Bila suatu identitas bergerak secara substansial, maka dalam pandangan Peripatetik, itu tidak dapat diterima karena tidak ada suatu ketetapan, sehingga tidak dapat ditegasnya adanya sebuah identitas.
Tetapi apakah sebenarnya identitas itu?
Di sini kita dapat menemukan "kecurangan" filsafat Sadra. Sadra tidak menjadikan mental sebagai justifikasi final bagi filsafat. Dia mengacu pada realitas. Tetapi apa-danya realitas itu bila tidak terpahami? Di sinilah Ibn Sina menegaskan bahwa justifikasi itu harus pada mental. Bila tidak, buat apa, atau setidaknya, peduli apa kita pada realitas bila tidak terpahami? Sadra akan menjawab: Pemahaman itu tidak mengindikasikan pengenalan mental semata? Ibn Sina akan mengatakan pada Sadra: Anda itu filosof atau 'arif?
Apa sebenarnya objective filsafat itu?
Secara umum diketahui: filsafat itu harus berlandaskan pada premis rasional. Jadi, dia harus sesuai sistem penalaran. Sebab itulah Ibn Sina tidak membuat argumentasi kecuali premisnya rasional. Sadra setuju dengan Ibn Sina dalam hal ini.
Tetapi Ibn Sina terlalu fanatik dengan Aristoteles. Contoh kasus adalag gerak. Bagi Ibn Sina, bila substansi bergerak, maka dia berubah jadi identitas lain. Sehingga gerak substansi itu bertentangan dengan prinsip identitas dan non kontradiksi.
Masalah muncul bila menerima gerak substansi adalah, tidak ada sesuatu yang niscaya bagi suatu identitas, semuanya adalah dalam gerak terus menerus. Bila aksiden yang bergerak terus menerus, itu wajar karena identitasnya masih bila dikonsepsikan.
Jika demikian, berarti gerak substansi itu bukan filsafat. Di sinilah letak permasalahannya. Sebagian orang menilai Mulla Sadra bukan filosof (hakim) tetapi mistikus ('arif). Gerak substansi itu benar dalam prinsip 'irfan. Tetapi sebagian lainnya menilai Sadra adalah filosof karena dia merumuskan gagasannya dalam landasan proposisi-proposisi filosofis.
Tetapi itu benar keculai: gerak substansi. Gerak substansi tidak memiliki argumentasi filosofis. Ia adalah konsekuensi dari himpunan gagasan Sadra yang lain. Semua itu berangkat dari prinsip simplisitas dan prinsipalitas wujud.
Di mata Thabattabai, Sadra adalah filosof sejat. Tetapi Khumaini melihatnya sebagai mistikus.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, keseluruhan kerja Sadra adalah memfilsafatkan mistisme Ibn 'Arabi.
Sudah di vote ya bg, hehehe
Mantaap bg