Cerdas Finansial (Tantangan Hari ke-3)
Saat kuliah dulu, aku sering melihat sepupuku mencatat pengeluaran per hari mereka secara rinci, hingga ke ongkos angkot atau kalau di Banda Aceh namanya Labi-labi yang kala itu hanya bertarif Rp1000-Rp2000 saja. Beli burger atau camilan lainnya juga dicatat.
Duuh, rempongnya, kupikir. Lalu belum lagi anggapan orang lain bahwa Papanya sangat perhitungan dan cenderung pelit. Mereka salah besar bagi yang menganggap orang tuanya pelit. Malah dengan mengatur keuangan serupa itu, ternyata mereka lebih sukses finansial dan bisa membantu banyak orang, membuka lapangan kerja bagi warga di kampung kami dan bukan tidak mungkin jauh lebih banyak infaknya saat pembangunan masjid dan pembebasan tanah wakaf.
Ah, masih bisa kuingat malam liburan yang kuhabiskan duduk bersama mereka bercerita tentang keseharian di bangku kuliah. Mereka tinggal di rumah saudara kami yang lain, sementara aku tinggal di kamar kost di kompleks dosen yang tepat bersebelahan dengan kampusku. Kita sama-sama punya pertimbangan dalam hal menentukan tempat tinggal saat kuliah. Kami saling bersilaturahmi dan bahagia bahu membahu dan saling menyemangati. Kedua sepupuku ini laki-laki, ada seorang lagi perempuan tapi dalam silsilah keluarga, ia adalah keponakanku walau usianya lebih tua empat bulan.
Cara mendidik dan memahamkan uang untuk kami berbeda-beda, dulu Abak dan Umak selalu menyokongku penuh dalam hal finansial. Aku bahkan tak diizinkan bekerja sambilan saat kuliah dulu karena diminta fokus menyelesaikan kuliah. Ada tawaran menjaga toko kelontong dan warnet. Aku diskusikan dengan keluarga tapi malah ditanyakan “Apa uang yang Umak Abak kirim kurang?”
Hehe...sebenarnya tentu saja tidak, bahkan nominal milikku bisa dikatakan besar dibanding teman seangkatan dulu. Dengan karakterku yang ogah belanja ke pasar karena bingung melihat suasana yang crowded, aku bahkan bisa membeli buku incaranku setiap datang kiriman bulanan. Ke sanalah aku sering menghabiskan anggaran, padahal kemeja yang kupakai cenderung itu-itu saja. Aku tak suka berbelanja, tepatnya tidak pintar berbelanja.
Akhirnya tanpa tujuan mendapatkan uang, aku bekerja paruh waktu juga di laboratorium Biologi Dasar di kampusku. Saat itu honor yang kudapat asli untuk kesenanganku saja. No money saving, no planning, nothing at all.
Sampai di sana aku baru tahu, kelak ketika punya anak aku akan mencoba metode yang diterapkan sepupuku itu. Mengapa canggung mencatat anggaran keluar dan berinvestasi? Mengapa khawatir dianggap perhitungan oleh orang lain sementara pengeluaran yang kita catat itu adalah apa yang kita pakai, uang yang ada itu milik kita dan ingin kita kelola. Itu semua menjadi hak kita mengalokasikannya ke mana. Bahkan dengan mencatat lebih rapi, kita bisa rutin bersedekah dan membersihkan harta.
Uang yang ada bukan sekadar singgah dan huff, berlalu begitu saja tanpa jejak dan tabungan di hari depan atau pun tabungan akhirat. Saat kita mengelola keuangan kita dengan konsep 10/10/10/70, rasakanlah, kita jadi lebih rajin menunaikan hak orang lain ketimbang memikirkan uang yang selalu kurang dan tiada cukupnya.
Konsep 10/10/10/70 tadi bisa dijabarkan, di mana besaran itu terdiri dari 10% beramal, 10% menabung, 10% investasi, sisa 70% untuk pengeluaran. Pada awalnya konsep 10/10/10/70 ini akan terasa berat tetapi inilah saatnya memulai kebiasaan positif untuk masa depan yang baik.
mengajarkan setahap demi setahap
Lalu apa aku menyesali telah dididik finansial seperti ini? Sama sekali tidak! Saat kecil Abak dan Umak sudah memahamkan pula konsep uang hanya sebahagian dari rejeki dan ia bisa dimanfaatkan untuk kita lebih dekat pada Sang Maha Pemberi. Jadi dalam planning-ku kali ini, walau diajak mengelola dan berikutnya akan ada dorongan untuk berinvestasi atau mendapatkan uang lebih banyak lagi. Apalagi kalau ternyata dalam pergaulan anak kita melihat temannya bisa menadah tangan dan tinggal merengek apa pun bisa didapatkan. Akhirnya ia pun mencari tambahan.
Nah, saat itu aku akan memakai konsep yang Abak dan Umak terapkan bahwa mengejar keberkahan itu penting. Jargon tantangan kali ini “rejeki itu pasti, kemuliaan yang dicari” sudah diterapkan Abak pada kami bersembilan. Maka hingga kami dewasa, aku bisa melihat di kehidupan keluarga kakak, uda, dan adikku, kami tak pernah panik dalam hal rejeki. Prinsip rejeki itu pasti tertanam di sanubari kami, ini tinggal dipadukan dengan kecerdasan mengelolanya yang dalam ingatanku sekarang, Abak cukup ahli di bidang ini tapi tak sempat mengajari kami.
Di organisasi atau pun yayasan yang dikelola Abak dulu, Abak selalu didapuk menjadi bendahara. Kata Abak, beliau sering menolak tapi selalu dipilih kembali dengan alasan banyak hasil kerja atau uang amal usaha yang “menjadi wujud” saat keuangan dikelola oleh Abak. Pasti Abak pintar mengalokasikan dan memprioritaskan dana-dana tersebut. Abak juga cerdas berinvestasi. Beliau seorang visioner di mana beliau sempat menabung tanah dan kebun di kala usia kami masih kecil sekali dan saat Abak masih membersamai kami, dampak investasi Abak sudah merembet ke keluarga kecil kami. Namun ya itu dia, Abak tidak mengajarkan kami secara rinci. Atau kami anak-anaknya yang malas. Kini saatnya mengikuti dan belajar pada beliau.
Hari ketiga, kami masih pada taraf mengatur mini budget. Agak kelimpungan juga dan beberapa hari ke depan masih juga berkutat dengan mini budget dan berikutnya pelan-pelan akan dipahamkan dengan konsep 10/10/10/70.[]
#Tantangan10Hari
#Level8
#KuliahBunsayIIP
#RejekiItuPastiKemuliaanYangDicari
#CerdasFinansial
Posted from my blog with SteemPress : https://stanzafilantropi.com/konsep-10-10-10-70-cerdas-finansial-hari-ke-3/
Artikelnya keren ini.. telah kami upvote dan resteem ke 7559 follower yaa.. 8) (Secercah kontribusi kami sebagai witness di komunitas Steemit Indonesia.)
You got a 100.00% upvote from @kakibukit courtesy of @puncakbukit!
Setuju sekali Mba...
sejak kecil saya memiliki planning untuk apa uang saku saya pergunakan. Meskipum untuk hal2 kecil, seperti membeli serutan pencil.
Alhasil, hingga dewasa jadi terbiasa menggunakan uang belanja semestinya.
asal jgn lihat baju2 cantik di outlet saat liburan😅😅😅
haha...ada pengecualian ya, Mbak.
Ini penyakit bawaan kaum hawa Mba Aini.
hagahaaaa
Salfa masih belum memahami nilai tukar.
Tapi dia sudah paham kalau ingin beli sesuatu butuh uang.
Iya Mba, Alhamdulillah sudah dimulai sejak awal ya... Selamat berjuang Salfaa!
Seru!!kami selalu gagal dalam hal catat mencatat, rasanys rempong sekali
Yok lagi dan lagi. Emang memulai itu gampang yang sulit itu konsisten. Kami juga nih.
Otw nyatet
Tuul yang rajin yok!
Suka nabung, tapi kalau udah belanja lupa cara pegang duit. Wkwk
Haha..uangnya gak mau dipegang Mba. Terbang2 terus dia.
Kk waktu kuliah dulu ....alah baitu...begitu kiriman sampe..kk bagi sesuai pos2 kebutuhan yang alah kk catat.Beko kepengnyo dimasukkan dalam amplop yg alah ditulis untuk apo kian.Yang terakhir untuk hal tak terduga.ko biasonyo akhir bulan banyak balabih.Kok kiriman datang lagi...kk kumpukan siso uang yg masih ado di tiok amplop...masukkan ke rekening tabungan kk di BNI 46 waktu tu. Setelah wisuda kk pulang.lah tu lupo menutup rekeningnyo.Antah limo tahun kemudian kk dapek kiriman dari BNI 46 buku tabungan yg alah dipotong biaya adm...nol...
Waah Aini dak mau belajar waktu tidur yoo
waktu tidur?..ngantuk aini?
Hahahaha Iyo kak salah ketik. Waktu tu maksudnyo