GADIS TAK BERSENYUM

in #life7 years ago

Gadis itu berdandan sangat sederhana. Seragam abu-abunya bahkan terkesan kuno. Kemeja putinya yang tersetrika rapi agak longgar dan rok abu-abunya nyaris berakhir di bawah lutut. Sungguh jauh dari gambaran gadis masa kini yang terlihat modis. Tapi, wajah sosok sederhana itu sangat menarik perhatian.
“Panggil aku Dian.” Ujarnya.
Kelas hening. Bukan hanya wajahnya, suara dan bibirnya pun menyihir. Tak ada celetukan iseng atau suit-suit menggoda dari anak laki-laki yang biasa terjadi ketika ada pendatang baru.
Suara gadis bernama Dian itu sangat tipis. Orang harus menegakkan telinga untuk mendengarnya. Namun itu tak terlalu istimewa. Bisa saja karena gadis itu grogi atau malu-malu kucing. Ada yang belum diberikan Dian sejak kakinya memasuki ruang kelas. Sesuatu yang sangat lumrah, bahkan wajib kau keluarkan jika dirimu ingin diterima dilingkungan baru. Yaitu senyum.
Wajah Dian tak bersenyum. Rautnya bagai terpahat dari batu, kaku tanpa ekspresi. Lalu bibirnya, ketika ia menyebutkan namanya dengan suara lirih nyaris tak terdenga, hanya membuka sekian mili.
Sungguh gadis yang misterius bagiku. Tak lazim jika seseorang yang baru pindah sekolah raut wajahnya hanya ekspresi datar yang terlihat. Seperti patung yang tak punya ekspresi menurutku.
“Dian silahkan kamu duduk di bangku yang kosong itu.” Ucap Pak Holif sambil menunjuk bangku kosong yang ada di sampingku.
Jantungku berdetak kencang seperti bom yang akan meledak ketika Pak Holif menyuruh Dian untuk duduk di bangku kosong itu. Bangku itu kosong tak ada penghuninya. Dulu Denis yang menempatinya. Tapi sudah sejak semester II, Denis pindah ke sekolah yang ada di Bandung karena orang tuanya menetap disana.
“Permisi….”
Gadis itu bekata lembut. Wajahnya masih dingin. Tanpa menuggu jawabanku, ia menggeser kursi yang ada di samping. Semua kepala menoleh kepadanya. Wajah-wajah dan tatapan penasaran terfokus pada Dian.
Tapi apa yang bisa terjadi? Aku mengkeret di bangkuku, tertunduk dalam-dalam sambil mencorat-coret buku tulisku. Jantungku melompat-lompat ketika suara lirih itu membelai telingaku.
“Siapa namamu?” Bisiknya.
Dalam tundukku, ku tolehkan kepala, lalu kusebut namaku secepatku tarik kepalaku ke posisi semula.
“Reka”, panggil saja Reka, jawabku.
“Pelajaran apa sekarang?” Tanya Dian sambil sibuk mengeluarkan alat tulisnya. “IPS sejarah” jawabku.
Aku menoleh dan memperhatikan wajahnya. Masih dingin tanpa ekspresi. Pandangannya lurus ke depan menyimak Pak Rudi yang mulai mengajar. Ku hela nafas dengan berat. Ekor mataku kembali menjelajah sebelah wajahnya yang diam bagai pahatan batu. Bibir itu basah dan merah jambu. Rapat mengatup dalam diam yang misterius. Aku berharap ia menoleh dan mengeluarkan suara tipisnya. Juga tersenyum. Aku menunggu sebuah senyum. Sesuatu yang kelak ku tahu mustahil ku dapat dari seorang Dian.
Aku baru kelas X, sekolahku tepatnya di daerah Bojong Gede, Bogor. Aku memang agak pendiam dan tidak banyak bicara dengan teman-temanku yang ada di kelas. Setiap kali istirahat aku lebih sering ada di kelas. Lebih asik dengan corat-coret curhatanku di atas meja yang menjadi teman saat aku menulis.
“Ini jadwal pelajaran kelas kita.” Ujarku sambil menyodorkan buku catatanku di meja tepatnya di hadapan Dian.
“Kamu hanya tinggal menyalin saja, di pinjem juga boleh ko.” Ucapku. Tapi Dian diam saja. Ia memandangku sebentar.
Seperti biasa bibirnya tidak senyum. Dalam hatiku berkata “ini orang apa patung.”
“Terima kasih” ucap Dian datar jemarinya yang kurus dan putih melihat jadwal pelajaran yang ada di buku catatanku. Dian menutup buku catatanku.
“Betul boleh aku pinjam? Aku juga sekalian mau lihat catatan kamu, boleh pinjam ga?” Tanya Dian.
Kepala Dian sempat menoleh ke arahku. Namun, secepat kilat aku alihkan pandangan ke buku catatan. Aku pemalu. Lebih tepatnya pengecut. Jangankan menatap seorang gadis, menatap siapapun lawan bicaraku pun aku tak berani. Yang bisa kulakukan hanya diam-diam menikmati wajah Dian. Magnet wajah tak bersenyum itu semakin kuat menarik kisi hatiku.
Jari-jari kurus itu tengah mengetuk-ngetuk di atas buku tulis bergambar logo Liverpool, klub bola favoritku. Hati ini mendadak kosong. Penantian akan seulas senyum dari bibirnya. Bagaikan pungguk merindukan bulan. Walaupun duduk berdampingan kami bagaiakan dua patung yang tak serasi. Aku dengan diamku karena minder dan Dian dalam diamnya yang angkuh. Kalaupun kami bicara Cuma ada perlunya. Selebihnya hanya basa-basi kecil yang tak berarti.
Lima hari sudah Dian duduk di sampingku. Tak pernah ada senyum di wajahnya. Pada jam istirahat, ia langsung mengeluarkan novel dan membacanya dengan khidmat. Itulah yang sering dilakukan oleh Dian.

