Setiap daerah memiliki budaya, adat istiadat, dan ciri khas tersendiri. Di antara daerah dalam naungan Provinsi Aceh adalah Kabupaten Aceh Jaya. Aceh Jaya merupakan anak baru dalam provinsi Aceh. Berdirinya bersamaan dengan beberapa kabupaten/kota lain di Aceh dan Indonesia, yakni tahun 2002.
Pada tahun 2003, barulah dibangun Anjongan Aceh Jaya di Taman Ratu Safiyatuddin, Banda Aceh. Pembangunan Anjongan Aceh Jaya pada masa pemerintahan Ir Zulfiyan Ahmad. Pada tahun 2002, Aceh Jaya baru pemekaran dari kabupaten induk, yakni Aceh Barat. Artinya belum ada bupati terpilih dan belum pernah digelar pesta demokrasi. Namun kala itu Ir Zulfiyan Ahmad memangku jabatan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Aceh Jaya.
Anjongan tersebut dibangun sebagai wujud partisipasi Aceh Jaya dalam pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA-IV). Juga menindak lanjut intruksi gubernur Aceh Abdullah Puteh, yang mengharuskan setiap kabupaten/kota wajib memiliki anjongan di Taman Ratu Safiyatuddin. Diceritakan, pembangunan anjongan tidak memiliki persiapan yang matang, sehingga nilai budaya dan adat Aceh Jaya sulit ditemukan dalam setiap ornamen bangunan. Semestinya, pembangunan anjongan harus mencerminkan nilai budaya dan adat daerah yang terkenal dengan keturunan mata biru. Hal tersebut wajar terjadi, sebab Aceh Jaya baru terbentuk tahun 2002. Sedangkan anjungan dibangun tahun 2003. Dalam gerakan pemerintahan, ini merupakan langkah cepat dilakukan oleh pemerintah yang baru lahir dengan anggaran terbatas.
Kontruksi bangunan berbentuk enam sudut. Hal ini menginsyaratkan bahwa Aceh Jaya memiliki enam kecamatan. Keenam sudut tersebut saling berkaitan dan mengokohkan bangunan. Menandakan, enam kecamatan menjadi penggerak kemajuan pada tingkat Kabupaten Aceh Jaya. Di samping perlunya budaya gotong royong untuk membangun beragam sektor di Aceh Jaya.
Namun tahun berikutnya terjadi pemekaran, sehingga total kecamatan di Aceh Jaya menjadi sembilan. Pemekaran kecamatan dipandang penting oleh tokoh tertentu, sebagai upaya mempercepat pembangunan tingkat kecamatan. Pemekaran kecamatan tidak berpengaruh pada perubahan anjongan.
Bangunan tersebut dikerjakan oleh rekanan, yaitu Yah Gam, sebutan masyarakat Calang. Diceritakan, Mufijar menyerahkan segala jenis dan model bangunan pada Yah Gam. Setelah penulis konfirmasi pada Yah Gam, ia hanya menerima intruksi sesuai yang telah diserahkan oleh Mufijar. Artinya desains bangunan oleh pihak pemerintah daerah yang juga terlibat Mufijar. Sedangkan Yah Gam hanya menjalankan berdasarkan keinginan pihak kabupaten.
Setelah rampung pembangunan, Marwan yang kala itu menjabat sebagai Sekretaris Daerah Aceh Jaya mempertanyakan maksud bangunan dengan ukiran yang tidak mencirikan khas Aceh Jaya seperti bangunan anjongan lainnya.
Dalam wawancara pertama, responden mengaku bahwa Anjongan Aceh Jaya memang tidak didesains sebagai khas Aceh Jaya. Tetapi, Mufijar menjelaskan, seni ukir pada bagian tolak angin merupakan manifestasi dari rumah adat Aceh Jaya yang berasal dari Lamno. Juga beberapa ornamen bangunan merupakan adopsi dari makam Raja Negeri Daya, Sulthan Salathin Alaidin Ri’ayat Syah. Masyarakat Aceh mengenalnya dengan sebutan Poe Teumeuruhom. Konon makam Poe Teumeuruhom adalah situs sejarah andalan Aceh Jaya.
Untuk memperindah suasana. Anjongan Aceh Jaya dicat dengan pilihan aneka warna. Namun pilihan warna kuning lebih domiman. Bukan tanpa alasan. Warna kuning bangunan samakna dengan lada hasil bumi Aceh Jaya. Kuning juga merupakan warna pakaian adat yang kerap digunakan oleh Raja Daya saat itu. Sedangkan warna hijau menandakan banyak tumbuhan subur di Aceh Jaya.
Anjongan Aceh Jaya digunakan sebagai pusat pesta lima tahunan. Dalam catatan pengelola di Bagian Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Jaya, anjongan tersebut baru digunakan empat kali. Lebih lanjut, anjungan juga dapat digunakan untuk segala kegiatan masyarakat Aceh Jaya yang di selenggarakan di Ibukota Provinsi Aceh. Kini, anjongan akan difungsikan oleh IKAJAYA (Ikatan Masyarakat Aceh Jaya) Banda Aceh sebagai sekretariat. Juga oleh mahasiswa Aceh Jaya dalam agenda tertentu.
Sejak pertama dibangun, anjongan baru mengalami satu kali rehabilitasi, tepatnya tahun 2017. Dana rehab yang dikucurkan 60 juta. Beberapa tiang penyangga retak akibat bahan material yang digunakan tidak berkualitas. Diceritakan, air yang digunakan dalam campuran semen adalah air asin, sehingga daya tahan bangunan berkurang. Selain itu, lokasi yang berdekatan dengan air asin pula mempengaruhi daya tahan bangunan.
Pada masa rehabilitasi, tidak ada perubahan warna dan ukiran. Renovasi cat sesuai dengan warna dasar pada saat didirikan 2003 silam. Dengan penyegaran warna bangunan, Anjongan Aceh Jaya terlihat lebih cerah dan memanjakan mata.
Posisi Anjongan Aceh Jaya menghadap ke timur, sedangkan bagian belakang menghadap ke barat. Dari arah depan terdapat satu serambi, yang menandakan pintu utama. Lewat pintu utama, pengunjung bisa menyusup ke ruang tamu. Sebelah kanan dan kiri pintu utama diapit oleh dua jendela berwarna cokelat. Jendela berfungsi untuk menerangkan kamar bagian dalam, dan agar hawa dingin terhembus ke dalam ruangan.
Ketika berada dalam gedung, akan terlihat dua ruang utama sebagai tempat penyimpanan barang pameran. Sedangkan di ruang terbuka terdapat panggung kecil yang tidak terlalu tinggi. Panggung berbahan kayu itu terletak di sudut belakang ruangan, dengan menghadap ke pintu utama. Panggung ini biasa digunakan untuk meletakkan benda-benda budaya, alat-alat tradisonal yang sengaja dipamerkan di even tertentu.
Bila menelusuri bagian belakang gedung, akan terlihat pula serambi belakang. Bentuk dan warna serambi belakang persis sama dengan serambi utama. Dari pintu belakang biasanya para pengunjung ke luar jika pintu utama berdesakan. Di taman belakang gedung, terdapat balai sederhana. Yang biasa digunakan untuk tempat salat dan istirahat sejenak.
Abu Teuming