Dan kitapun mengusir petak berlumpur. Menggantinya dengan tanah gunung, ditimbun.
Kita meratakan gunung dan menimbun lembah.
Tanah berlumpur berhias petak menjadi rata. Diatasnya membangun istana. Dari barang kawe sepuluh campuran tanah, pasir, batu dan semen. Bata dan batako.
Tanah petak berlumpur digusur rayuan jaman. Lembut diganti keras. Tak ada lagi bulir padi yang menunduk karena matang.
Yang tersisa rumput liar yang selalu tegak.
Kita cuma bilang, mau apalagi. Hidup harus dijalani. Tanah petak berlumpur adalah warisan yang tidak dibeli. Mau kemana lagi?. Tanah datar dan tinggi, mahal sekali. Pilihan murah hanya di tanah berlumpur dihias dengan petakan.
Kita lagi - lagi bilang, mau apa lagi. Beras bisa dibeli. Puluhan ton setiap hari, beras dikirim dari pesisir.
Jika saja macet sehari, penduduk tanah tinggi ini akan segera mati.
Membangun, menggusur, menimbun. Menjadi keseharian cerita hidup dengan alasan hidup dan tempat yang terus terbatas.
Dan kita adalah perencana yang menghancurkan. Bukan yang melestarikan dari semua sistim yang kita punya. Dan kita anggap modern yang hebat.
Peganglah kepala. Tapi resah bukan disana. Di hati.
A betul bng. Demi terwujudnya impian rela mengorbankan harta warisan. Begitulah potret kehidupan saat ini
@zegan.gayo ike tos kirimen oros ari paloh, rere meh kite..
Sering miris dengan gambar terakhir bg.
@evizamk saya teringat sebuah kata bijak, bahwa kita saat ini sedang meratakan gunung dan menimbun lembah. Merubah wajah bumi demi uang. Ini salah satu contoh di jalan paya tumpi-paya ilang.. Benar benar miris... Semua orang bisa berbuat sesuka hatinya...
@evizamk teringat sebuah kata bijak bahwa saat ini kita sedang meratakan gunung dan menimbun lembah demi dan atas nama uang. Kita berbuat sesuka hati tanpa hitungan kedepan.. Miris memang