Ancaman Nyata Untuk Singapura: Pembangunan Terusan Kra di Thailand oleh China

in #politics7 years ago

Disclaimer: Artikel ini terjemahan dari tulisan berbahasa Inggris "The Real Threat to Singapore: Construction of Thai's Kra Canal Financed by China" oleh 永久浪客/Forever Vagabond, 2 Oktober 2016. Ini bukanlah terjemahan resmi, sekedar interpretasi saya dengan tujuan menyebarluaskan informasi ke pembaca Indonesia yang kesulitan mengakses bahasa asing. Sangat tidak disarankan mengutip tulisan ini untuk tujuan penulisan ilmiah. Mohon merujuk langsung ke sumber aslinya. Demikian halnya dengan penggunaan kata-kata yang bisa jadi tidak menyenangkan didalamnya —tak mungkin penterjemah hindari dari tulisan, melalui ini dimohonkan kema'afannya. Terima kasih!

✻ ✻ ✻

img
Sumber

Terusan Kra atau Terusan Thailand disini mengacu pada sebuah proposal untuk membuat sebuah sudetan memotong padang rumput Thailand bagian selatan, serta menghubungkan Teluk Thailand dengan Laut Andaman. Ia menyediakan alternatif dari kebiasaan transit melalui Selat Malaka selama ini serta memperpendek jarak tempuh hingga 1.200 km bagi pengiriman minyak ke negara-negara Asia Timur seperti Jepang dan China, menghemat banyak waktu. China menyebutnya sebagai bagian dari proyek Jalur Sutra maritim abad 21.

China sangat tertarik pada proyek Terusan Kra, sebagian besarnya karena alasan strategis. Saat ini, 80% minyak yang di import China dari Timur Tengah dan Afrika melewati Selat Malaka. China telah lama menyadari bahwa dalam konflik potensial dengan saingan lainnya, terutama dengan AS, Selat Malaka dapat dengan mudah diblokade, dan memotong jalur minyaknya. Mantan Presiden China Hu Jintao bahkan menciptakan sebuah istilah untuk ini, menyebutnya "Dilema Malaka".

Sejarah Terusan Kra

Gagasan untuk mempersingkat waktu pengiriman serta jarak tempuh melalui usulan pembangunan Terusan Kra itu bukanlah hal baru. Ia pernah diusulkan pada awal 1677 ketika Raja Thailand Narai meminta insinyur asal Prancis de Lamar untuk mensurvei kemungkinan membangun jalur air untuk menghubungkan Songkhla dengan Marid (sekarang Myanmar), namun gagasan tersebut ditinggalkan dikarenakan tidak praktis dilakukan dengan teknologi pada masa itu.

Pada 1793, gagasan itu muncul kembali. Adik laki-laki Raja Chakri menyarankan pembangunan terusan ini untuk memudahkan melindungi pantai barat Thailand dengan kapal-kapal militernya. Pada awal abad ke-19, British East India Company (VOC-nya Inggris) menyatakan ketertarikannya pada terusan tersebut. Setelah Burma menjadi koloni Inggris pada 1863, sebuah eksplorasi dilakukan di Victoria Point (Kawthaung) di seberang muara Kra sebagai titik paling selatan, sekali lagi hasilnya negatif. Pada 1882, kontraktor pembangunan terusan Suez, Ferdinand de Lesseps, mengunjungi daerah tersebut, namun raja Thailand tidak mengizinkannya untuk menyelidiki secara rinci.

Pada 1897, Thailand dan kerajaaan Inggris bersepakat untuk tidak membangun sebuah kanal sehingga dapat mempertahankan nilai penting Singapura sebagai pusat kapal dagang (shipping hub), karena pada saat itu, Singapura sudah memperoleh kemakmuran sebagai pusat perdagangan internasional yang sangat penting bagi Inggris.

Pada abad ke-20, gagasan tersebut muncul kembali dengan berbagai proposal untuk membangun terusan namun tidak berjalan jauh dikarenakan berbagai kendala, termasuk hambatan teknologi dan biaya serta kepemimpinan politik yang tidak pasti dari Thailand.

China menunjukkan uangnya ke Thailand

Sejak dekade terakhir, China telah berhasil menjadi pemain penentu dalam politik serta memiliki kemampuan mengubah proposal terusan Kra menjadi kenyataan di abad ke-21. Mereka memiliki uang, teknologi dan kepemimpinan politik yang kuat dan akan mendukung proyek tersebut jika menginginkannya.

