Memperingati Maulid di bulan Maulid (Rabi'ul Awwal) adalah hal yang lumrah. Hampir seluruh dunia melakukannya. Kecuali bagi mereka yang tidak sependapat dengannya. Namun memperingati Maulid bukan di bulan Rabi'ul Awwal adalah sebuah hal yang kontroversional. Mendongak ditengah keramaian. Mendobrak kebiasaan. Apakah ini suatu kesalahan?
Tulisan ini terinspirasi dari pertanyaan beberapa tamu pada acara peringatan Maulid dan Haul Almarhum Allah yarham Abu Muhammad Hasan bin Qasim - Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Langsa dan juga sekaligus Pendiri Dayah Darul Abrar, Gampong Alue Beurawe, Langsa - beberapa hari yang lalu. Para tamu bertanya, kenapa masih ada Maulid padahal sudah masuk bulan Rajab? Bukankah Maulid dilaksanakan di bulan Rabi'ul Awwal?
Iya, pada dasarnya peringatan Maulid memang dilaksanakan pada bulan Rabi'ul Awwal setiap tahunnya. Yaitu bertepatan dengan bulan dimana Rasulullah dilahirkan. Hal ini dilakukan sekaligus mengenang hari Beliau dilahirkan dan mengingat peristiwa-peristiwa penting yang terjadi mengiringi kelahiran Beliau.
Perkara maulid adalah perkara muamalah, bukan perkara ibadat yang menuntut kepada dalil yang memerintahkannya. Syari'at tidak mengatur secara ketat perihal muamalah. Syari'at hanya memberikan rambu-rambu agar tidak menyimpang dari kebenaran. Pedoman dasar bermuamalah adalah kaidah ushul fiqih :
“Wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u saariful ibahah”
Artinya : “Dan hukum asal dalam kebiasaan (adat istiadat) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Dasar pelaksanaan peringatan maulid adalah mengungkapkan rasa gembira atas lahirnya Nabi akhir zaman. Kelahirannya adalah rahmatan lil 'alamin. Rahmat, kurnia bagi alam semesta.
Ungkapan kegembiraan itu bisa dilakukan kapan saja, dimana saja dan dengan acara apa saja. Selama tidak menyimpang dari ajaran yang telah dibawa oleh Rasulullah.
Karena peringatan maulid ini tidak terikat dengan dalil, baik secara waktu, tempat maupun cara pelaksanaannya, maka kita menemukan banyak sekali variasi dan model acaranya.
Dari segi acara, misalnya, ada yang melakukannya dengan membaca Al-Quran, bershalawat, membaca sirah nabawiyah dan dakwah Islamiyah. Bahkan ada yang melakukannya dengan memperbanyak sedekah. Baik dalam bentuk harta maupun makanan. Aceh adalah salah satu contoh tempat, dimana masyarakatnya melakukan perayaan maulid dalam bentuk sedekah makanan (kenduri).
Begitu juga dari segi waktu. Kita menemukan waktu yang beragam dalam memperingati momen ini. Ada yang melakukan di tanggal 12 Rabi'ul Awwal saja. Ada yang melakukan di bulan Rabi'ul Awwal saja. Bahkan ada yang melakukannya dalam waktu yang panjang, seperti di Aceh. Masyarakat Aceh memperingati Maulid sampai 100 hari (3 bulan 10 hari). Mulai dari 12 Rabi'ul Awwal sampai pertengahan bulan Jumadil Akhir.
Sekali lagi, karena peringatan maulid ini adalah perkara muamalah yang tidak terikat dengan dalil dan merupakan wujud ungkapan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Maka bukanlah suatu kesalahan melaksanakannya di luar bulan yang telah menjadi kebiasaan (adat).
Sudah kami upvote ya..
Oke. Terima kasih... 😁
Mantap..!! Terus mencerminkan norma keindahan islam di sini..!!!
Terima kasih banyak atas dukungannya...