Telepon yang hampir bersamaan dari dua orang anak saya baru saja berakhir. Keduanya sedang menuntut ilmu di sebuh pondok pesantren yang jauh dari rumah. Tak kuasa air mata yang menggantung sedari si kakak bicara luruh sudah. Deras dan semakin deras. Selain rasa kangen karena empat bulan tidak bertemu, juga memikirkan uang bulanan mereka.
Uang saku menipis dan belum bayar SPP, kecuali diawal dan sebulan selanjutnya. Saya menghela napas panjang sambil beristiqfar. Sungguh jika hanya menggunakan pikiran masalah tidak akan selesai. Diujung pembicaraan saya bilang pada keduanya, doakan bapak dan ibu dilancarkan rezekinya. Semoga lima hari ke depan sudah bisa kirim uang ke pondok.
Keyakinan saya hanya satu, jika Allah masih menghendaki dua buah hati saya mencari ilmu di pondok berarti akan ada jalan. Air mata saya pupus sembari menambah keyakinan, in sya Allah akan ada rezeki.
Sore itu kakak yang duduk di kelas 3 SMA pulang dari kunjungan di salah satu kampus di kota kami. Dia bukan bercerita tentang hasil kunjungannya, justru menceritakan salah seorang teman perempuan yang duduk satu kursi di bis.
Katanya si teman punya penyakit aneh, suka menyakiti dirinya. Menyayati silet di kulitnya, hal itu dilakukan bila dia merasa gagal dalam belajar. Malu dianggap tidak pintar. Bahkan pernah mau bunuh diri. Kakak yang penasaran berusaha mencari tahu alasannya, ternyata si teman sering dibanding-bandingkan dengan saudara lain yang lebih pandai di akademik. Orang tuanya cukup mampu, sampai hari ini dia menjalani terapi rutin pada psikiater. Ih, ngeri kata si kakak.
“Bunda, kakak jadi tambah bersyukur, meski kita sedang kekurangan kita masih memiliki iman. Kakak ngeri kalau bayangin dia, padahal dia ikut les di bimbel terkenal. “
“Alhamdulillah, kalau kakak mengerti. Bahwa tidak selamanya berlimpah materi membuat orang bahagia. Yang penting semua disyukuri. Kita sehat lahir dan batin”.
Rasanya adem mendengar kalimat si kakak. Apalagi dia tidak malu sambil berjualan di sekolah, lumayan labanya bisa untuk tambahan beli buku.
Telepon berdering membuat saya jantungan, kalau-kalau yang di pondok menghubungi lagi. Ternyata bukan, seorang saudara memberi kabar bahwa istrinya dibawa pulang ke jawa karena harus cuci darah.
Gagal ginjal yang diderita tidak memungkinkan dirawat di rantau. Katanya lagi sarana di sana tidak mencukupi. Saya terkejut, karena baru tahu istri saudara tadi terkena gagal ginjal diusia muda. Mereka memiliki dua putra yang masih balita. Saya terduduk lemas, rasanya berat membayangkan sakit yang tidak ada obatnya, kecuali cangkok ginjal.
“Bunda kenapa lemas, sakit?” tanya kakak. Saya menggeleng.
“Enggak, bunda kaget Kak, dengar bulikmu sakit gitu. Dulu tetangga kita hanya bertahan tiga tahun, meski rajin cuci darah.”
“Bulik kenapa bisa kena gagal ginjal sih, Bun?” tanyanya lagi.
“Kata si om, pola makan bulik waktu belum nikah tidak terkontrol. Gulanya tinggi, punya darah tinggi juga, setahun lalu kadar kreatin sudah tidak bisa ditolerir. Ternyata benar gagal ginjal.”
“Berarti ginjalnya tidak bisa difungsikan, masya Allah ngeri ya. Bun? Terus hidup bulik bergantung dengan cuci darah. Wah... pasti butuh uang tidak sedikit untuk itu.”
“Dasar bakul, uang melulu,” goda saya.”Ya, jelas biayanya tidak murah. Kita berdoa yang terbaik untuk bulik. Karena kita juga tidak tahu jatah hidup kita sampai kapan.”
