Pagi, terik terhalang awan. Mentari mendesak awan. Tapi tak bisa. Angin ikut berperan, menggeser
awan. Tapi, tak membuat mentari bisa hantarkan panasnya. Pohon pinus mercusi, coba menahannya.
Tak mau kalah, mentari tembuskan sinarnya. Melewati celah pohon dan daun pinus. Berpendar. Jadilah siluet. Akh... Aku terpana, terpesona.
Deru mesin kumatikan. Tercekat memandang keindahan alam ini. Aku tahu, keadaan ini tak lama. Dan ckrek... Ckrek.
Kampung ini, dipagari bukit, juga gunung. Menancap ke bumi. Menjadi paku. Dipunggungnya, puluhan jenis pohon, rumput, bunga dan burung bersemayam.
Hamparannya, dibuat petak-petak berlumpur. Disebut sawah. Tempat menanam padi, Tumbuhan yang sudah Sunatullah menyambung nyawa. Untuk para khalifah, manusia.
Dihamparan itu, berdiri rumah, - rumah sederhana. Dari bahan kayu. Sekedar melepas penat. Menahan terik dan angin.
Hamparan sawah ini terus didesak. Dipaksa hilangkan air dan lumpurnya. Padi digantikan rumah dan jalan. Atau bahkanpokok kopi. Yang nantinya ditukar beras.
Di hamparan ini pula, ditanami sayur atau menambatkan ternak, bagian dari ekosistim hidup manusia.
Kemana lagi hendak pergi? Kapasitas lahan yang terbatas ini terus diisi.
Diisi keinginan yang nafsu. Diekploitasi. Sampai batas toleransi bumi.
Setelah itu, tunggu saja dan lihat apa yang akan terjadi...
Karena kita seringkali lupa, bumi dan isinya adalah "Silent Army", milik Allah. Dan siaga menunggu perintah
Wow mantap habis...
Berizin @afkarhakimgayo