Mereka tak yakin panen kali ini bisa dikatakan menghasilkan jika hampir separoh lebih pohon jagungnya bertumbangan dan isinya yang tidak memuaskan.
“Iya Bu Lurah kita paham. Terima kasih.” Ibu mewakili bapak yang masih enggan mengalihkan pandangannya dari jagung-jagung di atas tanah.
Sepeninggalnya bu lurah bapak terduduk di tanah. Lembeknya tanah yang menyentuh pantatnya tak dia hiraukan. Dia hanya ingin melepas lelah sekejap saja. Ibu pun mengikuti. Keduanya hanya diam, aku pun sama. Tak bisa bersuara selain mengamati kedua punggung kurus itu.
“Gagal bayar hutang no, Bu, nanti?”
“Belum tentu, Pak. Kan jagung belum dipanen. Siapa tahu ketika kita jual nanti meski pas-pasan bisa nglunasi hutang. Jahe dan lengkuas belakang rumah bisa buat tambahan, Pak, walau ndak seberapa. Atau untuk sementara bisa pinjam ke bu Wahyu biar kita bisa nutupi hutang ke bu Prapti agar nggak berbunga. Ada jalan, Pak.”
“Semoga saja, Bu. Susah semakin susah, yang kaya tambah kaya. Ndonyo-ndonyo .”
Keduanya masih duduk santai. Sedangkan aku tetap setia bersama mereka, mendengar segala susah senang bapak dan ibu. Walau tak bisa berbuat banyak. Aku akan bersama mereka selamanya, kecuali bapak sudah tidak mau lagi memakaiku, si parang tua yang nantinya akan karatan.
Selesai
Posted from my blog with SteemPress : http://ucizahra.epizy.com/2018/10/27/bapak-dan-parang-tua/
Mbak uci aktif terus steempres nya.. 😊😊
Posted using Partiko Android
Heheh, Alhamdulillah ada bahan mbak kalau ndak ya gak aktif hehr
Posted using Partiko Android
Issshhh,,,manis dan elegan, nyata, senyata tebasan tarmontina di pinggang bukit, suatu ketika dulu @ucizahara, semangat!
Tarmontina apa bang
Posted using Partiko Android
Tramontina itu, glok tebas dari brazil
Hayo menyeramkan sekali
Posted using Partiko Android
Semoga para bapak2 selalu di kasih kesehatan dan kelancaran rezeki.
Keren lah buat bapak bapak yg berjuang untuk kebahagiaan anak anak sama istrinya
Posted using Partiko Android
Aamiin, Bang... 😊
Posted using Partiko Android
Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by Ucizahra from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.
If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.
Happy Thanksgiving, wish you a beautiful day and always feeling grateful to God
Posted using Partiko Messaging
Thank you tou too
Posted using Partiko Android
Ikutan kontest Partiko mbak... Semua bisa dpt 2 steem
Posted using Partiko Messaging
Congratulations @ucizahra! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking