Poligami (III) : Cermin

in #poligami7 years ago (edited)

Lanjut ya...
Usai melintas pikiran tentang menikah dan poligami, saya mulai lebih jeli memperhatikan sekitar. Banyak prosa nyata kehidupan saya temukan. Tapi tetap, fokus saya adalah anak-anak. Saya jadi suka bercerita sekelumit ingatan bacaan pada anak-anak sekitar. Tanpa buku, saya pembosan. Sedangkan mereka anak-anak yang bosan pada buku.

Mereka senang menanti saya pulang dari mana saja, lalu meminta saya bercerita. Penodong setia cerita saya adalah Ririn. Lalu murid pengajian, dari balai sampai yang privat.

Dari dulu, waktu senggang bagi saya adalah waktu sisa. Pulang sekolah, seabreg kerjaan rumah sudah menanti. Menjelang maghriblah waktu kami, sebelum semua bergegas menuju balai mengaji. Lalu, kalau saya senggang, berlanjut sepulang ngaji. Sampai kuliah, anak-anak di kampung kami masih rajin mengaji. Semakin lama, semakin naik tingkatnya, semakin banyak pula amanah yang kami terima, yakni diberi tanggung jawab mengajar kelas lain yang lebih belia. Bila ada waktu sisa, itulah waktu kami bercerita. Atau saat mati lampu, saya senang mengisi jeda dengan cerita.

Demikian pula murid-murid kami di TPA Baitul Mukminin di Lamteh saat itu. Sedangkan anak-anak dari beberapa keluarga yang privat mengaji pada saya, mereka senang bergegas menuntaskan belajar baca Al-Qur'an atau setoran hafalan, sehingga banyak waktu sisa untuk kami bercerita. Kadang, saat mereka dilanda bosan, saya sering berkata, "Eh, kalau masih ada waktu habis ngaji, Ustadzah punya cerita." Mereka kontan tersemangati.

Ternyata, efek bercerita ini membuat mereka kian lengket dengan saya. Ada yang bahkan sampai menanyakan, "Kenapa bukan Ustadzah saja jadi mamak saya?" Ada pula kawan yang menggantikan mengisi kelas-kelas privat, sebab saya harus menjalani dinas ke Takengon, mengeluh bahwa saban hari anak-anak menanyakan dan membanding-bandingkan sang teman dengan saya. Ada yang mogok ke TPA. Aduh Nak, kalau saja bisa, sungguh diri ini tak hendak mengalihkan perhatian dari kalian. Aduh sahabat yang menggantikan, maafkan, semua di luar kehendak dan dugaan.

Well, pada akhirnya, sembari saya bercerita pada anak-anak sekitar, saya membayangkan, beginilah kelak saya akan bersama anak. Beginilah anak-anak 'kami' kelak merindukan dan menyintai Bundanya. Mereka akan tumbuh dengan pembentukan karakter positif lewat cerita. Kami akan banyak membaca bersama.

'Kami', bertanda petik, sebab tentu saja saya belum punya dugaan, tentang siapa ayah dari anak-anak yang saya impikan. Sejauh pengalaman pembelajaran yang saya lalui bersama guru-guru kehidupan, termasuk di dalamnya Almarhumah nenek saya tercinta, saya meyakini, bahwa perempuan itu menunggu yang datang, lalu menentukan pilihan, bukan mencari. Tapi saya tidak berdiam saja. Segala bekal semampu diri saya siapkan. Menuruti petatah petitih orang-orang tua di lingkungan kami. Walaupun sebagian senang juga saya candai, sebab -menurut saya- tidak zamannya lagi.

Dan, yang paling utama, melangitkan do'a kepada Yang Maha Kuasa. Bukankah segala kejadian di alam ini atas izinNya? Alhamdulillaah, Allah dampingkan saya sampai sekarang dengan sebaik-baik pilihan, yang setiap ingat, saya ucapkan kepadanya, "Terimakasih sudah memilih Adek sebagai istri Abang." Seringnya dibalas, "Abang yang berterimakasih, Adek bersedia menerima proposal Abang."

Hahaha, romantis bawaan. Apa boleh buat, ya kan?

Sudah, abaikan saja!

Balik ke cerita, tentang panggilan untuk peran keibuan saya, besar sekali pengaruh tulisan bebas, semacam di Multiply, artikel di majalah, bahkan tulisan istimewa berwujud buku-buku berkualitasnya Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia. Saya penikmat tulisan mereka, sejak saya kenal Annida di tingkat SD. Ada juga beberapa karya penulis lain yang tidak begitu membekas namanya. Dan -lagi-lagi- alhamdulillaah, ketika saya utarakan saat sedang berproses, suami (waktu itu masih calon) sama sekali tidak keberatan. Sejak awal saya tegaskan, saya tidak ingin anak mendengar A dari bundanya lalu mendengar B dari ayahnya tentang suatu hal. Beliau sepakat. Jodohpun berlanjut.

Demikianlah kemudian cara saya dan kami berusaha memahami anak. Kami banyak bercerita. Segala situasi kami diskusikan. Kami juga berusaha banyak mendengar. Bila tertumbuk pada masalah emosional, saya sering menyelami pengalaman masa kecil saya, mengingat-ingat dengan baik, bagaimana saya ingin diperlakukan sebagai anak.