Tahun lalu, muncul kabar bahwa China dan Thailand telah menandatangani nota kesefahaman (MOU) untuk memajukan proyek terusan Kra. Pada 15 Mei 2015, MOU ditandatangani oleh perusahaan Investasi dan Pengembangan Infrastruktur Kra China-Thailand (中 泰克拉 基礎 設施 投資 開發 有限公司) dan Asia Union Group di Guangzhou. Menurut laporan berita, proyek terusana Kra tersebut akan memakan waktu satu dekade dalam penyelesaiannya serta menghabiskan biaya sebesar US $ 28 miliar.

Tapi 4 hari kemudian pada 19 Mei, dilaporkan bahwa pemerintah China dan Thailand menolak berita ada kesepakatan resmi antara 2 pemerintah untuk membangun kanal tersebut.

Sebuah pernyataan dari kedutaan China di Thailand mengatakan bahwa China belum mengambil bagian dalam studi atau kerja sama mengenai masalah ini. Mereka kemudian mengklarifikasi bahwa organisasi yang menandatangani MOU tersebut tidak memiliki hubungan dengan pemerintah China. Secara terpisah, kantor berita Xinhua menelusuri pengumuman proyek terusan tersebut ke perusahaan China Longhao lainnya, yang menolak berkomentar saat dihubungi.

Dr Zhao Hong, seorang ahli hubungan China-ASEAN dari Institute of Southeast Asian Studies, mengatakan kepada media bahwa China tidak akan memulai proyek semacam itu dengan langkah ringan, mengingat implikasi politik dan bilateral.

"China harus mempertimbangkan tanggapan balik dari negara-negara seperti Singapura, yang memiliki hubungan persahabatan dengannya, dengan menimbang dampak yang mungkin ditimbulkan dari terusan Kra," katanya pada saat berita tentang MOU tersebut muncul ke media. Tapi Dr Zhao menambahkan bahwa China mungkin saja terbuka untuk perusahaan swasta yang ingin mempelajari kelayakan proyek semacam itu, namun tidak akan langsung mendukungnya untuk saat ini.

Dikatakan bahwa ketua Asian Union Group, pihak Thailand yang menandatangani MOU tersebut, merupakan mantan perdana menteri Thailand Chavalit Yongchaiyudh, pendukung lama gagasan terusan Kra.

img
Sumber

PM Thailand: Proyek terusan Kra sebaiknya dijalankan pemerintahan demokratis kedepan

Januari tahun ini (2006), PM Thailand mengulang kembali pernyataan bahwa proyek terusan Kra tidak ada dalam agenda pemerintahannya. Pengumuman ini disampaikan setelah seorang anggota Dewan Penasihat Raja, Thanin Kraivichien, menulis sebuah surat terbuka kepada pemerintah untuk mendukung pembangunan terusan tersebut. Thanin adalah PM Thailand ke-14 yang memerintah sekitar Oktober 1976 sampai Oktober 1977. Seruan Thanin ini adalah bagian dari seruan bernada serupa yang semakin meningkat dari para pendukung terusan Kra dalam komunitas politik dan bisnis Thailand yang mulai berbicara secara terbuka sejak tahun lalu, setelah beberapa perusahaan China menyatakan minatnya untuk mendanai dan membangun terusan tersebut.

Menanggapi permintaan Thanin untuk proyek tersebut, PM Thailand mengatakan bahwa proyek terusan Kra sebaiknya dipertimbangkan oleh pemerintah demokratis di masa depan, yang berarti mengatakan Thailand tidak mengesampingkan pembangunan terusan Kra sepenuhnya. Dan dalam kasus Thailand, perubahan pemerintahannya sering terjadi semudah mengganti pakaian.

China mulai marah ke Singapura

Dalam beberapa bulan terakhir, kemarahan China meningkat sehubungan langkah PM Lee Singapura yang mendekat ke AS sekaitan masalah Laut China Selatan, meskipun Singapura tidak memiliki klaim (urusan) sedikitpun atas wilayah di sana.

Semua ini dimulai sekitar 2 bulan yang lalu ketika PM Lee diundang ke Gedung Putih dan dipandu ke acara makan malam di Gedung Putih yang langka pada 2 Agustus (2016). Dalam ceramahnya disana, PM Lee menyambut baik upaya AS mengadopsi strategi untuk "menyeimbangkan kembali" Asia Pasifik dan bahkan menyebut Presiden Obama sebagai "Presiden Pasifik pertama Amerika".

