Sabang is a city located on Weh island and is a gateway in the western tip of Indonesia. Sabang has an area of 156.3 square kilometers with the highest peak of 617 meters above sea level. Being in Pulau Weh many people call Weh island as Sabang Island. Weh Island itself is the main and largest island separated from the mainland of Aceh by the Strait of Bengal.
Besides bordering on 3 countries namely Malaysia, Thailand and India, Sabang is also a very unique area for Indonesia. That's because this is where you can find the monument Zero Kilometer which is cikalingan term, "From Sabang to Merauke".
Currently Sabang transformed into a marine tourism destination Indonesia that offers a paradise for divers. Here you can enjoy the underwater nature by diving to discover hundreds of species of fish and the richness of natural reefs that are not planted or cultivated.
The waters in Sabang are the meeting place of the Indian Ocean and the Malacca Strait. Currently Sabang equip tourist attraction by organizing Sabang International Regatta.
Sabang's charm offers the beauty of a beautiful coastline, blue and clean sea air and green trees. Will, not only marine tourism can be found in Sabang. There are mountains, lakes, beaches, seas, and unspoiled and waiting forests. Not to mention you with the community will bring a memorable experience.
Sabang is a beautiful small town with a hilly land structure so the townspeople call the city of Sabang with two names namely the city down and the city top.
Sabang consists of large and small islands, Pulau Weh Island as the largest island, Rubiah Island, Klah Island, Seulako Island, and Rondo Island. The population is about 26,000 inhabitants. Sabang is divided into two sub-districts and 72 villages. The topography is lowland, bumpy, hilly and mountainous terrain, and rocks along the coast.
The Sabang border to the east is the Malacca Strait, west to the Indonesian Ocean, north to the Malacca Strait, and the south by the Indonesian Ocean.
At the time of the Kingdom of Aceh, Weh Island area itself is a place of expulsion or moved "geupeuweh" for someone who weighs heavily from the kingdom. The name geupeuweh then attached to the name of this island and along with the time then pronunciation shortened to Weh and interpreted as a separate island.
The word "sabang" comes from the Acehnese word "saban" which means the same rights and in all things. This is coupled with the Sabang who was visited by many outsiders to open the garden (seuneubôk) or other business.
These arrivals come from different regions with different cultures, both attitudes, values, and customs. Slowly assimilated assimilation where the various differences that eventually fade and appear the same. The term saban has long been attached to Weh Island which then slowly changed its mention to "Sabang".
Sabang is a one-area area of the Kingdom of Aceh that can be fully controlled by the Government of the Netherlands East Indies. Since 1881, Sabang designated as a natural harbor called Kolen Station.
The Dutch East Indies government then built various facilities and infrastructure. After 1887 when Sabang Haven authorized to build a port supporting facility.
In 1895, Sabang became a free port area of Vrij Haven managed by Sabang Maatschaappij (Station Maatschaappij Zeehaven en Kolen). At that time the name Sabang increasingly popular in the archipelago and internationally as a port of international trade circulation.
World War II had destroyed Sabang until 1942 which occupied Japan and made it the maritime base of the Japanese Navy. Not completed the process, after the disaster was completed, Allied troops bombarded it to make Sabang was closed.
It was only after Sabang's independence period was designated as the Navy of the Republic of Indonesia (RIS) and all assets of Sabang Maatschaappij Port purchased the Indonesian Government.
In 1965 formed the government of Sabang Municipality and initiated efforts to restart Sabang Pelabuhan Bebas and Free Trade Area. This new effort was officially confirmed in 2000.
Activities Free Port and Sabang Free Trade began to pulsate with the entry of goods from abroad to Sabang Area. Will return, in 2004 Sabang again stalled because the central government established the status of martial law for Aceh.
Post-peace between the Government of Indonesia and GAM on August 15, 2005, Sabang again crowded. Sabang Free Port is open again to speed up economic development in Aceh through economic relations with overseas.
Sabang adalah kota yang terletak di Pulau Weh dan merupakan pintu gerbang di kawasan ujung barat Indonesia. Sabang memiliki luas 156,3 kilometer persegi dengan puncak tertinggi 617 meter di atas permukaan air laut. Karena terletak di Pulau Weh banyak orang yang menyebut Pulau Weh sebagai Pulau Sabang. Pulau Weh sendiri merupakan pulau utama dan terbesar yang terpisahkan dari daratan Aceh oleh Selat Benggala. Selain berbatasan langsung dengan 3 negara yaitu Malaysia, Thailand dan India, Sabang juga merupakan sebuah daerah yang sangat unik bagi Indonesia. Hal itu karena di sinilah Anda dapat menemukan tugu Nol Kilometer yang merupakan cikal bakal istilah, "Dari Sabang sampai Merauke".
Saat ini Sabang menjelma menjadi destinasi wisata bahari Indonesia yang menawarkan surga bagi para penyelam. Di sini Anda dapat menikmati alam bawah lautnya dengan menyelam untuk menemukan ratusan spesies ikan dan kekayaan terumbu karang alami yang bukan ditanam atau budidaya.
