Orang Sasak di Nusa Tenggara Barat memiliki tradisi yang disebut sebagai Besiru. Ini adalah budaya gotong royong yang telah mengakar sejak lama. Kerjasama ini dilakukan pada setiap tahapan proses pertanian. Mulai dari mengolah tanah, menanam, hingga melaksanakan panen. Semua dilakukan secara bergiliran tanpa upah. Besiru biasanya dilaksanakan saat musim hujan tiba. Masa tepat untuk menanam padi ataupun tembakau. Tradisi ini masih bertahan terutama di kawasan pedesaan dan pegunungan.
Jika orang Sasak punya besiru maka orang Aceh sering menyebutnya sebagai meuseuraya. Sebuah ungkapan yang menggambarkan tentang kebersamaan. Hingga kini saya masih menjumpai kegiatan gotong royong dalam berbagai kegiatan masyarakat di Aceh. Beberapa diantaranya seperti memasak kuah beulangong saat kenduri, troen u laot hingga mendepe biji kopi di tanah Gayo. Namun saya menemui contoh lain dari meuseuraya yang diinisiasi oleh anak-anak muda di Aceh. Salah satunya yang dilakukan oleh para pecinta sejarah.
Cerita tentang meuseuraya bermula dari satu pagi saat saya mengelilingi Gampong Lam Seupeung Banda Aceh. Lokasi yang hendak saya tuju adalah komplek makam Syik Pante Riek. Saat tiba, komplek makam memang masih sepi. Hanya ada dua perempuan yang sedang menyapu. Mereka adalah warga yang tinggal disekitar makam. Sejak dulu, secara turun temurun mereka telah diamanahkan untuk menjaga dan merawat komplek makam ini. Kondisinya memang terlihat bersih. Namun beberapa nisan tidak lagi berada di posisi yang tepat. Bahkan ada pula badan nisan yang setengah terkubur.
Kunjungan saya ke makam Syik Pante Riek untuk memenuhi undangan salah seorang teman. Saya diajak untuk ikut serta dalam program yang mereka sebut sebagai meuseuraya. Program ini melibatkan anak-anak muda dari berbagai latar. Kondisi nisan yang tidak lagi beraturan menjadi magnet bagi mereka untuk datang berkunjung. Tujuannya adalah menata kembali komplek makam agar terlihat lebih rapi.
Deretan nisan di komplek makam Syiek Pante Riek
Nisan yang tidak lagi utuh
Kegiatan meuseuraya juga beranjak dari sebuah kegelisahan. Pasalnya banyak makam kuno di Aceh yang dibiarkan terbengkalai. Saya menemukannya di salah satu gampong di Banda Aceh tepatnya di kawasan Lamgugob. Disini kondisi makam memang cukup memprihatinkan. Selain tidak memiliki pagar, komplek makam juga dikelilingi oleh kandang ternak milik warga. Padahal komplek yang memiliki 15 nisan ini kerap dikunjungi oleh peziarah baik dari dalam maupun luar negeri.
Bagi banyak orang nisan selama ini hanya dianggap sebagai penanda makam. Tapi bagi anak-anak muda ini, batu-batu tersebut merupakan penggalan sejarah. Sebuah manuskrip berbentuk selain tulisan. Melalui nama yang terpahat di atas nisan tersebut, mereka dapat membuka tabir sejarah yang belum pernah diungkap. Bahkan mungkin tidak pernah dibahas di bangku sekolah.
Seperti biasa jika meuseuraya tiba mereka datang dengan berbagai perkakas. Mulai dari sapu, sikat, cangkul hingga tali berukuran besar untuk mengangkat nisan yang sudah terkubur dalam. Oleh Mizuar saya diberitahu jika kegiatan menyambangi makam kuno seperti ini sudah dilakukan sejak lama. Tepatnya delapan tahun silam dan rutin dihelat setiap pekan. Mizuar adalah anak muda yang dituakan dalam komunitas ini. Kiprahnya patut diapresiasi. Sebab ia bersama beberapa temannya mampu menggerakkan banyak orang. Membuka wawasan jika Aceh memiliki sejarah yang mahsyur. Suatu hal yang harus diselamatkan bagi generasi mendatang.