China segera menanggapi melalui media Global Times mereka. "Lee Hsien Loong berbicara kepada Obama sebagai 'Presiden Pasifik pertama Amerika '. Pujian semacam itu ('戴高帽') yang diberikan kepada Obama itu sekaligus bermakna tidak memperhatikan kita ('倒也没 啥'), "kata artikel Global Times. "Kuncinya adalah dia memuji strategi Amerika untuk 'menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik' dan mengumumkan bahwa semua negaradi Asia Tenggara menyambut 'penyeimbangan' Amerika tersebut. Karena strategi menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik' itu sebagain besarnya menunjuk ke China, maka Lee Hsien Loong jelas sudah memihak."

"Jika Singapura benar-benar menjadi pion Amerika '(' 马前卒 ') dan kehilangan daya tahannya untuk bermain di antara AS dan China, maka pengaruh mereka akan sangat berkurang. Nilainya ke AS juga akan sangat terdiskontokan," tambah media tersebut.

Artikel tersebut lebih lanjut mengatakan bahwa China memiliki batas toleransi. Dikatakan, "Singapura seharusnya tidak memaksakan diri ('新加坡 不能 太 过分'). Mereka tidak akan dapat memainkan peran dan mengambil inisiatif membantu negara-negara AS dan Asia Tenggara untuk melawan China sekaitan masalah Laut Cina Selatan. Mereka tidak dapat membantu strategi 'menyeimbangkan kembali Asia-Pasifik' Amerika Serikat, yang mengarah ke urusan dalam negeri China, dengan 'menambahkan minyak dan cuka' ('添油加醋'), sedemikian hingga memungkinkan AS memiliki alasan untuk menekan ruang strategis China serta memberikan dukungan bagi AS."

"Singapura boleh saja pergi dan menyenangkan hati orang-orang Amerika, tapi mereka perlu melakukan usaha terbaiknya guna menghindari merugikan kepentingan China. Mereka perlu menjelaskan dan terbuka tentang sikapnya yang terakhir," katanya mengingatkan. Upaya keseimbangan oleh Singapura seharusnya membantu China dan AS untuk menghindari konfrontasi sebagai tujuan utamanya, serta tidak menyebelah yang dapat meningkatkan ketidakpercayaan antara China dan AS, ujarnya.

Artikel tersebut memberi contoh tindakan Singapura yang mengizinkan AS mengerahkan pesawat pengintai P-8 ke Singapura, yang dari pandangan orang China, dapat meningkatkan ketegangan di Laut Cina Selatan, dan dengan demikian, meningkatkan ketidakpercayaan di antara 2 negara besar.

"Singapura membutuhkan lebih banyak kebijaksanaan ('新加坡 需要 更多 的 智慧')," pungkasnya dalam artikel tersebut.

Jenderal TPR China: KIta harus serang balik Singapura

Dan kemarin, South China Morning Post (SCMP) melaporkan bahwa seorang Jenderal TPR (Tentara Pembebasan Rakyat) telah meminta Beijing untuk menjatuhkan sanksi dan melakukan pembalasan terhadap Singapura "membayar harga karena telah merusak kepentingan China." Lihat http://theindependent.sg/pla-general-we-must-strike-back-at-singapore!

Ucapan Jenderal tersebut muncul setelah sebuah pertengkaran baru-baru ini antara media Global Times dengan Duta Besar Singapura Loh. Pada 21 September (2016), Global Times mengeluarkan sebuah artikel yang mengatakan bahwa Singapura telah mengangkat masalah Laut Cina Selatan yang masih dipersengketakan ini dalam Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok (GNB) yang diadakan di Venezuela pada 18 September. Ia menambahkan bahwa Singapura telah "bersikeras" untuk memasukkan keputusan pengadilan internasional terkait jalur perairan ini, yang mendukung Filipina, dalam dokumen akhir KTT tersebut.

Duta Besar Singapura untuk China, Stanley Loh, menolak tuduhan ini dan menulis sebuah surat terbuka yang menyatakan bahwa laporan berita tersebut sebagai "salah dan tidak berdasar". Loh mengatakan bahwa langkah untuk memasukkan keputusan internasional dalam dokumen akhir GNB tersebut adalah tindakan kolektif dari para anggota ASEAN. Namun pemimpin redaksi Global Times keluar mempertahankan laporan papernya.

