(sumber gambar: inpirasi.co)
Saya fikir benar kata abang saya beberapa waktu yang lalu. Dia menyarankan pada saya agar membaca karya-karya post-kolonialisme. Alasannya sangat sederhana, katanya kita adalah sekumpulan manusia yang baru lepas dari zaman yang tidak ada bedanya dengan zaman kolonialisme, hanya saja barangkali dengan pengistilahan yang berbeda saja. Jika ada yang mengejekmu karena hal itu sangat tertinggal, katakan saja padanya berarti; kau membaca tapi tidak membaca konteks, begitu katanya padaku.
Aku mengembara, menyelam kembali dalam tubuh Chairil. Pada ketidak pedulian dan individualis. Di depan kelas dan di koran-koran, guruku menulis rajah-rajah, trik-trik mencintai dengan sangat buta pada negara. Lalu membacakan mantra-mantra, agar mulus berkekasih tanpa makna.
Guruku berteriak di koran-koran minggu. Menempelkan kekonyolan penjilatannnya di kolom opini. Dengan sajak-sajak, kutukan fundamentalis, dan is is yang lain, dia mengangkangi kelaparan yang mencipta otak sparatisme dan ekstrimis. Tapi dia tidak pernah bicara nasi, melainkan baginya dengan mantra-mantra nasionalismenya itu semua sudah selesai.
Bagaimana aku mengagumi paradigmamu, kalau hanya apologi-apologi yang kau tawarkan. Dan, kau sanjung-sanjung sektarian milenialmu. Apa lagi yang harus kukagumi? Apa bedanya opinimu dengan status WA-ku, nyentrik cuman tak bernas lagi. Begitulah aku seusai membaca kumpulan mantra-mantra kebanggsaanmu. Dan, untuk sastrawan-sastrawan, diam sajalah dalam anjung dan proyek gaya percintaan, kecupan kaum urban.
Yi Lawe.
Yogyakarta, 2018.
Congratulations @yilawe! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of upvotes received
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Dahsyat.