Berita Serambi Indonesia kemarin memberikan perasaan bercabang ketika saya membacanya. “Tiga kampus di Aceh Terindikasi Paham HTI”, kata Wakapolda Aceh, Brigjen Pol. Bambang Soetjahyo (Serambi, 29/9). Seperti diketahui Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah dibubarkan Pemerintah Indonesia sebagai implikasi pemberlakuan UU Ormas No. 17 tahun tahun 2013. Sebenarnya UU itu disahkan sejak masa Pemerintah SBY-Boediono, tapi tidak kunjung diimplementasikan.
Tentang pernyataan Wakapolda Aceh itu tentu bukan isu kacang rebus. Sebagai pimpinan kepolisian kedua tertinggi di Aceh tentu komentarnya jauh dari efek Apa Lahu atau Apa Tanya. Catatan intelejen pasti memberikan kesimpulan dan statistik. Namun yang perlu dilihat bagaimana indikator tentang ke-HTI-an kampus-kampus di Aceh yang tiga itu.
Bisa jadi virus khilafah juga sudah masuk di benak dosen. Mungkin bisa dilihat dengan munculnya pengasaman pemahaman atas nasionalisme, yang salah satunya keengganan menghormati bendera Merah Putih. Tentang momentum menghormati bendera, kejadian yang terbaru dilaksanakan oleh komunitas pemerintahan dan perguruan tinggi adalah perayaan 17 Agustus lalu.
Tahun ini saya ikut upacara bendera itu, seperti juga tahun lalu. Tahun lalu saya mendapatkan undangan untuk mengikuti upacara di Istana Negara, tapi karena tak memiliki biaya saya batalkan hadir. Tahun ini upacara bendera dilaksanakan di kampus utama Universitas Malikussaleh, Reuleut, Aceh Utara.
Secara psikologis, saya merasa tak ada yang spesial. Yang spesial mungkin karena baru kali ini saya membeli baju Korp Pegawai Republik Indonesia (Korpri) setelah bertahun-tahun. Baju Korpri awal yang saya miliki berwarna hijau toska. Warna terbaru lebih ranum birunya. Demikian pula peci, baru saya beli di toko souvenir pada malam sebelum upacara.
Sebenarnya saya bukan pengikut upacara bendera yang konsisten. Bertahun-tahun lalu saya agak malas mengikuti upacara beginian. Penyebabnya tak lain suasana kampus yang tidak begitu nyaman. Setelah terjadi reformasi kampus, meskipun hanya setengah matang, suasana agak lebih sehat. Kali ini suasana lebih akrab untuk bercanda. Lebih cair dan lunak.
Satu hal yang menjadikannya bermakna adalah ketika harus menghormati Sang Saka Merah-Putih. Hampir semua kami melakukannya, kecuali seorang pejabat yang tidak menghormati bendera saat itu. Gosip pun terlesat di kalangan dosen dan karyawan. Saya tak ingin menyebut namanya di sini, karena bisa berakibat fatal. Apalagi di tingkat nasional baru ada Perppu yang menjadi alasan legal pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI); organisasi yang menolak demokrasi, konsep NKRI, dan memuja khilafah.
Ingatan akhirnya jatuh pada kisah-kisah yang hidup di sekitar. Kakek saya dari ibu adalah seorang veteran. Di masa tuanya orang-orang memanggilnya Tgk (Kapten) Ibrahim Hatta. Ia pernah menjadi pejabat di masa-masa awal pembentukan Kodam Iskandar Muda yang saat itu dipimpin Kolonel Husein Yusuf. Saya pandangi foto-fotonya masa itu. Dari cerita ibu saya, pada suatu waktu setelah DI/TII padam, ia sempat menghempang Hasan Saleh, panglima DI/TII.
Saya yakin bukan karena masalah ideologi tapi ada masalah-masalah lain. Revolusi kadang datang berbiang dusta. Histeria politik hanya yang dipandang mata publik. Namun kisah-kisah personal akan menjadi aib jika dipublikkan.
Kakek dari ayah saya, Teuku Abdurrahman, pernah menjabat wedana di Meulaboh. Pada masa DI/TII ia diburu hingga harus menghilangkan gelar “uleebalang”-nya, termasuk terhadap anak-anaknya. Di tahun-tahun terakhir hidupnya ia sempat diminta menjadi keuchiek di Peunayong, tempat tinggalnya dan menolak.
Di Aceh sendiri ambiguitas itu terjadi. Tgk Daud Beureueh yang sempat menjadi tokoh utama pendukung kemerdekaan RI akhirnya menjadi pemberontak. Tan Malaka, tokoh revolusioner yang lebih dahulu melawan kolonialisme dibandingkan Soekarno, Hatta, dan Sjahrir tak sepanjang waktu berjaya. Karya fenomenalnya Naar de Republik (Menuju Kemerdekaan Republik Indonesia) masih dibaca hingga sekarang, tapi ia dibunuh begitu saja oleh tentara republiknya sendiri.
