Pernah nggak bertanya kepada seseorang lalu dijawab asal? Atau, malah kita pelaku jawab ngasal itu?
Sebetulnya, jawab asal begitu nggak boleh, ya. Apa lagi, disertai bumbu kebohongan. Walau tahu sama tahu itu bercanda, tetap saja namanya bohong.
Sekitar aku SD (atau mungkin SMP, tapi kayaknya SD karena kehidupan SMP-ku lebih teratur), ada jawaban yang cukup tren kalau sedang malas menjawab atau sedang kesal dengan pertanyaan "mana". Jawaban itu adalah
Jonggol.Misal:
"Mau ke mana?"
"Jonggol"
Padahal, yang jawab nggak betul-betul mau ke Jonggol. Cuma asal sebut saja. Mungkin sebenarnya cuma mau ke kamar mandi.
Karena dipakai untuk bercandaan, aku pernah mengira Jonggol sekadar ucapan yang betul-betul asal sebut. Bunyi huruf-hurufnya pun unik dan seperti berima: dua suku kata dan sama-sama "o". Ditambah, "ngg" dan "l" yang bikin terasa membal ketika mengucapkannya, makin deh kepikiran Jonggol adalah sekadar kata yang enak diucapkan.
Aku sempat kepikiran Jonggol adalah penggambaran untuk negeri antah-berantah. Mungkin karena "antah-berantah" atau "nun jauh di sana" terlalu panjang dan terasa berat, maka disingkatlah dengan "Jonggol". Sebuah pemikiran yang ternyata ngaco. Hehe.
Mau mencari tahu arti Jonggol pun rasanya nggak penting. Bahkan, anak kecil juga tahu mana yang perlu dan nggak perlu dicari tahu, 'kan? Mending mencari tahu Ganymede itu satelit planet apa. Mungkin muncul di soal ujian. Haha.
Tempat yang Jauh
Rute yang muncul di Google Maps saat ini. Mungkin berbeda dengan rute saat itu.
Aku tahu Jonggol adalah nama tempat sungguhan secara nggak sengaja. Waktu itu, aku, Ibuk, Bapak, dan adik main ke daerah setelah Puncak. Daerah Cipanas, kalau nggak salah ingat.
Nggak perlu diceritakan, ya, di saja ngapain saja. Pokoknya, waktu mau pulang, mau menghindari macet. Akhirnya, kami nggak melewati jalanan yang biasa. Aku nggak tahu gimana bisa sampai sana, tapi tiba-tiba aku melihat semacam hutan.
Puncak juga masih mempunyai banyak pepohonan seperti hutan, sih, saat itu. Tapi, kalau sudah berkali-kali lewat Puncak, mudah untuk membedakan Puncak dengan jalur berpepohonan lain.
Di kanan jalan, tampak pohon-pohon tinggi yang sekilas terlihat kurus tanpa cabang. Seingatku, itu adalah kali pertama aku melihat pohon-pohon karet atau pohon-pohon yang saat itu aku yakini sebagai pohon karet. My parents are not a botanist, however.
(Waktu menulis artikel ini, aku mencari hutan karet di Google Maps di sekitar Jonggol, tapi titik-titiknya jauh. Aku juga mencari hutan pinus, tapi titiknya juga jauh. Jadi, sekarang aku nggak yakin apakah itu pohon karet, pohon pinus, atau pohon lain yang mirip). (Aku nggak punya foto pepohonan itu, jadi nggak bisa nanya ke ahli pepohonan saat ini. Yah, foto-foto zaman duluku memang entah ke mana. Hehe)
Di kiri jalan, sesekali ada bangunan-bangunan kecil. Itu pun nggak sepadat bangunan di daerah perkotaan.
Jujur saja, aku merasa aura creepy ketika melihat daerah di sana. Bukan karena hantu-hantuan, tapi karena sepi dan asing. Rasanya kayak nyasar tapi sebetulnya memang jalan yang benar.
Setelah beberapa waktu, barulah ada tempat semacam rest area. Cukup melegakan melihat tempat semacam itu.
Sensasi ketika melewati jalanan sepi dengan pemandangan hutan karet mungkin seperti berada di negeri antah-berantah. Rasanya jauuuuuhhhhh banget dari ingar-bingar kota. Yah, itu dulu, sih. Entah sekarang.
Waktu aku tahu nama daerah adalah Jonggol, aku merasa nama itu cocok. Sejak sebelum ke sana, aku memang mengira Jonggol adalah ungkapan untuk antah-berantah. Dan, ternyata, atmosfer yang aku rasakan ketika melewati Jonggol memang seperti berada di negeri antah-berantah.
No offense untuk warga Jonggol. Itu kan dulu, ya. Sekarang mungkin jauh lebih ramai.
Setelah melewati Jonggol, akhirnya kami sampai di Cibubur. Memang masih agak jauh untuk sampai rumah, tapi melegakan ketika melihat tempat yang ramai dan nggak begitu asing.
Walau agak menyeramkan, melewati Jonggol nggak begitu horror karena aku nggak sendiri. Lagipula, kalau nggak begitu, mungkin entah sampai kapan aku baru akan tahu Jonggol adalah nama tempat sungguhan. Malah, ternyata Jonggol masih bagian dari Bogor, tepatnya Kabupaten Bogor. Cukup dekat dengan kota tempat tinggalku. Iya, Kota Bogor.
Kadang-kadang, aku terkesima dengan yang namanya jalanan. Dari satu titik, bisa ke titik lainnya. Aku memang nggak begitu hafal jalan, tapi dalam bayanganku tuh seolah Puncak, Cipanas, Cibodas, dsb itu ibarat ke kanan dan ke Cibubur itu ke depan. Tahu-tahu, dari Cipanas malah muncul di Cibubur, lewat antah-berantah yang kemudian aku kenal sebagai Jonggol. Selalu salut sama yang membangun jalan.
Asalkan bangun jalannya tanpa merusak hutan sih. Hehe.
Posted from my blog with SteemPress : https://afifahmazaya.com/jonggol-is-real/