Tentu tidak ideal, sebab kami adalah dua orang berbeda dari dua latar keluarga, pendidikan, pemahaman dan pengalaman berbeda. Kami hanya berusaha bersinergi. Berhasil atau tidak, akan kami evaluasi ulang. Saling bicara dan mendengar -sejauh ini- adalah cara terbaik bagi kami saling memahami. Walaupun sampai sekarang saya merasa, kesempatan saya bercerita kepada anak sendiri tidak sebanyak kesempatan saya bercerita pada anak-anak sekitar saya dulu. Sering, keadaan ini menyedihkan saya.

Selama membersamai anak-anak, saya memahami, bahwa pendekatan belajar anak-anak itu beda-beda. Ada yang mudah bosan, ada yang suka ditantang, ada yang butuh perhatian lebih, dan lain sebagainya. Tapi umumnya, anak-anak senang eksplorasi dan eksperimen. Kemudian bercerita. Yang paling mempengaruhi adalah latar suasana masing-masing keluarga. Anak yang mandiri dan percaya diri biasanya hadir dari keluarga yang hangat dan saling mendukung.

Lalu, saya juga suka memperhatikan rumah tangga di sekitar saya. Mana yang saya anggap layak, ideal, buruk, dan seterusnya. Terhadap rumah tangga yang ribut melulu, saya memilih menghindar. Pernah juga satu kali saya mendengar istri yang marah pada suaminya, lalu mendo'akan yang buruk-buruk seperti mendapat kecelakaan di jalan. Serta-merta saya berdo'a kebalikan untuk ayah saya dan saudara-saudara yang sedang berjauhan.

Efeknya, saya lebih rentan terhadap adu emosi. Kalau ada anggota keluarga atau tetangga yang ribut, saya memilih menarik mak saya masuk, lalu tutup pintu. Mak saya mudah tersulut emosi. Saya mencegah sebisa saya.

Saya tidak suka ribut-ribut. Kalau marah, mending diam. Menghindar sebentar sampai situasi lebih tenang, baru bicara. Tapi pernah juga saya hadapi blak-blakan. Biasanya sih main fisik langsung. Sekali bicara, malas panjang-panjang. Saya tidak biasa adu mulut. Adu mulut biasanya tidak menyertakan logika, menuruti perasaan semata.

Uniknya, pekerjaan saya sehari-hari saat ini justru berhadapan dengan masalah emosi dan keributan keluarga muslim.

Balik ke poligami, ada salah satu sepupu jauh mak saya yang 'terjebak' dalam lingkaran hitam poligami tidak sehat. Cerita tentang beliau perlahan-lahan saya susun utuh, dari potongan-potongan yang disampaikan oleh beberapa keluarga. Beliau -yarhamhallaahu ta'ala- dijadikan istri kesekian. Dulu, catatan pernikahan belum serapi sekarang. Poligami mudah saja terjadi. Apalagi yang tidak terikat kontrak kerja dengan negara.

Awalnya, beliau tidak tahu dijadikan madu. Ketika beliau dibawa ke kampung suaminya, mulailah beliau dikerjai -di belakang suaminya- oleh istri-istri sebelumnya. Di kemudian hari, meskipun beranak banyak, beliau mencari-cari masalah agar diceraikan. Kadang sengaja pergi ke B. Aceh berlama-lama. Tapi suaminya bersikukuh, tidak akan menceraikan istri yang katanya diperjuangkan sampai 'direbut di ujung pisau' dari orang lain. Mautlah yang kemudian memisahkan mereka.

Cerita menarik yang saya ingat adalah, bahwa mengerjai madu itu seakan menjadi tradisi. Ketika suami beliau menikah lagi, beliau dikompori oleh istri-istri sebelumnya agar mengerjai istri baru suaminya tersebut.

"Jameun kah kamoe peulaku, jinoe kapeulaku jih." Demikian para istri itu membakar sekam rapuh di hati beliau dalam Bahasa Aceh. Artinya lebih kurang : dulu kamu sudah kami kerjai, sekarang giliran kamu ngerjai dia (istri baru). Tapi sekam rapuh itu tetap dingin, tidak tersulut.

Kisah sepupu mak saya tersebut dan beberapa kisah serupa lainnya, membuat saya menetapkan aturan/syarat ideal untuk keluarga poligami. Syarat pertama : saya harus jadi istri pertama. Sebab, sebaik apapun istri kedua dan selanjutnya, bila istri pertamanya tidak baik, keluarga poligami ideal tidak akan sesuai harapan. Pemegang peran pengatur utama, penyesuai dan pengendali suasana keluarga, tetaplah istri pertama. Umumnya pula, keluarga suami cenderung lebih dekat, percaya dan sayang pada istri pertama. Ini murni hasil pengamatan, belum pengalaman 😅

Sejauh ini syarat ideal pertama tersebut sudah terpenuhi. Tapi syarat berikutnya belum menampakkan diri 😉
Screenshot_2018-02-09-11-34-01_1.jpg

Sort:  

Sisi terdalam rumah tangga yg jarang terekspos. Menarik sekali.

Trims Pak. Sempat terpikir, apakah akan terkesan terlalu pribadi? Tapi pikiran lain menguatkan, bahwa mungkin ada sisi positif tentang kehidupan bagi orang lain. Kalau terasa menyimpang, tolong diingatkan Pak.