~ Yang tersisa cuma kenangan
Masa kecil, masa sebelum booming minyak, sebelum deklarasi Tiro, bagi saya adalah masa penuh kenangan lembut dan indah.
Masa anak-anak muda berambut gondrong dan bersepatu tumit plafon hilir mudik dengan Vespa atau DKW (Dampf Kraft Wagen-sepeda motor Jerman).
Masa Queen baru meliris Bohemian Rhapsody.
Masa udara Bandung bersih dan dingin. Masa-masa di mana daging dan ikan dibungkus dengan daun waru. Masa-masa ketika rata-rata makanan aman dari pengawet dan zat aditif.
Masa itu, anak yang punya uang dua puluh lima rupiah artinya kaya. Artinya dia bisa membeli comro, itu gorengan dari ubi kayu yang dalamnya diisi oncom dibumbui cabe dan lain-lain.
Sangat sedap.
Selain comro dia masih bisa membeli ubi goreng, singkong goreng, tepung tapioka dibulatkan ditusuk lidi dicelup saus kacang alias cilok.
Dan ada manisan rasa rame, manis asam asin, dibungkus kertas bercap huruf tiongkok warna-warni. Bungkusannya dibuat macam berantai-rantai, satu bungkus ada tiga manisan.
Kami menyebutnya “manisan kana”. Entah kenapa namanya kana. Seingat saya manisan itu memang selalu ada di kedai mana pun di Bandung.
Jangan-jangan orang Aceh yang duluan menyebutnya “kana”, menunjukkan bahwa sebelum ada permen manisan itu sudah ada duluan.
Zaman saya TK, lebih ngeri lagi, dua puluh lima rupiah itu bisa dapat sepuluh butir permen, tambah manisan asam Jawa yang dipipihkan macam kertas, tambah cingcau hijau yang disiram sirup merah dan santan.
Atau, yang agak borju sedikit, gula-gula kapas merah jambu, atau gulali dari gula merah yang dibentuk macam ayam, ikan, atau tokoh wayang.
Bahkan cendol atau bakso dengan mie kuning atau putih, yang kuahnya boleh minta tambah sesukanya.
Lebih tua sedikit, waktu SD. Zaman akhir masa sekolah masih bulan Desember. (Astaga. Kapan itu ya? Ketahuan betul umur gaek saya).
Dua puluh lima rupiah adalah sekeping uang logam mungil berukir burung dara mahkota khas Papua. Dulu namanya masih Irian.
Sebelah muka gambar burung, sebelah tulisan angka “25” yang cukup besar. Masih terbeli segala rupa gorengan, masih dapat lima.
Kalau mau, bahkan bisa dapat mpek-mpek aci (sagu atau tapioka) dengan kuah yang rasanya lumayan bisa menyaingi kuah otentik wong kito.
Ada juga sukro, singkatan “suuk di jero” alias “kacang di dalam”, makanan ringan dari kacang berlapis tepung. Tapi yang dijual di kantin sekolah kami, khusus enaknya, karena diberi cabe dan bumbu-bumbu.
Ada kerupuk yang digoreng di dalam pasir panas. Lengkap dengan butir-butir pasir yang kadang-kadang masih nyasar dalam bungkusannya.
Ada juga “jagong beledug” (terjemahan bebasnya, jagung meledak). Itu semacam pop corn kuno ala Pasundan, biji jagung kering dimasak dalam abu panas sampai meledak. Warnanya cokelat, bukan putih. Dan biasanya dimakan dengan dikucuri gula cair.
Naik lagi, kelas dua dan tiga SD. Akhir masa sekolah sudah bulan Juni. Jajanan masih beleak yang bisa dibeli dengan uang 25 rupiah.
Kedondong manis yang diiris berbentuk bunga teratai, misalnya. Atau mangga mengkal yang juga manis, diiris tipis dalam bungkusan plastik.
Atau jambu air yang dibelah empat. Atau nenas manis dari kota Subang dan Bogor.
Semuanya bisa dinikmati dengan taburan garam atau bubuk cabe.
Masa itu, semangka dan melon belum sebanyak sekarang. Seingat saya, melon bahkan baru mulai masuk pasaran pada saat saya kelas empat SD. Itu pun masih sebagai buah eksotik yang hanya ada di tempat-tempat orang kaya makan angin. Puncak, misalnya. Atau Lembang.
