Assalamualaikum,
Lanjutan dari bab sebelumnya yang membahas tentang Sistem Kebudayaan Aceh, pada bab ini akan saya review tentang Makna dan Peran Bahasa Aceh, hal yang pertama dibahas disini adalah tentang penggunaan bahasa dalam kehidupan masyarakat Aceh, namun analisa ini tidak akan memasuki ranah tata bahasa di Aceh. Bahasa Aceh belum menjadi subjek suatu mata pelajaran ataupun mata kuliah yang diajarkan secara berkelanjutan di sekolah ataupun di perguruan tinggi. Selain itu juga penggunaan bahasa Aceh di ruang publik pun ridak menjadi hal yang cukup penting. Bahasa ini tidak lagi digunakan dalam bahasa formal, sehingga wujud bahasa Aceh lebih dikenal sebagai bahasa rakyat, ketimbang bahasa resmi protokoler. Dikarenakan sudah menjadi bahasa rakyat, oleh karena itu bahasa Aceh tiddak memiliki dampak dan pengaruh yang cukup besar dalam tatanan berpikir orang Aceh pada era modern ini.
John Beattie mengaitkan istilah pemahaman bahasa dengan unfamiliar culture. Hal ini disebabkan para antropolog memang banyak bersentuhan dengan masyarakat ataupun komunitas yang masih asli. Untuk mencari keaslian tersebut maka mediasinya adalah dengan cara menguasai bahasa. Dengan begitu memahami suatu kebudayaan sama dengan memahami bahasa masyarakat tersebut. Dari penjelasan diatas maka ada baiknya kita kaitkan dengan keberadaan bahasa Aceh. Uraian demi uraian mengenai kedudukan sentra bahasa didalam peradaban besar dunia sangat signifikan. Dalam hal ini, kajian di atas menggambarkan bahwa fondasi kebudayaan dan peradaban adalah sebuah bahasa.
Bahasa Aceh bukanlah bahasa nasional ataupun bahasa internasional. Namun Aceh pernah menjadi puat peradaban yang paling besar di Asia Tenggara, yaitu pada abad ke-17. Walaupun saat itu bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu-Pasai. Namun keberadaan bahasa Aceh telah menciptakan suatu kebudayaan sendiri bagi masyarakat Aceh. Oleh karena itu, ketika bahasa Aceh tidak lagi menjadi bahasa yang penting dalam kehidupan masyarakatnya, maka dapat dipastikan bahwa kebudayaan Aceh juga akan sirna, tidka untuk mengatakan bahwa peradaban Aceh juga akan ikut menghilang. Sebagaimamna yang telah dijelaskan diatas bahwa pusat pemahaman para peneliti didalam memahami cara pandang suatu masyarakat yang terletak pada bahasa yang memiliki simbol beserta memilik makna tersendiri. Bahkan pada wilayah yang paling privat sekalipun, yaitu keluarga, bahasa Aceh tidak lagi dipandang sebagai bahasa ibu, dalam artiannya adalah dalam pola mendidik anak, orang tua tidak lagi mengunakan bahasa Aceh, namun lebih mengutamakan bahasa Indonesia. Tidak salahnya jika muncul anggapan bahwa ada yang mengatakan “keluarga sedang mengalami kematian”. Perlu ditekankan bahwa sekaligus mengingatkan tidak ada upaya untuk menjelaskan aspek-aspek simbolisme budaya Aceh pada generasi muda dengan cara dan gaya berpikir mereka.
Dalam beberapa kajian dalam bab ini, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi ataupun di ambil kesimpulan yaitu. Pertama, bahasa Aceh tengah mengalami proses reduksi fungsi dan makna dalam kehidupan rakyat Aceh. Proses reduksi ini banyak disumbang oleh masyarakat Aceh sendiri, terutama ketika mereka tidak memahami fungsi dan makna bahasa Aceh dalam kebudayaan juga peradaban. Kedua, kajian ini telah memperlihatkan bahwa dalam ilmu-ilmu sosial, peran bahasa sangatlah startegis. Studi ini dibuktikan dengan bagaimana posisi bahasa dalam sejarah pemikiran Barat. Ketiga, bab ini telah memperlihatkan bagaimana proses Aceh mengalami kehilangan ke-Aceh-an nya. Ketika rakyatnya tidak lagi mempergunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari, baik itiu formal maupun informal. Keempat, agenda untuk membangkitkan kembali kesadaran untuk memahami bahasa Aceh telah disenaraikan. Hanya saja harapan ini tercapai jika muncul kesadaran seperti orang Melayu di Singapura dan Thailand Selatan.
Sort: Trending