“Alhamdulillah, kita diberi kesehatan dan bisa beribadah dengan baik.” Timpal si kakak serius. Ah, terkadang baru sadar kakak sudah hampir lulus SMA.
Dua peristiwa membuat hati saya merasa malu. Masih ada rasa khawatir tentang rezeki. Harusnya lebih mensyukuri nikmat hidup ini. Tetiba saya ingat ketika baru saja menikah. Saya dan suami sama-sama sedang menyelesaikan skripsi.
Mengkontrak 2 kamar dengan kamar mandi antri beramai-ramai, karena yang kontrak ada beberapa keluarga. Berjualan roti keliling dari warung ke warung. Dengan perut buncit saya menghadapi ujian skripsi. Lulus kuliah melahirkan dan tetap menjadi kontraktor selama lima tahun lebih.
Tidak memiliki perabot rumah tangga yang lengkap, memasak pakai kompor minyak, tidur juga tidak punya ranjang. Semua kami jalani tanpa keluhan dan terus berjuang. Perjalanan panjang sampai Allah memberi kemurahan rezekinya.
Saya menangis lagi mengingat semua yang sudah saya alami. Allah begitu sangat baik kepada kami. Jika hari ini rezeki itu belum dilapangkan, bukankah dulu juga pernah mengalaminya. Semua bisa terlewati. Mungkin faktor anak yang memicu saya terus berpikir. Alasan inipun tidak akan dibenarkan. Ada anak atau tidak semua harus diyakini dan dijalani. Karena Itulah hakikat iman.
Usai shalat ashar saya memperhatikan dua motor di garasi yang dibeli tiga tahun lalu. Kondisinya masih baik. Satu untuk sekolah kakak, yang satu untuk antar jemput adek yang SD. Ini motor memang harus ganti pemilik. Pikir saya mantap.
Ternyata si bapak mempunyai pemikiran yang sama dengan saya. Kebutuhan menuntut ilmu lebih penting dari apapun (materi). Motor dijual untuk mengirim uang ke pondok, sisanya untuk keperluan lain.
Rasa lega menyelimuti, Allah memudahkan motor itu terjual. Hari itu juga motor laku dengan harga diluar perkiraan saya. Rezeki saya dilipatkan, si pembeli yang masih saudara menyisakan uangnya untuk saya. Rasa haru dan syukur terucap mengingat setahun terakhir jualan benar-benar sepi.
Si kakak juga ikhlas motornya dijual, dia memakai motor lama yang biasa untuk jualan. Alhamdulillah wa syukurillah. Nikmat Allah tidak bisa kita hitung dengan jari dan nominal materi.
Nikmat sehat, nikmat memiliki anak yang baik dan salih, nikmat bisa tersenyum meski sedang dirundung duka. Semuanya harus dinikmati. Subhanallah, tidak mampu otak kita untuk menjangkaunya.
Allah SWT berfirman:
اُولٰٓئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّا ۗ لَهُمْ دَرَجٰتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ
"Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia."
(QS. Al-Anfal 8: Ayat 4)
Inilah kehidupan, karena sebenarnya kita tidak memiliki apapun. Termasuk jiwa dan raga yang ada dalam diri kita adalah milik Allah Azza wa Jalla. Suatu saat akan diambil dan kita hanya bisa berpasrah!
Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تَمُوْتَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ كِتٰبًا مُّؤَجَّلًا ۗ وَ مَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَا ۚ وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الْاٰخِرَةِ نُؤْتِهٖ مِنْهَا ۗ وَسَنَجْزِى الشّٰكِرِيْنَ
"Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 145)
Kalasan, 06 November 2018.
Cerita yang Luar biasa dan sangat terinspirasi. Thanks for sharing.
Posted using Partiko Android
Terima kasih sudah mengapresiasi. Salam kenal dari Jogjakarta.
Posted using Partiko Android
Memang utk kita bisa mensyukuri apa yg kita miliki, kita harus berkaca diri agar bisa bersyukur, segalanya adalah milik Allah Swt.