Semalam baru aja nonton film "The Stoning of Soraya" (Hukuman Rajam Soraya), sebuah film yang diangkat berdasarkan kisah nyata yang berhasil memenangkan Director's Choice Award dalam Festival Film Internasional Toronto 2008.
Jujur, emosi ku tak tertahankan. Perasaan miris dan sedih atas nasib yang menimpa Soraya (pemeran utama) yang harus di lempar batu (Rajam) oleh masyarakat sampai mati atas kesalahan yang tidak pernah dia lakukan, bercampur dengan perasaan geram tiada terkira atas perlakuan Ali, (suami Soraya) yang berhasil memfitnah istrinya hingga di Rajam sampai mati, hanya karena kepentingan syahwatnya (ingin menikah lagi dengan seorang wanita remaja berusia 14 tahun) di tolak Soraya.
Last night just watched the movie "The Stoning of Soraya" (Punishment Rajam Soraya), a film based on a true story that won the Director's Choice Award at the Toronto International Film Festival 2008.
Honestly, my emotions are unbearable. Feelings of sadness and sorrow over the fate that befell Soraya (protagonist) who must be thrown rock (Rajam) by society to death for mistakes that he never did, mixed with unexceptionable feelings over the treatment of Ali, (husband Soraya) who successfully slander his wife up to Rajam to death, just because of his lust (want to marry a 14-year-old girl) in Soraya rejection.
Namun ada satu hal yang membuat saya tidak suka dengan alur film ini. Seperti kebiasaan film Hollywood lainnya, lewat simbol-simbol Islam seperti seruan "Allah Akbar", wanita berhijab, ulama bersorban yang selalu membawa Al Qur'an, film ini seakan memberikan pandangan bahwa Islam adalah agama yang keras dan primitif. Film ini hanya melihat pada satu sisi saja, tanpa melihat sisi secara keseluruhan dari hukuman rajam itu sendiri. Sangat tidak adil rasanya ketika komponen positif & negatif hanya disandarkan pada satu sisi saja.
Kemudian alat bukti yang di hadirkan juga tidak memenuhi unsur dari ketentuan Islam sendiri, dimana hanya dua orang saksi yang di hadirkan (sementara di dalam Islam, hukuman rajam baru bisa dilakukan ketika ada 4 orang saksi yang melihat secara langsung).
Disini, saya sedikit "ilfeell" dengan film ini.
But there is one thing that makes me not like the flow of this movie. Like other Hollywood movie habits, through Islamic symbols such as the call of "Allah Akbar", the veiled woman, the sacrificial scholar who always carries the Qur'an, the film seems to give the view that Islam is a hard and primitive religion. The film only looks at one side only, without seeing the whole side of the stoning itself. It is very unfair when the positive & negative components are based on one side only.
Then the evidence presented does not meet the elements of the Islamic law itself, where only two witnesses are present (while in Islam, stoning can only be done when four witnesses see it firsthand).
Here, I'm a little "ilfeell" with this movie.
Bahwa kisah tersebut adalah cerita nyata, benar. Saya tidak membantah. Tetapi, hukum Islam juga mengatakan bahwa pembuktian terhadap pelaku zina tidaklah mudah. Seharusnya, film ini juga menampilkan sisi yang ini. Sehingga alur cerita nya menjadi berimbang.
Tetapi, tidak bisa di pungkiri, film ini telah membuat satu bulir air mata saya menetes. Betapa tidak. Lewat film tersebut, saya melihat perempuan tidak memiliki hak sama sekali untuk membela diri. Perempuan seolah hanya dijadikan sebagai "pelengkap" atas kebesaran Tuhan yang maha kuasa.
Sureyya when she was 9 years old. this is one of his original Sureyya photos
Jangan jadikan perempuan hanya sebagai penghias vas bunga di atas meja.
That the story is a true story, true. I do not argue. However, Islamic law also says that proof of adultery is not easy. It should also feature this side. So that the story line to be balanced.
However, it can not be denied, this film has made a tear my eye drops. Why not. Through the film, I see women have no right at all to defend themselves. Women as if only made as "complementary" to the greatness of God Almighty.
Do not make women just as a decorative vase on the table.
suka menonton film ini.