We Call it "Love Nanggroe"
Long Distance Politics Diaspora Aceh,
An Overview of Separatist Conflict in Indonesia
review by hanif sofyan-acehdigest
April 10, 2017 | 21:52
Author: Antje Missbach
Thickness: 396 pp
Size: 15 x 23 cm
Publisher: Wave
It's not just ordinary love that knows long distance relationship, even the longing for a nanggroe-mentioning aceh in the nuances of 'meuaceh', appears in a complex political format.
The story of Aceh is very long winding. Since the endless wars of aggression against the Dutch aggression: 31 years (1873-1904), then the conflict transfers with the central government itself, then quietly in nanggroe itself also overlapped opinions about who should emerge as 'owner' nanggroe actually . The war therefore refers to the existence of the stakeholders and continues to be a part of history.
The next thing that is not less important is the emergence of the Free Aceh Movement (GAM), as a form of resistance. Against what the combatants call 'against oppression'. Likewise, many historical interpreters have different opinions, motives behind the idea of the emergence of the movement, which is considered the Government of the Unitary State of the Republic of Indonesia, as a separatist movement.
Apart from that debate, that conflict is the most confiscated body of soul "ureung Aceh", because so long the story of struggle that almost without pause. Except when the tsunami strikes, invalid hands hands God Azzawajala, then war pauses. Yet still the "free" seeds remain in the chaff as coals. The slightest wind can rekindle war, maybe friction.
The notion of 'independence' of the nation remains a bargaining power, the bidder side in every scene of political conflict up-down, left-right, vertical-horizontal.
Then all the space into the medium voiced the voice of 'struggle' about justice that was not yet fulfilled. Thus the Diaspora of Aceh became a form of 'resistance' seeking justice driven by the invisible 'machine' and everywhere.
So love can not be dammed distance and time, as long as the pulse is there. Then the form of love will nanggroe will manifest in any form. Soft power, dialog table dialogue, are the choices, from so many choices that have existed and threw away so much energy and life.
There may be times when the love of nanggroe changes clockwise, gathering all energy, then living the ultimate desire, building a nanggroe for existence, unconditionally, without wasting self-esteem, yet at the top of everything, nanggroe peace is the essence of all desires, hopes and prayers that never cease to be worshiped.
darussalam [2018]
hansacehdigest
Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh,
Suatu Gambaran Tentang Konflik Separatis di Indonesia
review oleh hanif sofyan-acehdigest
10 April 2017 | 21:52
Penulis : Antje Missbach
Tebal : 396 hlm
Ukuran : 15 x 23 cm
Penerbit : Ombak
Bukan cuma cinta biasa yang mengenal long distance relationship, bahkan kerinduan akan sebuah nanggroe-menyebut aceh dalam nuansa ‘meuaceh’, muncul dalam format politik yang kompleks.
Kisah Aceh memang sangat panjang berliku. Sejak perang tanpa henti melawan agresi Belanda yang berdurasi: 31 tahun (1873-1904), lalu konflik beralih rupa dengan pemerintahan pusat sendiri, lalu diam-diam dalam nanggroe sendiri juga bertumpang tindih silang pendapat soal siapa yang mesti muncul sebagai ‘pemilik’ nanggroe sesungguhnya. Maka perang merujuk eksistensi parapihak itu berlanjut dan menjadi bahagian dari kesejarahan.
Berikutnya yang tak kalah penting adalah munculnya Gerakan Aceh merdeka (GAM), sebagai bentuk perlawanan. Melawan, apa yang disebut oleh para kombatan sebagai ‘melawan penindasan’. Begitupun banyak penafsir sejarah berbeda pendapat, berbagai motif melatarbelakangi gagasan munculnya gerakan, yang dianggap Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai sebuah gerakan separatis.
Terlepas dari debat itu, bahwa konflik inilah yang paling menyita jiwa raga "ureung Aceh", karena begitu panjangnya kisah perjuangan yang nyaris tanpa jeda. Kecuali ketika tsunami raya, berlaku invincible hands Allah Azzawajala, maka perang berjeda. Namun tetap saja benih-benih "bebas" itu tetap tinggal dalam sekam sebagai bara. Angin sekecil apapun dapat menyulut kembali peperangan, mungkin gesekan.
Gagasan tentang ‘kemandirian’ berbangsa itu tetap saja menjadi bargaining power, sisi penawar dalam setiap gelagat konflik politik atas-bawah, kiri kanan, vertikal-horizontal.
Maka segala ruang menjadi medium menyuarakan suara ‘perjuangan’ tentang keadilan yang ternyata belum terpenuhi. Maka Diaspora Aceh menjadi wujud, ‘perlawanan’ mencari keadilan yang digerakkan oleh ‘mesin’ tidak kasat mata dan ada dimana saja.
Maka kecintaan itu tidak bisa dibendung jarak dan waktu, selama denyut nadi ada. Maka wujud kecintaan akan nanggroe akan mewujud dalam bentuk apapun. Soft power, dialog meja runding, adalah pilihan-pilihan, dari begitu banyak pilihan yang pernah ada dan membuang begitu banyak energi dan nyawa.
Mungkin ada waktunya kecintaan akan nanggroe berubah arah jarum jam, mengumpulkan seluruh energi, lalu tinggallah keinginan paling hakiki, membangun nanggroe untuk sebuah eksistensi, tanpa syarat, tanpa membuang harga diri, namun di puncak semuanya, perdamaian nanggroe adalah hakikat di atas semua keinginan, harapan dan doa-doa yang tak pernah henti dipujakan.
darussalam [2018]
hansacehdigest