Kemudian, pemerintah China juga mengeluarkan pernyataan mendukung pemberitaan Global Times, serta tidak percaya dengan argumen Duta Besar Loh. Ketika juru bicara kementerian luar negeri China ditanyai tentang ketegangan antara Global Times dan Singapura, dia menyalahkan "negara individual" tertentu karena bersikeras memasukkan masalah Laut Cina Selatan dalam dokumen GNB.

Xu Liping, peneliti senior studi Asia Tenggara di Chinese Academy of Social Sciences, mengatakan bahwa China sebenarnya mengharapkan Singapura menjadi mediator netral antara China dan negara-negara ASEAN, dan tidak ingin melihat perselisihan mengenai Laut Cina Selatan yang diajukan secara multilateral dalam platform seperti KTT GNB. Itulah sebabnya China begitu marah atas langkah aktif Singapura dalam membicarakan topik sensitif semacam itu, katanya.

"Jika Singapura tidak menyesuaikan kebijakannya, saya khawatir hubungan bilateral akan memburuk," Xu menambahkan. "Singapura harus berpikir dua kali mengenai kerja sama keamanannya khususnya dengan Amerika Serikat, dan memberikan keseimbangan yang lebih baik antara China dan AS."

img
Sumber

“Ular berkepala dua"

Pada hari Kamis, edisi luar negeri harian People's Daily di China juga menerbitkan sebuah komentar online, yang mengatakan bahwa Singapura "secara jelas telah menyebelah atas masalah Laut Cina Selatan, sementara perkataannya menekankan tidak". Dengan kata lain, China menuduh pemerintah Singapura mengatakan satu hal tapi melakukan tindakan lain — sikap munafik.

Di dunia maya, para netizen China umumnya mengecam Singapura sebagai ular berkepala 2. Salah seorang dari mereka menulis:

(Terjemahan: China harus segera memulai proyek terusan Kra dan mengubah Singapura menjadi negara dunia ketiga. Ini adalah hadiah terbaik yang bisa diberikan kepada seekor "ular berkepala dua.")

Jika terusan Kra benar-benar menjadi kenyataan, kapal-kapal pasti akan mempertimbangkan untuk memotong Selat Malaka dan Singapura sama sekali, menjadikan lokasi geografis Singapura menjadi kurang penting. Kita mungkin nantinya benar-benar menjadi negara dunia ketiga.

DQmdgVdaZDyVWz98hw9569eHh6kiE66XF61R1ppogQiMmbg-2.jpeg

Pembatas 5.png

Call for support of Indonesian Steemit Curators @levicore & @aiqabrago; Nanggroë Steemit Community @steem77, @abunagaya, @bukharisulaiman; Bireuen Steemit Community @bahagia-arbi, @doddybireuen, @razack-pulo; and KSI Chapter Banda Aceh @kemal13 & @rismanrachman

Sort:  

mantaap bg tulisan nya, selalu menarik untuk di nikmati. bravo

Dwngan dibangun kanal saluran itu, menyebabkan tekanan kepada negara yang berada di Jalur Sutra, pukulan telak bagi Nusantara, walaupun sekarang Singapore yang berkuasa.

Tentu. Begitupun ada sedikit celah bagi Aceh yang lebih dekat ke terusan Kra. Kita lihat bagaimana langkah pemerintah Aceh kedepan menyikapi ini.

Sabang menjadi satu-satunya harapan, apakah pelabuhan bebas akan berjalan efektif?

Ndak mesti Sabang, malah bottleneck dengan daratan utama Sumatera. Seluruh pesisir utara dan timur Aceh, asal memiliki kedalaman yang cukup dan akses infrastruktur yang baik, punya potensi jadi pelabuhan yang efektif.

Nah, infrastruktur pelabuhan yang sudah siap dan bisa beroperasi berapa?

Pertanyaan lebih penting lagi, barang yang mau di eksport seberapa banyak?

Mantap sekali informasi sejarah dari bang rima..

Pemerintahan singapura atau PM nya mendekat ke AS, apakah itu kedekaran hanya untuk mengurusi 1 kesepakatan saja, atau untuk selamanya akan begitu?

Ini info yang menarik

Mengacu ke artikel, China daratan sepertinya menghendaki posisi Singapura sebagai medium netral dalam konflik Laut China Selatan dengan AS dan negara terkait lainnya.

Wah, artikelnya ganas. Kalau pak @rshahputra sudah ulas di steemit berarti artikel ini sudah layak konsumsi. Thanks pak

Hahaha. Thanks kembali pak @sudarman.puteh 😊