Cara Kami Menyambut Pasangan

in #selera7 years ago (edited)

Alhamdulillaah, selama berumah tangga, kami sukses menyelaraskan jadwal. Dulu sih, bentrok-bentrok ga masalah. Ada 'Ammah Salma yang sangat amanah membersamai anak-anak di rumah. Sejak 'Ammah harus kembali ke kampung halaman untuk merawat ayahnya, praktis urusan pengawasan, pengasuhan anak dan pengurusan rumah tangga kami bagi berdua. Mau tidak mau, jadwal keluar harus benar-benar kami sesuaikan. Satu keluar, satu di rumah membersamai anak-anak. Kecuali semua sekali keluar, entah untuk agenda keluarga atau agenda lain yang ramah anak.

Awalnya, kami sempat merasa khawatir kelabakan tanpa asisten rumah tangga. Sebab saya pekerja kantoran dengan jadwal kerja yang ketat dan padat, sedangkan suami dalam kondisi baru pindah untuk menetap di Takengon. Tentu butuh banyak penyesuaian. Dari yang sebelumnya orang kantoran menjadi pencari peluang usaha mandiri. Harus jeli dan banyak berinteraksi. Sedangkan kami punya 3 anak. Satu baru masuk SD, satu masih balita, satu lagi 10 bulan. Diperparah dengan suami tipe overprotective terhadap keluarga, sehingga tidak pernah mau dan cukup percaya menitipkan anak pada daycare atau tempat penitipan anak manapun. Tidak ada pilihan selain menjaga dan mengasuh sendiri. Meski kewalahan dan jatuh bangun di sana-sini.

Alhamdulillaah, kondisi justru menguatkan kami. Kami jadi lebih nyaman melakukan segala hal secara mandiri, tanpa asisten lagi. Kami benar-benar menikmati, bahwa di rumah hanya ada kami, keluarga inti. Suami, saya dan anak-anak kami. Tak perlu menimbang rasa atau canggung-canggung berekspresi, sebab tak enak hati jika terindera oleh asisten rumah tangga. Walaupun rumah jarang rapi, mainan anak dan perlengkapan berserak di sana-sini, kami lebih bisa lapang hati menerima kondisi. Prinsipnya rumah kami syurga kami. Semua berhak bahagia, bukan hanya bunda atau ayah saja. Anak-anak boleh berkreatifitas di sudut mana saja, sebab rumah syurganya mereka.

Mudah-mudahan Allah izinkan kita bersama menikmati syurga di akhirat kelak.

Entah kapan dimulai, masing-masing kami senang menyambut pasangan dengan hidangan. Kalau saya yang menunggu kepulangan pasangan di rumah, biasanya suka bertanya, "Mau dimasakin apa?" Kadang sebelum pasangan berangkat, kadang melalui pesan di jalur pribadi aplikasi gawai canggih. Apa pasal? Senang saja ketika yang kita siapkan adalah benar-benar yang ingin dimakan, bukan yang dinikmati karena tak enak hati pada pasangan. Jika memang yang diinginkan, tentu cara menikmatinya beda. Lebih menyenangkan. Jika sekadar ada lalu dimakan hanya untuk menyenangkan pasangan, bagi saya tidak ada bekas istimewa. Karena saya paham, beliau sangat pemilih soal makanan. Seleranya bergantung mood.

Jika suami yang menunggu saya pulang, kadang beliau bertanya, kadang suka bikin kejutan dengan menu-menu yang sedang dicoba resepnya. Beliau sangat paham, istrinya bukan pemilih makanan. Apa saja, selama enak, tetap saya nikmati dengan berselera. Kalau tidak enak, biasanya beliau menyampaikan duluan. Paling sering, "Kayaknya ada yang kurang, tapi ga tau apa. Coba Adek rasa." Sembari menyodor sesendok cicipan. Saya juga demikian.

P_20180211_210424.jpg

Soal rasa, kami sangat terbuka. Bagi kami, belajar dari kesalahan dan memperbaiki ke depan lebih penting dari sekedar memuji hidangan pasangan membabi buta. Kebahagiaan tidak hanya terletak pada pujian, tapi pada saling memperbaiki dan menyemangati berkesinambungan. Kurang ini-itu, lebih ini-itu, keanehan rasa, tidak sesuai lidah, semua kami sampaikan secara terbuka. Sejauh bisa ditoleransi lidah, tetap kami nikmati bersama. Yang di luar batas toleransi, apa boleh buat.

Semalam, dua gelas kopi telah diseduh di meja, dan nasi uduk istimewa menyambut kepulangan saya dari lokasi KKN. Kopi buatan suami selalu enak, nasi uduknya kurang dua macam herba. Ketika saya nikmati dengan ikan nila gulai masam jing, suami keheranan.

"Apa rasanya nasi uduk dicampur asam jing, Dek? Rasa nasi uduk hilang, asam jing ga dapat. Itu di bawah tudung saji ada telur dadar, kerupuk dan kacang goreng untuk kawan nasi uduk."

Ah, selalu. Baginya, menu-menu tidak boleh saling tabrak rasa dalam satu piring. Bila saya masak ikan sambalado, sayurnya mesti rebus santan. Bila saya buat ikan berkuah tumis ala Aceh, sayurnya mesti kuah bening atau ditumis sedikit berkuah sederhana. Ikan goreng, padanannya sayur berkuah dan sambal. Asam keu'eung boleh dengan tempe sambalado dan sayur tumis sederhana atau sayur bening saja. Kuliah di bagian pengolahan makanan sepertinya sukses membentuk kebakuan pola menu dan selera beliau. Sedangkan bagi saya, boleh campur suka-suka. Secara aslinya saya anak sastra, yang kemudian tercebur ke wilayah hukum. Campur aduk, tapi tetap menemukan inti. Begitulah kira-kira.

"Dapat kok, tetap enak. Pinginnya dua-dua, jadi gimana? Kalau satu-satu dulu ntar keburu kenyang, ga sanggup lagi makan yang satunya." Saya ngeyel, hahaha.

Jadi kawan, tak usah heran, mengapa badan kami susah menciut. Sebaliknya, mudah saja mengembang. Masing-masing kami senang memanjakan pasangan dengan makanan.

Ada yang sama?