"Ternyata hidup ini sulit, ibu. Dunia itu kejam. Terlalu banyak hal yang membuat kita sakit hati" keluhku pada ibu yang sedang menggiling cabai dengan batu penggilingan khas zaman dulu. Batuan yang dibentuk segi-empat dengan anakan berbentuk bantal guling diatasnya.
Keringatnya mengucur, aroma pedas cabai giling begitu menusuk indera penciuman hingga mataku hampir mengeluarkan airnya.
"ambilkan gelas berisi air itu!" perintah ibu. Pandangannya tertuju pada sebuah gelas bening dekat teko berisikan air kira-kira tigaperempat gelas.
"ibu haus?"
"kau ambilkan saja dulu"
Aku menuruti. Kuberikan gelas tersebut padanya.
Ibu mengambil sesendok cabai giling yang sudah berbentuk saus tersebut, memasukkannya kedalam gelas. Ia mengaduk, warna airnya menjadi merah. lalu menyodorkan padaku.
"minumlah!" perintah ibu kali ini membuatku tercengang.
"Bagaimana mungkin Ku minum, ibu? Rasanya pasti pedas sekali"
"Begitulah sebuah hati, nak. Jika hati kita sesempit gelas ini, sedikit saja cabai giling kita masukkan, ia langsung terasa pedas. Tapi cobalah kau bayangkan, jika hati kita seluas samudera, sekarung cabai pun kita masukkan tidak akan berpengaruh. Tak akan terasa pedas.. Hidup itu memang berat, nak. Tapi akan saaangat terasa berat jika hati kita sempit. Belajarlah untuk berlapang dada. Agar hati tak mudah sakit. Ambilkan mangkuk itu, cabai ini sudah cukup untuk kita masak rendang"
-Ditulis di Seulimum, dengan suasana hati merindu-