Kehadiran Dian di bangku sebelahku sejujurnya membuatku senang walau ia sama sepertiku yang agak pendiam. Biasanya disaat pelajaran yang membosankan atau pada jam istirahat aku selalu menuliskan suasana hati diatas meja tempat dudukku. Aku jarang keluar kelas apalagi ke kantin. Seorang teman sebangku kini kudapat. Ia senyap, tapi selalu membuat hatiku riuh.
Hari demi hari terasa terlewatkan begitu saja. Namun, wajah Dian masih sama seperti pertama kali ia pindah ke sekolah ini. Wajah tanpa ekspresi. Setiap ada kesempatan aku selalu menoleh ke arah Dian. Berharap ada senyum di wajahnya.
Saat ulangan geografi pandangan Bu Ratih diedarkan ke satu-persatu muridnya yang sedang bergelut dengan soal ulangan yang ia berikan. Kelas terasa hening. Lebih dari setengah jumlah murid terlihat gelisah. Terlalu banyak hafalan dalam pelajaran geografi dan Bu Ratih tipe guru yang senang meminta jawaban panjang. Aku tak menyangka teman sebangku selesai paling pertama. Entah apa yang ia isi, mungkin jawaban yang Bu Ratih minta telah ia kuasai.
Usai ulangan geografi istirahat pun tiba. Seperti bisa Dian lebih senang membaca novel dari pada keluar kelas. Hingga saat ini aku jarang melihatnya keluar kelas. Aku memberanikan diri untuk mencari senyum wajahnya.
“Dian boleh aku pinjam novelnya” ucapku. Dian diam saja tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ah, aku pun tak berani untuk mencari senyumnya.
Waktu pulang sekolah sudah tiba. Entah apa yang tejadi. Dain tiba-tiba bertanya padaku.
“Kamu mau pinjam novel ini, boleh ko bawa aja tapi jangan lama-lama ya pinjamnya.” Ujar Dian.
Aku pun segera meresponnya “Bener ni boleh minjem.” Ucapku. Dian pun langsung memberikan novelnya kepadaku dengan wajah yang berbeda dari biasanya.
Aku berani bertaruh…., aku melihat sinar mata itu dipenuhi kerlip yang memercik indah. Senyumkah itu, Dian? Itukah yang selama ini aku tunggu? Penantianku tidak sia-sia. Akhirnya kulihat juga senyum indah di mata Dian. Sungguh aku bertekuk lutut jatuh disenyumnya.
“Ah…. Dian. Tahukah kamu, senyum kau cantik sekali!