"Siapa yang tak geram, tak marah bila pendapat umum telah dimatikan di muka umum"
Hak berpendapat umum merupakan kebebasan mengemukakan pikiran, ide, gagasan dan konsep dengan bebas di muka umum. Kebebasan berpendapat ini juga mencakup pemenuhan hak asasi manusia. Diatur oleh undang-undang dan pasal yang membuat semua memiliki kemerdekaan berpendapat. Jika benar demikian, maka semua orang ingin menyuarakan pendapatnya tanpa ada pelarangan apalagi bahasa persekusi.
Persekusi adalah pemburuan/penghakiman sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah serta ditumpas (KBBI V). Persekusi ini menjadi narasi gawat darurat yang menerpa bangsa ini, kini kebebasan semakin tidak dihargai dan otoriter makin menjadi-jadi. Lalu pertanyaan yang timbul adalah, apakah sifat kebuasan atau otoriter akan berlangsung selamanya?
Kecemasan terhadap kekalahan, atau ketakutan direbut kekuasaannya membuat ide narasi pemberedelan, tuduhan, ujar kebencian, kebebasan berpendapat dan persekusi semakin menggeliat di tengah kepuasan orang-orang merayakan kemerdekaannya. Kematian demokrasi menghantar kita makin gagap dalam menyikapi sebuah narasi. Keributan selalu diciptakan demi menghalangi sebuah sikap kritis, hingga perpecahan makin didewakan, sedangkan isi pendapat terlupakan di dalam tenaga yang kehabisan melawannya.
Berita miring akhir-akhir ini terjadi, mendekati hajatan pesta demokrasi, maka dekat pula dengan catatan buruk dalam bernegara, kini persinggungan telah memuncak sampai pada tatanan pejabat, juga telah membumi sampai kepada rakyat bawah. Kebijakan politis dan keinginan melawan dipertemukan di medan laga, tak ada jalan perbaikan, jika aparat tunduk pada perintah, sementara rakyat tak ingin diperintah.
Keseruan ini akan berlangsung, semua merasa benar sampai kebenaran semakin membias dari permukaan, jika kemerdekaan berpendapat telah dimusnahkan, maka intrik jahat akan menjadi pemenang dalam kontestasi.
Negara ini butuh kontestasi pemenang yang lebih arif, juga butuh orang yang kalah dengan bijak. Sehingga dugaan-dugaan kejahatan itu tidak diproduksi lebih banyak lagi.
Catatan ini ditulis seorang petani di desa, yang membuat ia betah bertani karna ia ingin menanam kebaikan sebanyak mungkin, bukan menimbun tanah di lapak orang miskin, di tanah yang bukan milik pengusaha. Selama kemerdekaan berpendapat masih ada, maka selama itu pula anak petani akan menulis.
Puisi:
Apabila bunga telah mati, jangan sampai kau ikut mati
apabila suara telah redam, jangan sampai kau ikut diam
apabila usul sudah tak diterima, jangan sampai kau ikut dilema
apabila semua masih ingin, jangan sampai kau jadi dingin
Ributlah dengan pekikan suaramu
esok matahari akan mengabarkan
bahwa kemenangan telah tiba
(DamarManakku, Jeneponto, 2018)
Posted using Partiko Android
Mari berantas. Jangan bungkam kawan..
Posted using Partiko Android