Cinta Nita di Temaram Senja

in #steempress5 years ago

“Haus, Ma?”

Mama hanya mengangguk lemah, segera kusodorkan segelas air putih, membantunya duduk dan menyesap air minum menggunakan pipet.

“Makasih, Sayang...” Mama berhenti sejenak, memperbaiki posisi duduknya sendiri, aku tahu ada yang ingin dikatakannya lagi, jadi aku dalam posisi masih menyimak. “Nta nggak kerja hari ini?”

Giliran aku yang menggeleng sambil coba melarik lengkung di bibir.

“Kenapa, Sayang...kamu capek? Apa liputan kamu nggak dinaikin lagi sama pemrednya? Tapi kan, kamu bilang kamu suka perkerjaanmu?” tanya Mama kepo.

Memang tumben aku izin tak masuk kantor lagi hari ini, ke lapangan juga tidak. Tak ada yang mau kulakukan berkaitan dengan pekerjaanku. Sejak bangun tidur mengurusi rumah dan Mama.

“Nggak apa-apa, Ma. Nita mau sama Mama hari ini...”

“Jangan karena Mama... kan ada Bi Uwis, kamu janji tidak menajadikan Mama alasan apa pun...”

“Bukan Ma, bukan karena Mama, cuma karena Nta mau sama Mama hari ini...”kilahku lagi.

Nta...panggilan sayang yang bisa diartikan “Cinta” atau “Intan”. Kkupejamkan mataku sambil menarik napas berat. Kelebat satu sosok hadir di pikiranku. Lalu, kenapa hati ini nyeri?

“Harun...kenapa dia udah jarang banget ke rumah, ya? Apa kabar dia?” tanya Mama tetiba.

“Oh...iya. Dia... tampaknya dia sedang sibuk berat, Ma. Lebih banyak ke luar kota juga urusannya...”

“Oh, tapi dia sehat, kan, ya? Kalian baik-baik saja?”

“Baik, Ma. Oh iya, Nta mau taruh gelas ini dulu ke belakang? Apa Mama mau Nita bawakan cemilan?” Mama hanya menggeleng pelan.

Harun. Ah, lelaki itu. Kenapa aku menjadi begini cengeng? Ada yang mendesak ingin keluar dari kelopak mataku.

“Nta, ibuku sudah ingin menimang cucu, usiaku juga sudah 34 tahun.” Harun mencari mataku untuk ditangkap dan dipindai sedemikian rupa.

“Tapi, aku belum siap, Run... mama... mamaku masih membutuhkanku, aku takut nanti justru tidak bisa jadi istri yang baik. Aku sayang kamu, Run...tapi kumohon...”

“Menunggu sampai kapan, Ta? Sampai kita ubanan? Sampai mama kamu sembuh?”  

 Pertanyaan itu menghunjam hatiku, ini adalah awal kerenggangan kami. Enam tahun saling mengenal, bukanlah kata orang jika tahun kelima dalam hubungan asrama mampu kita lewati, harusnya ke depan kita tak perlu ragu lagi. Ibarat bulan di akhir tahun, ia sudah diterpa berbagai musim. Aral dan berbagai jenis badai telah terlewati. Bukankah harusnya kami sudah lulus?

Nita, maafkan aku. Maafkan semua hal buruk yang sudah terjadi. Walau apa pun peristiwa ke depan, aku ingin tetap mengenalmu sebagai sosok yang kutahu. Kumohon, jangan berubah.

Haruskah aku mendapatkan surel semacam itu? Tujuh tahun, Harun tahu benar ada dua alamat surel yang setiap malam dan pagi aku cek. Satu untuk pekerjaanku, satu lagi kotak masuk surel pribadiku. Harun mengirimnya ke alamat kedua.

Nita. Mungkin garis hidup kita sudah begini, tapi aku mohon tetaplah jadi Nita yang kukenal. Sebenarnya sudah sejak setahun yang lalu Ibu sudah mengenalkanku dengan seseorang. Awalnya tentu saja aku tolak. Aku sudah punya kamu. Tapi selanjutnya kamu tahu, kan, Nta? Sekuat apa pun berjuang kalau bertepuk sebelah tangan, hanya angin yang terasa. Menepuk angin seperti pesakitan, menunggu bunyi... apa mungkin angin akan bunyi menderu hanya dengan tepukan sebelah tanganku? Kuharap kau memahaminya dengan baik.

Nita, sampai jumpa. Tetaplah jadi “cinta”.  

Cinta di jingga senja. Sekejap saja tak terasa, ternyata malam tiba. Dikulumnya segala bahagia.



Posted from my blog with SteemPress : https://stanzafilantropi.com/cinta-nita-di-temaram-senja/