Mizuar mengatakan jika pada meuseuraya, tim dibagi ke dalam beberapa kelompok. Ada yang bertugas merapikan nisan. Ada pula yang membersihkan ilalang. Namun mereka yang berbadan tegap lebih banyak mengurusi nisan-nisan besar yang tertimbun. Sedangkan relawan perempuan bertugas membersihkan areal makam dan menyikat nisan yang mulai dipenuhi lumut.
Jika medan tidak terlalu berat, seluruh pekerjaan selesai dalam hitungan jam saja. Siang hari penataan makam rampung dikerjakan. Namun bila kondisi di lapangan terbilang sulit maka meuseuraya akan dilanjutkan pada pekan berikutnya. Dengan pola yang sama, setiap relawan yang datang mendapat porsi tugas yang sama.
Setiap relawan memiliki tugas
Relawan merapikan tata letak nisan
Meuseuraya melibatkan banyak relawan
Meuseuraya, Budaya yang Mesti Dijaga
Sejak lama kita memang cukup akrab dengan gotong royong. Gotong berarti pikul sedangkan royong berarti bersama-sama. Secara harafiah, gotong royong berarti memikul atau mengangkat secara bersama-sama. Bahkan konsep ini pula yang dipilih oleh para penggerak bangsa untuk mempersatukan Indonesia. Bung Karno dalam gagasannya tentang Pancasila terinspirasi dari konsep gotong-royong. Tidak mengherankan jika hal ini disebut sebagai identitas bangsa.
Sikap gotong royong memiliki nilai moral yang tinggi. Diantaranya Keikhlasan, kebersamaan, saling membantu serta lebih mengutamakan kepentingan bersama. Namun sayangnya budaya gotong royong seakan mulai memudar di tengah masyarakat. Secara nasional hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya tingkat partisipasi dalam kegiatan bermasyarakat.
Ada beberapa hal yang membuat budaya gotong royong mulai ditinggalkan. Salah satu diantaranya adalah kesibukan. Tak sedikit orang disibukkan dengan berbagai pekerjaan. Akibatnya tidak memiliki waktu untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan. Bahkan ada yang rela mengeluarkan uang untuk membayar orang lain untuk mewakili mereka saat ada gotong royong.
Padahal memudarnya semangat gotong royong dapat menjadi sebuah ancaman. Sebab jika terus dibiarkan maka dapat menyeret ke permasalah lainnya. Yaitu munculnya sikap individualisme. Kondisi yang jika dibiarkan akan mendorong lahirnya sikap apatis. Kurang peduli dengan keadaan sekitar.
Lantas bagaimana dengan Aceh? Tidak bisa ditampik jika budaya gotong royong juga sedikit banyak mulai memudar. Namun harapan itu masih ada jika belajar dari Mizuar dan relawan lainnya. Melalui program meuseuraya-nya, para relawan bukan hanya sekedar menyatukan potongan sejarah Aceh yang berserak. Namun sikap mereka juga seakan menampik tentang kekhawatiran menghilangnya semangat gotong royong di tengah anak muda Aceh. Dari mereka kita yakin jika semangat meuseuraya sebagai budaya Aceh masih akan terjaga. Karena di tempat lain, di bidang yang berbeda masih banyak anak-anak muda Aceh yang menjaga pentingnya meuseuraya. Sebuah sistem sosial masyarakat yang memberi banyak manfaat.
Meuseuraya : Bahasa Aceh yang artinya Gotong Royong
troen u laot : kegiatan menangkap ikan yang melibatkan masyarakat umum di bibir pantai.
Mendepe : Memilih dan memilah biji kopi sebanyak dua kali
kuah beulangong : Kuah khas Aceh yang mencampurkan daging dengan sejumlah rempah.
*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba “Budaya Aceh di Mata Milenial”
Kami sudah resteem yaa ke ribuan follower.. :-} Trims sudah memvoting @puncakbukit sebagai witness anda.
@tipu curate
Posted using Partiko Android
!BEER
Posted using Partiko Android
View or trade
BEER
.Hey @arielogis, here is a little bit of
BEER
for you. Enjoy it!Congratulations @arielogis! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!