Wiro Sableng bisa dibilang serial masa kecil. Sebagai balita, tentu aku nggak paham-paham banget jalan ceritanya. Yang aku tahu, serial ini ada berantem-berantemnya. Yaaa, miriplah dengan Power Ranger. Nonton ini pun aku hanya ikut-ikutan Bapak. Dan, melihat orang bisa bela diri, rasanya mereka tampak keren.
Jadi, walaupun tokohnya "gila", bagi balita sih melihatnya oke-oke saja. Hahaha. Di mataku dulu, Wiro Sableng hanya sebatas orang dewasa biasa yang pandai bela diri. Nggak gila sama sekali. Mind set-ku tentang orang gila masih sebatas orang yang pakaiannya rombeng, tubuhnya kotor, dan jalannya aneh. Lalu, gimana dengan yang aku lihat sekarang?Kejutan dari Tokoh
Yaaa, ternyata Wiro nggak normal-normal banget. Lol. Nggak gila-gila banget juga, sih.
Film ini dibuka dengan adegan yang cukup mendebarkan bagai film kolosal. Adegannya cukup serius, menegangkan, sekaligus menyedihkan. Lalu, alur bergerak maju hingga sampailah pada Wiro yang sudah dewasa. Wiro dan gurunya tinggal di Gunung Gede. (Dan, aku langsung kepikiran Jalan Gunung Gede di Bogor atau Gunung Gede-Pangrango di Cibodas. Lol)
Salah satu jalan menuju Gunung Gede dari Cibodas
Pokoknya, dalam adegan-adegan latihan, di situlah aku langsung berpikir: Hah, serius? Yang dulu pun memang begitu, ya? Kok kayak ini bocah banget. Haha.
Well, nggak begitu kayak bocah, sih. Tapi, memang kelihatan agak kurang normal. Hehehe. Mungkin mirip orang-orang yang memang begitu.
Jadi, yaaa, bukan cuma titel lah, ya, sablengnya.
Dan, sesungguhnya, suara tawa Vino Bastian, pemeran Wiro Sableng, sangat membekas. Cocok banget. Hahaha. Aku malah kebayang aktor lain yang ketawanya akan bisa seperti itu.
Tapi, ketawa Wiro nggak ada apa-apanya dibanding ketawa sang master, Sinto Gendeng yang diperankan oleh Ruth Marini.
DAN, AKU BARU TAU ASLINYA BELIAU MASIH MUDA. Oke, sip, aktingnya keren banget sampai aku nggak kepikiran kemungkinan pemerannya masih muda.
Aku pikir Yayan Ruhian sebagai Mahesa Birawa yang aktingnya paling tampak menjiwai. Ternyata, Ruth Marini luar biasaaaa, sampai aku nggak kepikiran nenek itu diperankan oleh orang muda. Aku pikir nenek-nenek sungguhan. Aku sampai mencoba mengingat siapa aktris senior yang sekiranya potensial untuk film seperti ini. Kalau bisa membuka ponsel dan browsing di studio bioskop, kayaknya aku sudah melakukannya, deh. Saking menurutku akting beliau ini kece. Sangat seperti nenek-nenek yang tulangnya sudah nggak prima, tapi masih lincah. Aku kepikiran, nenek itu makan apa kok ya berani main di film begini? Ternyataaa, pemerannya masih muda. Make Up Artist-nya sukses, deh.
Dan, yaaa, ketawa Sinto Gendeng sangat berbekas.
Well, akting pemain lainnya juga oke, kok. Sepertinya, ini pertama kalinya aku menonton film fantasi Indonesia (di luar horror) dan aku nggak berekspektasi apa pun. Aku pikir paling juga mereka kayak film-film naga terbang di televisi. Eh, ternyata jauh lebih baik daripada itu.
Yaaa, kecuali akting ekspresi oleh Sherina. Maaf banget, nih, aku masih merasa Anggini yang diperankan Sherina itu seperti orang bingung tapi berusaha mempertahankan ke-cool-an.
Tokoh Anggini memang harusnya berwajah datar, sih. Jadi, mungkin nggak sepenuhnya salah Sherina seperti itu. Tapi datar alias cool dengan sesuatu seperti yang aku sebutkan pada paragraph sebelumnya adalah dua hal berbeda. Mau nggak mau, aku jadi membandingkan Ming-Na Wen pemeran Agent May dalam serial Agents of SHIELD. Agent May itu datar banget. Yah, memang sih ekspresi datar justru lebih sulit daripada ekspresi yang emosional.
Walaupun begitu, gaya bertarung Anggini di film ini juga keren, loh. Di bagian berantem, justru kerasa banget cool-nya. Dan, semua tokoh yang sempat bertarung pun memang kelihatan keren dan nggak seperti asal-asalan.
Sederhana dan Indonesia
Cerita film ini cukup sederhana, menurutku. Khas cerita orang baik vs orang jahat. Mungkin karena film ini lebih dimaksudkan untuk memperlihatkan Wiro Sableng secara garis besar sebelum (mungkin) nanti ada film-film lanjutan. Atau, mungkin juga aku kebanyakan nonton series atau anime cerita orang baik vs orang jahat. Jadi, yang seperti itu kelihatan sederhana. Hahaha. Namanya juga film kan, ya, beda dengan serial. Apa lagi kalau dibandingkan dengan novel yang sampai banyak banget serinya itu, pasti jauh lah, ya. Walaupun begitu, setelah menonton film ini, aku jadi ingin membaca novel-novelnya. Aku melihat seharusnya ada banyak cerita-cerita lain yang bisa dikisahkan dari film ini, Dan, aku yakin kalau bikin film ini berseri sebanyak seperti Marvel Cinematic Universe pun, nggak akan cukup untuk semua cerita itu.
Oh, ya, efek-efek dalam film ini udah kece banget, loh. Sebagian besar terlihat nyata. Beda bangetlah dengan naga terbang di televisi. Memang masih ada 1-2 yang terlihat tempelan, tapi selebihnya keceee. Mungkin yang terlihat tempelan itu hanya kepleset. Lol.
Melihat film ini, aku jadi bangga dengan film Indonesia. Walaupun film romance dan horror lokal sekarang sudah kece, tetap saja film fantasi lokal seperti ini membawa lebih banyak angin segar. Apa lagi, nuansa tradisional sangat terasa di film ini. Yaiya, latarnya saja masa lalu, sih. Huehe.
Film ini juga sepertinya mengusung salah satu sila Pancasila: sila pertama. Ketuhanan Yang Maha Esa. Walau Tuhan kita berbeda dan aku bahkan masih belum yakin Wiro Sableng itu bertuhan atau berdewa, film ini cukup mengingatkan semua daya kita datangnya dari Yang Maha Esa. Kita hanya wajib berupaya dan terus percaya kepada-Nya dalam kepercayaan apa pun yang kita miliki.
Pokoknya, aku berharap film Indonesia semakin kece. Kalau ada lanjutan film ini, sepertinya aku akan nonton.
Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (2018)
Director: Angga Dwimas Sasongko
Writers: Seno Gumira Ajidarma, Tumpal Tampubolon, Sheila Timothy
Cast: Yayan Ruhian, Vino Bastian, Aghiny Haque, Marsha Timothy
Posted from my blog with SteemPress : https://afifahmazaya.com/review-film-wiro-sableng-2018/
pas pemutaran perdana lihat antusias penonton, membludak sampai puanjang Mbak antrian tiketnya. Makanya saya mutusin lihat Wiro Sableng nanti saja kalau sudah tayang di TV, heheheh (modal gratisan)