Kata Noni sering terdengar dalam penyebutan perempuan keturunan Belanda, sering pula kita jumpai dalam suasana pentas seni (nama tokoh) dalam sebuah rekaan cerita dengan sosok indo-bule,cantik, rambut pirang, hidung mancung dan gincu merah menghias di pipinya.
Tapi bagaimana jika Noni dalam buku novel karya seorang penulis hebat asal Makassar, Yudistira Sukatanya dengan judul "Noni Societit de Harmoni" mati mengenaskan di dalam sasana panggung pertunjukan?
Noni dalam cerita ini adalah seorang penjaga gedung kesenian di Makassar, ia mati dibunuh, dan penulis masih menyimpan kerahasiaan siapa pembunuhnya. Gedung kesenian Societit De Harmonie ( sekarang gedung kesenian sulsel) diselubungi suasana kabung. Halaman bangunan kolonial tampak dipadati bunga duka cita. Karangan bunga ini berwarna hitam dan putih yang dikirim oleh sejumlah warga ternama di Makassar, termasuk para konsul yang mewakili negara Denmark, Swedia, Norwegia, Inggris, Prancis, Jerman, Portugal dan Cina.
Tragedi pembunuhan Noni memang keji. Di Makassar, pada April 1934, pengacauan dalam kota Makassar sangatlah gencar, kaum nasionalis mulai menyerang pos-pos para penjaga serdadu Belanda, ia merampas senjata dari tangan Belanda.Perang berkecamuk dimana-mana, perlawanan dari rakyat pribumi sangatlah beringas hingga pada akhirnya, kota Makassar seperti diserang api. Semuanya melarikan diri, bahkan hampir-hampir kota menjadi Mati.
"Akhirnya kau selalu disini, Noni.
Tuhanlah yang maha perkasa,
kuasa menentukan atas segalanya
Hidup dan mati manusia
Raga hanyalah persinggahan sesaat bagi jiwa
Selamat jalan, jiwa yang terbebas"
Bersambung..