Prolog
Aku iri padamu. Tawa lepas yang kau lerai dan wajah aneh tanpa dosa yang kau pasang kala memandang. Tatapan itu yang melekat dan membuatku berani berujar "Beli di mana bajunya?" pertanyaan yang telah lama terpendam akhirnya terungkap.
Tidak banyak yang mampu menarik perhatianku. Biasa, jalan lurus tanpa melirik kiri kanan adalah pilihan, namun entah mengapa enkau masuk dallam radius pandang yang mencuri perhatian. Mengusik alam bawah sadar hingga akalku mencerna cepat "Aku kagum padamu"
Kau ingat apa jawabmu saat tanya tentang baju itu terlontar? Di bis mahasiswa, aku duduk di sebelah supir, dan kau berdiri sebab padatnya aktifitas kampus kala itu memaksa tertampungnya mahasiswa secara paksa dalam satu bis yang sepatutnya hanya mampu merangkul 40an orang saja.
Waktu itu, tatapanmu membuatku menceploskan kata yang lama terpendam tanpa maksud untuk mengutarakan. Kau, yang kukira terkejut dan tak tahu bagaimana menentukan sikap mengucap ketus "Jahit" kukira itu pertanda bahwa kau membuka kesempatan untuk pembicaraan selanjutnya. Namun ternyata aku kehabisan kata-kata dan kita berpisah menuju kelas masing-masing selepas turun di gedung yang sama.
Aku iri padamu, halus tutur dan kosakatayang tak pernah memaksa. Pada setiap cobaan yang mampu kau lalui hanya dengan mengeluh pada Ilahi. Atas tiap nasihat yang blak-blakan kau ucap. Atas tangismu kala kuabaikan sebab kau tak peduli pada dirimu sendiri dan bergerak membantu orang lain.
Aku iri padamu dan telah kusampaikan itu.
Lhokseumawe, Aceh 23 Juli 2018
From Paperplane to Rain with miss perfect
Meski sayapku patah dan menyerah kala bertemu engkau. Kepasrahan itu menjelmakan aku menjadi lebih baik.