Perairan di Sabang merupakan tempat bertemunya Samudera Hindia dan Selat Malaka. Saat ini pun Sabang memperlengkapi atraksi wisatanya dengan penyelengaraan Sabang International Regatta.
Pesona Sabang menawarkan keelokan garis pantai yang indah, air laut nan biru dan bersih serta pepohonan nan hijau. Akan tetapi, bukan wisata bahari saja dapat ditemukan di Sabang. Ada gunung, danau, pantai, laut, serta hutannya yang masih alami dan terjaga menunggu dikunjungi. Belum lagi interaksi Anda dengan masyarakat setempat akan memberikan pengalaman yang berkesan.
Sabang merupakan kota kecil yang indah dengan struktur tanah berbukit-bukit sehingga warga setempat menyebut kota Sabang dengan dua nama yaitu kota bawah dan kota atas.
Sabang terdiri dari lima pulau besar dan kecil, yakni Pulau Weh sebagai pulau terbesar, Pulau Rubiah, Pulau Klah, Pulau Seulako, dan Pulau Rondo. Jumlah penduduknya sekitar 26.000 jiwa. Sabang terbagi ke dalam dua kecamatan dan 72 desa. Topografinya meliputi dataran rendah, tanah bergelombang, berbukit dan bergunung, serta batu-batuan di sepanjang pantai.
Perbatasan Sabang di sebelah timur adalah Selat Malaka, sebelah barat dengan Samudera Indonesia, sebelah utara dengan Selat Malaka, dan sebelah selatan dengan Samudera Indonesia.
Pada masa Kerajaan Aceh, wilayah Pulau Weh sendiri merupakan tempat pengusiran atau dipindahkan ”geupeuweh” bagi seseorang yang dikenakan hukuman berat dari kerajaan. Sebutan geupeuweh kemudian dilekatkan kepada nama pulau ini dan beriring dengan waktu kemudian pelafalannya menyingkat menjadi Weh dan diartikan sebagai pulau yang terpisah.
Kata "sabang" berasal dari bahasa Aceh yaitu "saban" yang berarti sama hak dan kedudukan dalam segala hal. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan Sabang yang dulunya banyak didatangi pendatang dari luar untuk membuka kebun (seuneubôk) atau usaha lainnya.
Pendatang tersebut berasal dari berbagai daerah dengan budaya yang berbeda, baik sikap, nilai, maupun adat istiadat. Lambat laun terjadi asimilasi dimana beragam perbedaan tersebut akhirnya memudar dan kedudukan mereka menjadi sama. Istilah saban ini telah lama melekat kepada Pulau Weh yang kemudian perlahan berubah penyebutannya menjadi "Sabang".
Sabang merupakan satu-satunya daerah Kerajaan Aceh yang bisa dikuasai penuh oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejak tahun 1881, Sabang ditetapkan sebagai pelabuhan alam yang disebut Kolen Station.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian membangun berbagai sarana dan prasarana. Terutama setelah tahun 1887 saat Sabang Haven memperoleh kewenangan untuk membangun sarana penunjang pelabuhan.
Tahun 1895, Sabang menjadi daerah pelabuhan bebas Vrij Haven yang dikelola Sabang Maatschaappij (Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station). Saat itu nama Sabang semakin populer di Nusantara maupun internasional sebagai pelabuhan sirkulasi perdagangan internasional.
Perang Dunia II telah menghancurkan Sabang hingga tahun 1942 diduduki Jepang dan menjadikannya sebagai basis maritim Angkatan Laut Jepang. Belum selesai perbaikan akibat perang, kerusakan fisik pulau ini semakin parah setelah Pasukan Sekutu membombardirnya sehingga membuat Sabang pun ditutup.
Barulah setelah masa kemerdekaan Sabang ditetapkan sebagai pusat Pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dan semua aset Pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli Pemerintah Indonesia.
Tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang dan dirintis upaya untuk membuka kembali Sabang Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas. Upaya ini baru resmi dikukuhkan tahun 2000.
Aktifitas Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang pun mulai berdenyut dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke Kawasan Sabang. Akan tetapi, tahun 2004 Sabang kembali terhenti karena pemerintah pusat menetapkan status darurat militer bagi Aceh.
Pasca perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, Sabang kembali ramai. Pelabuhan Bebas Sabang kembali dibuka untuk mempecepat pembangunan ekonomi Aceh melalui hubungan ekonomi dengan luar negeri. Selain itu, beragam destinasi bahari dan keunikan budaya Aceh pun kembali diperkenalkan agar wisatawan berdatangan menikmati pesona keindahan pulau paling barat di Indonesia ini.
Hey! I've never ever heard of SABANG island. Looks amazing!
oke sir, im waiting for you in sabang
Oh, thanks for the invitation @teukufandy!
@teukufandy
Nice Job!
Keep the good work up!
Thanks for sharing