Lebah dan Kunang-Kunang - Bagian 5 (Kekunang-kunangan Lebah Membuat Lupa Siapa Dirinya)

in #sosial6 years ago

Nilai budaya bangsa kunang-kunang telah mengakar di budaya bangsa lebah. NIlai itu telah meresap dalam kehidupan masyarakat lebah dan menjelma menjadi peradaban. Keluhuran kedua nilai pada bangsa ini bertemu dengan sempurna, menghasilkan tatanan dan sistem kemasyarakatan yang semakin beradab. Hampir setiap individu lebah sanggup memancarkan cahaya dari badannya. Perpaduan kedua nilai ini membawa kemaslahatan bagi lingkungan sekitar sarang lebah. Alam telah mendapati sahabat lamanya yang mampu menerangi diri alam ketika di dalam kegelapan.
Dinamika perpaduan budaya ini telah melahirhan beragam partikel-partikel pola tradisi menghasilkan cahaya di bangsa lebah. Keadaan ini menciptakan tingkah laku beberapa kalangan lebah yang menyebabkan lebah menyerupai bangsa kunang-kunang. Beberapa lebah yang menyerupai bangsa kunang-kunang berlahan-lahan saling berafiliasi dan menciptakan kelompok baru. Kehadiran kelompok-kelompok ini berperan penting dalam menjaga kemurnian tradisi menjaga tata cara memancarkan cahaya. Kelompok-kelompok ini sangat penting sebagai regulator dan sumber literasi untuk terapat cara memancarkan cahaya di bangsa lebah. Mereka hanya sebatas sebagai rujukan saja dan tidak lebih dari itu. Pemuka-pemuka klomopok jenis ini menekankan kepada anggotanya agar tepat konsisten menjalankan prinsip-prinsip yang telah didapat dari bangsa kunang-kunang yang pertama kali mengajarinya. Generasi-generasi permulaan mereka sangat menghormati saoudara-saudaranya yang di luar kelompoknya. Mereka masih tidak mempermasalahkan perbedaan prinsip yang mereka jumpai walupun prinsip-prinsip yang mereka jumpai diaanggap menyimpang menurut mereka. Mereka masih memperhatikan output kebaikan dari penerapan prinsip-prinsip yang ada. Mereka masih bijaksana mensikapi perbedaan ini.
Namun sayangnya, seiring berjalannya waktu dan silih bergantinya generasi pada kelompok ini, mulai nampak perbedaan tajam atas dirinya sebagai bangsa lebah. Mereka tidak lagi seperti pendahulu-pendahulunya yang senantiasa mendukung kebersamaan sebagai bangsa lebah tanpa mempermasalahkan perbedaan prinsip yang ada. Mereka sudah enggan menggunakan terminologi output kebaikan dan kebijaksanaan atas penerapan prinsip-prinsip yang ada di luar mereka. Titik berat yang terlalu disoroti dan diseriusi mereka sebatas pada cara menghasilkan cahaya tanpa mengkaji nilai kebaikan dan kebijaksanaan yang dihasilkan.
Situasi ini secara berlahan-lahan menggiring mereka dalam mengambil keputusan memilik melepas atribut jati diri mereka sebagai bangsa lebah. Mereka mulai seolah-olah menyalahkan bangsanya sendiri hanya karena perbedaan prinsip mereka dengan keragaman prinsip yang ada di bangsa lebah. Mereka hadir secara fisik di masyarakat lebah seolah-olah dirinya bangsa kunang-kunang. Mereka men-setup diri mereka agar keberatan dengan saudara-saudaranya yang berbeda prinsip, bahkan mempermasalahkan dan menjadikan perbedaan sebagai sesuatu yang serius bagi mereka. Situasi perbedaan yang semakin tajam semakin nampak mereka ciptakan. Sikap eksklusi dan sikap membatasi diri dalam masyarakat kerap kali dijumpai dalam hadirnya di masyarakat lebah, bahkan mereka bertingkah agresif terhadap saudara-saudaranya yang berbeda prinsip dengannya. Mereka mengganggap dirinya kunang-kunang
dengan cara berpenampilan seolah-olah bangsa kunang-kunang tapi sedikit memaknai nilai-nilai luhur sebenarnya cara memancarkan cahaya dari bangsa kunang-kunang. Sehingga kekunang-kunangan lebah membuat lupa siapa sebenarnya dirinya.