_"Salah satu cara agar Anda bisa menjalani kehamilan yang berhasil adalah dengan sebanyak mungkin mempelajari apa yang terjadi sehingga Anda tidak merasa cemas"_
Seharusnya rasa bahagia menyelimuti pasangan muda yang menantikan kehadiran buah hati melalui kehamilan. Namun, kebahagian itu tiba-tiba berubah menjadi rasa cemas, terutama bagi yang pertama kali menghadapi kehamilan.
Itulah yang aku dan suami rasakan saat mengetahui diriku positif hamil. Perasaan senang dan cemas campur aduk, bagaimana kehidupanku berikutnya dan apa yang terjadi di hari-hari selanjutnya.
Aku pun memberi kabar baik ini kepada suami dengan memperlihatkan alat tespek yang menunjukkan garis dua. Dia tidak mengerti maksudku karena tidak ada bertuliskan kata 'hamil' di alat tersebut. Aku menjelaskan maksud tanda tersebut sesuai dengan penjelasan yang tertulis di bungkusan alat tersebut.
Ekspektasiku dia akan memelukku sambil menunjukkan perasaan bahagia seperti kebanyakan sinetron yang dipertontonkan di televisi. Nyatanya sikapnya biasa saja, tanpa ada komentar apa pun. Dia mengambil handuk dan langsung menuju kamar mandi. "Mungkin dia belum connect karena baru bangun tidur," piikrku. Namun, perasaan cemas itu terus muncul mengira apakah dia tidak menginginkan kehamilanku?
Padahal sebelumnya, dia yang sangat mengingkan aku hamil agar bisa cepat jadi ayah dan mengajak anaknya main-main dan traveling. Melihat reaksinya pagi itu, aku pun jadi ragu apakah dia sudah siap untuk menjadi orang tua?
Selesai dia mandi, barulah dia menghampiriku dan mengucapkan syukur alhamdulillah. Akan tetapi, wajah cemasnya tidak bisa disembunyikannya. Wajah senang yang diselimuti kekhawatiran.
Beberapa hari setelah itu, dia sering menanyakan apakah benar ada janin yang tersimpan di dalam rahimku mengingat pernikahan kami baru dua bulan. Padahal sebelumnya kami sudah memeriksakan ke bidan. Entah apa yang dipikirkannya, hingga kenyataan hamil itu mulai bisa diterimanya saat memasuki minggu ke-10.
Tidak hanya dia, aku pun mulai mencemaskan keadaanku, terutama karena berat badanku yang kurang dan tidak ideal untuk ibu hamil. Tambahnya lagi aku mempunyai riwayat sakit lambung akut sehingga saat hamil sensasi mual dan muntah pun muncul kembali.
Untungnya ada ibu, kakak, dan saudara-saudara ibuku yang terus mendukung dan memotivasiku selama awal kehamilan itu. Sedangkan suamiku harus belajar banyak lagi bagaimana memposisikan diri sebagai calon ayah dan suami dalam mendampingi istrinya selama hamil.
Di awal kehamilan itu, banyak kesalahpahaman kecil yang menyulut emosiku kepadanya. Ada saja hal yang membuatku marah, terlebih aku berfikir dia tidak peduli terhadapku dan sibuk dengan kegiatannya. Apalagi kebiasaannya pulang malam dan keseringan kumpul bersama teman-teman, membuatku merasa kurang diperhatikan. Akibatnya ketika malam, aku selalu mengomelinya walau tak ada perlawanan darinya kecuali permintaan maaf.
Hingga pada akhirnya, berita panggilan pun datang dari kantornya bahwa dia ditugaskan ke Lhokseumawe selama 20 hari. Satu sisi, aku merasa sedih karena jauh darinya, tapi di sisi lain aku senang karena dengan begitu dia akan belajar lebih banyak ketika jauh dariku. Toh, aku tinggal bersama orang tuaku yang masih bisa merawatku.
Sebelum berangkat, dia menyampaikan kepadaku bahwa sikapnya selama ini bukan berarti dia tidak peduli kepadaku, tapi karena ini merupakan tahapan baru bagi kehidupannya.
"Aku butuh belajar dalam hal ini. Saat mengetahui kamu hamil, bukannya aku tidak senang. Justru akulah yang paling bahagia, tapi mendengar kabar itu aku merasa seperti mimpi bahkan aku seakan tidak percaya bahwa aku sudah menikahimu. Jangan kamu samakan aku seperti kebanyakan sinetron yang dipertontonkan di televisi dan super lebay, aku butuh waktu untuk menerima kenyataan ini dan belajar menjadi suami dan calon ayah. Ini pengalaman pertamaku dan aku sedang mengsugesti diriku bahwa aku sekarang adalah seorang suami dan calon ayah. Jadi, bila ada kelakuanku yang membuatmu kurang nyaman lantaran sikapku, mohon dimaklumi karena aku sedang belajar. Bukankah pernikahan ini sebagai sekolah bagi kita untuk membentu rumah tangga?" ucapnya kepadaku.
Aku pun menyadari bahwa perasaan cemas itu tidak hanya ada pada diriku, tapi juga dia yang sangat mencemaskan kehamilan pertamaku. Kami pun sama-sama belajar menjalani kehidupan baru di fase awal yang bernama kehamilan.
Catatan:
- Semua orang memiliki kecemasan selama hamil, terutama kehamilan pertama.
- Perasaan cemas atau khawatir merupakan bagian alamiah kehamilan.
- Salah satu peran yang paling ampuh dalam memerangi kecemasan ialah pengetahuan.
- Komunikasi dengan pasangan sangat diperlukan selama masa kehamilan, khususnya kehamilan pertama. Jangan menganggap suamimu mengerti keinginanmu tanpa dikomunikasikan dengan jelas karena pengalaman ini merupakan pengalaman pertama baginya yang butuh pembelajaran dan adaptasi.