Police brief tentang Contending Modernities Aceh secara resmi telah diluncurkan. Salah satu dari lima kajian tentang itu, meliputi; otoritas, komunitas dan identitas. Penelitian tersebut berlangsung kurang lebih selama tiga tahun. Dengan wilayah cakupan perbatasan. Seperti, Aceh Singkil, Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara.
Tema yang diangkat adalah "Meneguhkan Syari'at Islam Rahmatan Lil-Alamin di Bumi Aceh: Toleransi Aktif untuk Kewargaan yang Setara". Ada lima temuan krusial. Isu pertentangan Aswaja dan Wahabi, munculnya pertentangan yang tidak produktif di masyarakat. Penguatan identitas kelompok tertentu
tidak berbanding lurus dengan perlindungan hak-hak kewargaan dan kemajemukan Aceh.
Konsep toleransi yang masih terpahami
secara pasif dan asimetris. Masalah pendirian rumah ibadah misalnya, terkadang dapat saja gejolak dan ketegangan di tengah kehidupan antar komunitas beragama. Selanjutnya, kesempatan
kelompok minoritas dalam bekerja dan menduduki posisi-posisi kunci di sektor pemerintahan relatif kecil. Apatah lagi, upaya membela hak-hak mereka
oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam perumusan dan evaluasi kebijakan masih terbatas.
Secara umum, tata kelola kemajemukan
agama masih mayoritas dan Banda Aceh-sentris, tetapi juga lemah dalam sinergi antar lembaga dan, dalam kasus tertentu, terdapat disorientasi dan disfungsi kelembagaan. Belum tampak adanya
suatu koordinasi dan sinergi yang kuat antara unsur-unsur pemerintah daerah kota ataupun kabupaten dengan lembaga instansi pemerintah lainnya, seperti Kantor Kementerian Agama di masing-masing tingkatan wilayah.
Terakhir, kebijakan pelaksanaan syariat Islam masih dianggap memiliki kelemahan dalam memanfaatkan pengetahuan yang berbasis data dan fakta (knowledge based policy). Data dan fakta pelaksanaan syariat Islam di Aceh yang tersedia saat ini belum memiliki landasan akademis yang memadai. Meski selama ini telah ada indikasi kuat pelibatan kalangan akademisi, tapi pendekatan yang digunakan masih bersandar pada asumsi teologis dan legalistik.
Penelitian ini dilakukan oleh Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, Prof Dr Arskal Salim, GP, MA yang juga akademisi UIN Syarif Hidayatullah. Prof Eka Sri Mulyani, MA (UIN Ar-Raniry, Banda Aceh) dan Dr Moch Nur Ichwan (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta). Yang dilucurkan di Lantai 3 Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Sabtu (22/12).
Saat berbincang dengan dengan Prof Arskal Salim, ia bilang begini: "Kita ingin mencoba membagi apa-apa yang sudah kami temukan dari lapangan. Refleksi juga mencoba melihat kerangka-kerangka yang bisa dibuat untuk nantinya bisa dilihat satu persatu pada persoalan yang muncul di Aceh terkait hubungan lintas komunitas. Juga terkait pelaksaaan syariat Islam dan masalah-masalah beberapa komunitas di Aceh".
Lebih lanjut, Prof Arskal mengabarkan, ada empat rekomendasi yang kelak akan disampaikan langsung kepada pihak stakeholder. Atau kaitan Pemerintah Aceh dengan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang juga memiliki masyarakat minoritas non muslim. Persoalan ini bukan hanya di Indonesia saja menjadi kajian, tapi juga di beberapa negara Muslim seperti Iran, Irak, dan Sudan. Di sana ada kelompok-kelompok non muslim.
“Jadi kira-kira kegitan ini untuk memberikan masukan ke arah sana,” sambungnya.
Secara kagamaan masyarakat Aceh hidup dalam kondisi yang bersifat homogen, sehingga non Muslim yang hidup di Aceh tidak muncul dan tertutup dengan budaya dominan. Aceh masih masuk dalam kategori pasif toleran.
Oleh sebab itu, katanya, di sinilah tantangan bagi mayarakat yang hidup homogen, bagaimana mereka menempatkan minoritas di dalam pelaksanaan hdupnya. Ini menjadi sebuah sorotan nasional bahkan internasional.
"Tadi kita katakan ada aktif toleren, pasif toleren, dan intoleran. Dan yang dibaca oleh survei itu adalah karena tidak adanya upaya proaktif maka di sebut pasif toleran. Walau pun tidak demikan, itu masih masuk pasif toleran yang disebabkan kurangnnya pemahaman,” kata Prof.
Di akhir perbincangan, ia turut mencontohkan; kurangnya pemahaman tersebut ibarat fasilitas bagi difabel. "Pascasarjana ini kurang memberikan perhatian kepada difable karena tidak ada lift. Bagaimana bisa orang yang berkursi roda menghadiri seminar di lantai tiga, maka terjadilah pasif toleran. Bukan kita tidak tolerans tapi pasif toleran karena tidak aktif mencarikan dan menyediakan fasilitas itu".
Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq