Jumat kemarin saya mendapati banyak hal hingga kejadian yang menggoda pikiran. Mulanya, seorang kakak memposting di WhatsApp (WA) story-nya perihal takaran rezeki. Yang bunyinya saya tulis dalam tanda kutip dibawah ini:
"Allah ketika menakar rezeki kepada setiap hamba-Nya, maka sesungguhnya takaran Allah adalah takaran yang tidak pernah salah, sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan hajat yang diperlukan setiap manusia. Allah memberikan dengan dengan sebuah catatan, siapapun yang dilapangkan maka itu ujian baginya, dan siapapun yang disempitkan maka itupun ujian baginya,"
Karena agak panjang, dan agar tampak lebih enak dibaca di Steemit, saya coba bagikan dua paragraf;
Siapapun yang dilapangkan, maka Allah melihatnya sebatas mana ia bersyukur. Dan ketika Allah sempitkan kepadanya harta maka sesungguhnya Allah pingin melihat sebatas mana kesabaran dia Ketika mendapatkan takaran yang disempitkan Allah SWT." -Ust Oemar Mita-
Saya yang membaca wa story itu, mulanya berkomentar ringan dengan; 'luar biasa'. Sebenarnya, saat itu lebih ke iseng saja. Namun, setelah itu, saya coba balas agak panjang, kira-kira begini:
°°Itulah mengapa syukur harus dikedepankan. Tapi mengeluh dengan takaran yang pas, (juga) bagian dari pada tau ukuran diri dalam (syukur). Bahwa, di hadapan-Nya, dengan segala takdir-Nya dan upaya kita, sungguh bila tak Kun, selamanya tak Fayakun. Barangkali (agaknya) begitu.°°
Lalu, kami hanya tersenyum sambil bergumam lalu diketiknya, adem sekali Jumat ini dapat pesan demikian. Sebenarnya, tak ada maksud serius. Lebih ke sama-sama saling luwes saja. Namun, mengambil ibrah dari percakapan juga ilmu yang baik.
Setelah itu, saat saya pergi Jumat, satu kejadian lucu terjadi. Ketika khatib baru saja membacakan muqaddimah, tiba-tiba mati lampu dan tanpa ginset otomatis. Yang lucu bukan mati lampunya, tetapi kejadian seorang jamaah; ia tertidur pulas dan terdengar jelas suara ngoroknya.
Sontak di tengah hening dan tidak adanya suatu kipas angin, suara ngorok itu terdengar nyaring. Para jamaah sudah saling berhadap-hadapan. Namun, tidak ada yang mencoba membangunkannya. Saya ingat, bapak itu mengenakan pakaian batik warna dasar krem, dengan motif kecil mirabelella dan hijau.
Di tengah kelucuan dan mungkin juga kecemasan orang-orang, saya memilih melatih diri untuk berhusnudhan. Saya perhatikan kulit bapak yang ngorok itu, hitam dan tampak bintik-bintik, saya lihat urat-urat di lengannya begitu tampak. Wajahnya, lelah sekali.
Saya tidak tahu namanya, dan tidak bertanya apa profesinya. Boleh jadi, beliau lelah sekali. Barangkali ia berkerja sebagai buruh kasar. Kalaupun ia ngorok, saya tetap menaruh respek. Bagi saya, ada banyak di luar sana yang profesinya buruh kasar tapi enggan untuk Jumat-an, dengan dalih kecapekan atau kotor. Hal serupa, sejatinya juga dilakukan oleh yang non buruh kasar dan hadir dari berbagai profesi dan typologi lapisan masyarakat.
Bapak itu mengajarkan saya, untuk tetap berbaik sangka, sekalipun di tengah keadaan menjengkelkan. Bapak itu mengajarkan saya untuk tetap tenang, sekalipun tingkah di hadapan seharusnya sah-sah saja mendapatkan reaksi.
Selesai dua rukun Al khutbah, ia pun bangun. Sayang, banyak mata yang memandang bapak itu dengan sinis. Wallahu
Thanks for using eSteem!
Your post has been voted as a part of eSteem encouragement program. Keep up the good work! Install Android, iOS Mobile app or Windows, Mac, Linux Surfer app, if you haven't already!
Learn more: https://esteem.app
Join our discord: https://discord.gg/8eHupPq