Pukul dua malam, aku belum tidur padahal sudah dua jam berbaring di dipan. Lampu kamar sudah dimatikan tapi mata dan pikiran belum bisa diajak kerjasama. Lalu aku bangun ingin ke toilet dan menghidupkan lampu ternyata listrik mati. Kuambil senter, lantas keluar menuju ke sana yang jaraknya sekitar 50 meter di belakang dayah(pesantren) berbatasan dengan kebun warga.
Di luar gelap. Hanya ada cahaya bulan sabit dan ribuan bintang di angkasa sana tapi tak cukup menerangi bumi. Tak ada kawan yang biasa menelepon "Ibu Negara" dengan suara ditekan sekecil mungkin. Aku kagum dengan kawan ini karena ada saja topik yang dibahas dengan si "Ibu Negara" meski tiap malam mereka telponan berjam-jam. Aku dulu saat masa-masa alay, paling lama lima menit. Itu pun banyak diamnya dan teleponnya pun sebulan sekali kalau ada.
Dengan hanya diterangi cahaya senter, aku melangkah menuju toilet. Benar kata guruku,"Cahaya bisa mengalahkan kegelapan meski cahaya itu kecil." Seperti malam itu, meski di sekitar gelap, aku bisa berjalan dengan leluasa.
Saat itu, sebenarnya bulu kudukku berdiri mengingat cerita-cerita horor kawan senior. Kalau kamu keluar malam ke toilet, hati-hati karena ada penunggu di sana, atau saat sedang buang hajat, perhatikan ke bawah siapa tau ada tangan yang keluar dari lubang itu. Siapa tahu ketika kamu buka pintu toilet, ada tuyul sedang makan potato. Apalagi rumah kosong di kebun itu dulu ada warga tinggal disana. Namun, setelah dua orang anggota keluarganya meninggal, mereka pindah. Demikian cerita senior ketika pertama kali kutinggal di sana. Tapi aku paksa melawan perasaan takut karena aku sedang butuh ke sana.
Aku kembali lagi ke kamar setelah menyelesaikan tugas penting itu. Apakah ada seperti yang diceritakan kawanku? Tak ada sama sekali. Terkadang kita merasa ada orang yang mengikuti atau melihat bayangan padahal sebenarnya itu hanya ilusi yang kita ciptakan. Sama halnya ketika aku melihat cewek-cewek cantik, seakan yang terlihat "dia" padahal itu cuma ilusi. Aduh, kok jadi curhat. Ah, aku jadi malu.
Tiba di kamar aku kembali bingung. Mau tidur, tak ngantuk. Mau membaca, tak ada lampu. Mau online, paket habis. Akhirnya menghidupkan laptop, lantas nonton movie hingga menjelang subuh. Tepat setengah jam sebelum azan subuh aku menguap. Alah, aku tidur dulu sebentar sambil menunggu waktu subuh tiba, gumamku. Lalu aku tertidur pulas hingga ada yang mengedor pintu dengan keras. Gedoran tetap terus berlanjut meski sudah kukatakan iya aku sudah bangun. Dengan malas dan kesal karena belum cukup waktu tidur, aku beranjak dari dipan, lantas membuka pintu. Eh, ternyata guruku yang mengetuk pintu dengan memegang batu kecil di tangannya.
“Kenapa baru bangun?”tanya beliau dengan nada marah.
“Karena telat tidur tadi malam, Teungku(Ustazd),”jawabku sesopan mungkin dengan wajah terus menunduk.
Sebelum membuka pintu tadi sempat melirik jam, ternyata sudah lewat subuh.
“Cepat shalat, kemudian menghadap saya.” Beliau menyampaikan dengan suara datar.
Setelah shalat kutunaikan, aku menghadap Teungku. Ternyata di sana sudah ada sekitar belasan orang yang senasib denganku. Mereka semua menunduk. Seolah-olah sedang khusyu’ berzikir padahal takut menatap Teungku atau lanjut tidur.
Teungku meminta untuk menceritakan alasan kami tak hadir shalat berjamaah. Yang ingin beliau dengar pastinya bukan karena telat tidur tapi sesuatu yang mengakibatkan kami bergadang semalaman. Saya menonton, kataku. Ada yang bercerita main game, ngobrol sepanjang malam dan online.
“Coba kalian pikirkan? Apa yang kalian dapat? Bukan hanya waktu yang terbuang percuma tapi shalat subuh berjama’ah juga lewat.” Beliau berkata tegas sambil menatap kami satu-satu.
Kami diceramahi hingga matahari terbit. Semua meng-iyakan dan mengangguk apapun yang disampaikan, termasuk aku. Dan memang apa yang disampaikan semua benar. Beliau menasehati jika memang kami tak bisa tidur di malam hari, kenapa tidak kami manfaatkan untuk kebaikan. Seperti membaca buku, menghafal quran dan hadist, melakukan shalat malam, dan kebaikan lainnya dibandingkan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat seperti nonton film yang tak jelas atau “nyampah” sepanjang malam.
Saat mendengar siraman rohani itu, aku memenjamkan mata dan merenungi. Seharusnya malam itu, aku bisa melaksanakan shalat malam minimal dua raka’at tapi tak sempat kutunaikan. Sempat ada bisikan hati untuk melaksanakannya ketika sedang nonton tapi godaan untuk melanjutkan nonton lebih kuat. Dan sejatinya shalat malam dua raka’at ringan bagi mereka yang biasa melaksanakan, bahkan ada yang lebih banyak dari itu. Namun, bagi orang sepertiku itu paling berat dibandingkan dengan rindu. Iya, rindu memang tidak berat karena sudah sering merindui tapi tak pernah terealisasi. Hiks hiks
Hai Fad... You know me? Hahaha.
I'am saba. Who are you? 😀
Hai Saba... Hahaha.
Haai.