Di sebelah mamang tukang mangga dan kedondong masih berjongkok setia mamang tukang cilok dan tukang gorengan.
Kadang-kadang ada mamang tukang jagung bakar. Itu juga bisa dibeli dengan kepingan mungil gambar burung. Sausnya bisa manis bisa pedas.
Jagungnya jelas bukan jagung hasil rekayasa genetik seperti sekarang karena “gigi”nya tidak rapi. Tapi baunya lezat luar biasa, selalu bikin perut lapar setiap pulang sekolah.
Agak ke sebelah sana, di bawah pohon willow yang ranting-rantingnya panjang lemas seperti cambuk (entah iya pohon willow, saya belum pernah melihat pohon seperti itu lagi di Bandung. Di kota-kota lain juga tidak) ada mamang tukang es campur.
Punya uang 25 perak artinya kita bisa membeli semangkok. Dalam larutan susu kental campur es itu ada butiran mutiara tepung beras merah muda dan putih, kolang-kaling, alpukat, dan irisan-irisan kecil nangka masak.
Enak bukan main!
Kelas empat, 25 rupiah bisa membeli segelas besar teh manis hangat dan gorengan yang dijajakan di Gedung Olah Raga tempat kami latihan bela diri.
Pisang gorengnya manis tanpa tambahan gula, singkongnya gurih tanpa taburan apa-apa, comronya mollig, gemuk seksi dengan isi yang meriah, banyak.
Di kedai dekat rumah, 25 rupiah bisa membeli es lilin buah. Potongan buahnya asli, pepaya, nenas, bengkuang, apel.
Esnya juga enak, tidak pakai sarimanis, tapi gula beneran. Rasanya betul-betul seperti air buah yang dibekukan.
Selain es buah itu, ada potongan-potongan kue bolu yang juga bisa dipilih. Dua puluh lima rupiah dapat dua. Rasanya ada pandan, suji, vanila, cokelat.
Seperti surga betul.
Ada juga manisan asam Jawa yang itu, bentuknya pipih seperti kertas atau kulit warna cokelat. Dibungkus kecil-kecil dalam plastik, diselipi merek kertas putih bergambar jin keluar dari lampu Aladdin.
Serius. Saya tak pernah tahu kenapa harus jin lampu. Entah apa hubungannya jin Aladdin dengan manisan tamarin yang enak itu.
Kalau udara panas (walaupun masa itu subuhnya Bandung masih berkabut, siangnya kami anak-anak sering juga kepanasan) kami bisa membeli es lain juga. Es krim merk Polar Bear.
Kedai dekat rumah punya dua rasa, cokelat dan kopyor. Rasanya bukan main enaknya. Gurih, manis, lembut. Nggak pernah ada lagi es krim macam itu.
Bukan, itu bukan es krim Polar Bear model sekarang. Es krim Polar Bear zaman itu tak pernah saya temukan lagi sekarang, dengan rasa cokelat beneran dan potongan kelapa beneran dalam es krim kopyornya.
Kalau menelusuri lorong ingatan, resto cepat saji KFC yang baru masuk Bandung pada saat saya duduk di kelas 4 SD, satu potong ayam atau burgernya dibanderol 600-700 rupiah.
Buku kesukaan saya, seri Lima Sekawan tulisan Enid Blyton, 950 rupiah. zaman saya kuliah saja, makan siang masih bisa dengan sepotong ayam gulai dan sayur nangka, seribu rupiah. Nasinya melimpah ukuran anak kos.
Sekarang ini, anak saya yang duduk di kelas 1 SD, dengan uang 1.000 rupiah hanya bisa membeli kerupuk atau teh kemasan gelas plastik, yang jelas manisnya menggunakan pemanis buatan.
Entah ke mana masa-masa tenang yang hanya dicemari Dunia Dalam Berita, pukul 21.00 setiap malam, menghilang terbang. Mungkin berhibernasi, tidur panjang dalam liang di perut gunung.
Mudah-mudahan saja. Karena itu artinya, suatu saat dia akan bangun, udara bersih datang lagi, dan anak-anak bisa kembali jajan dengan uang mungil bergambar burung langka, tanpa kuatir kena sakit gula. Semoga saja.
Blang Oi, 3 April 2020
Posted from my blog with SteemPress : https://breedie.com/jajanan-bandung/