Kau tuang nanti saja cairan kopinya. Itu tak menarik bagiku. Tempurung hatiku bergumam, manis dan pahit sungguh senada saja.
Mengapa bisa, katamu. Tentu aku tahu pikiranmu tampak telanjang kebingung-bingungan. Sementara aku terus saja memetik gitar dengan nada sumbang.
Dalam diam, sambil kau nikmati secangkir kopi panasmu, bukan aku tak tahu kau menatapku dalam-dalam. Ingin ku berkata, pejam saja bola matamu. Biarkan ruh-ruh kecil menjawab semua keraguan itu. Bila perlu, rasukilah belahan dadaku, pasti kau menemukan namamu terukir di lantai hatiku. Sumpahku tak mungkin kusapu ukiran itu.
Wahai kasih, lelaki mana yang tak tertarik dengan ciptaanNya seperti kau.
Rona memerahnya bibirmu, guraian panjang rambut halusmu, indahnya kulit yang membingkai tubuhmu. Itu semua bisa kurasakan walau tanpa menatap parasmu.
Hal bodoh apa yang mengitarimu, hingga bersusah menunggu jawaban sesosok insan dungu? Manis pahit cairan kopi pula yang kau harapkan ada jawabnya. Janganlah kau buat aku semakin terpingkal-pingkal melucu.
Pejamkan saja bola matamu, nantikan semua ilusi yang berlalu-lalang. Temukan manis pahitnya di sana. Walau aku tahu itu tak mudah bagimu. Tetapi, jangan kau melebur ke dalamnya.