Kalau para Steemians menonton film Pemberontakan G30S/PKI semalam di TV One tentu melihat sosok Mayjen Pranoto. Di Film itu digambarkan sebagai manusia licik. Padahal Soekarno saat itu telah memilihnya sebagai pelaksana harian tertinggi Pimpinan Tertinggi Angkatan Darat, tapi Mayjend Soeharto tidak senang dengan penunjukan itu. Dengan pelbagai manuver, dan tentu tak dijelaskan di dalam film, jenderal yang juga dikenal sebagai pejuang 45 itu ditangkap dan ditahan dibawah rejim Orde Baru selama 15 tahun tanpe pemeriksaan dan pengadilan! Kisah itu dituliskan di dalam memoarnya. Itulah film versi Orde Baru yang memperlihatkan hanya ada pahlawan: Soeharto dan Sarwo Edie Wibowo.
Demikian pula nasib Aceh, tidak seindah film India atau Korea. Daerah yang awalnya disebut sebagai daerah modal kemerdekaan Indonesia, pernah dituduh durhaka karena pemberontakannya. Pada masa panjang itu telah banyak yang tewas dan syahid. Papua yang menjadi modal lain bagi republik ini juga belum mendapatkan perdamaian yang layak. Ingatan saya merambat pada kenangan makam kakek saya di Taman Makam Pahlawan Banda Aceh, termasuk makam-makam lain yang sunyi tak bersuara. Saya ingat puisi Pablo Neruda, “Hanya Kematian” (Only Death/Solo La Muerte).
Di sana hanya ada pemakaman sunyi,
lubang kuburan diisi tulang-tulang tak bersuara
jiwa melewati sebuah terowongan
sunyi, gelap, pekat;
seperti sebuah kecelakaan kapal kita mati di dalamnya
seperti bekapan di hati
seperti sebuah rambatan, beranjak dari kulit masuk ke dalam roh kita
Jutaan warga Indonesia yang ikut upacara pada tahun ini pasti punya ingatan yang tidak tunggal. Ingatan itu adalah nafas yang menghidu terhadap orang-orang yang ada dalam lingkaran sejarah kita, yang hidup dalam foto-foto dan cerita. Pikiran pun pasti bercabang-cabang. Banyak ironi dalam nasionalisme upacara bendera. Tidak semua bisa kita urai sejelasnya di sini.
Maksud saya, apakah kita memperjuangkan nasionalisme bendera atau mendukung gagasan khilafah (mondialisme/globalisasi agama, pasar, teknologi), hendaknya nilai kemanusiaan, solidaritas sosial, dan persatuan bangsa menjadi pola utama. Jangan lupa, sejarah dan ingatan tentang kita, keluarga, tetangga, kampung, anti-kolonialisme dibangun di atas alas bangsa ini: Indonesia. Semua gugus Nusantara, termasuk daerah terluka seperti Aceh dan Papua, ada di dalamnya.
30 September 2017
Kita hanya manusia yang merasa pintar sehingga larut dalam pembodohan baik oleh dunia maupun oleh pemerintah, lingkungan, dan diri kita sendiri tentunya. Semua selalu cenderung dilihat salah dan buruknya tanpa dipelajari dengan baikmana baik buruknya, dan lalu merasa sudah baik sendiri, hebat sendiri, bagus sendiri. Sejarah dilupakan dan diabaikan, hanya diingat dan diangkat yang sesuai dengan kepentingan dan kemauan sendiri dan kelompok, tidak berdasarkan objektifitas untuk kepentingan bersama dan masa depan. Solusi demi solusi dibuat tanpa hasil hanya teori yang kemudian membuat masalah baru dan masalah lebih sulit untuk dibenahi. Nasionalisme pun kemudian dibuat seperti sebuah bentuk racism yang seolah tidak diperlukan. Yah, mau bagaimana lagi? Dunia ini tidak akan lebih baik jika kita terus demikian, jangankan dunia, negeri trmpat kita berpijak dan masa depan anak cucu kita pun, mau bagaimana? Salam hangat.
Refleksi yang bagus untuk lawan tanding pikiran ini... Saya tangkap sungguh2... Thanks
Thankyou for sharing @teukukemalfasya
you're welcome https://steemit.com/@nazarwills
Merdeka !!! bang @teukukemalfasya hehehe
Mardikaaaaa @manshar
Data intelejen meragukan....
Tapi saya meyakini karena yang omong pejabat yang berwenang
Nah lho, saya justru mau tahu informasi ini ----> Hampir semua kami melakukannya, kecuali seorang pejabat yang tidak menghormati bendera saat itu. Gosip pun terlesat di kalangan dosen dan karyawan. Saya tak ingin menyebut namanya di sini, karena bisa berakibat fatal.
Japri... Tulisan ini bs jadi legal evidence kalau dimasukkan disini
Tulisan ini layak di publish di media cetak... Mantap....
Danke syifu
Tabik...
NKRI harga mati ya bang
Harus jadi harga hidup...biar jangan atas nama nasionalisme mematikan orang yang berbeda
Saya punya ingatan serupa mengenai Mayjen Pranoto.
@originalworks
Boleh share https://steemit.com/@bahagia-arbi..... Atau mau buat tulisan sendiri... Sangat bermanfaat
Tulisan Bang Kemal sdh saya Resteem karena saya rasa tulisan itu sangat bernas!
Thanks Arbi.... Saya sebenarnya mau lempar ke media cetak, tapi karena saya kejar kecepatan, dan akhirnya hanya Steemit yang bisa paling cepat dan ternyata juga fee rewarded... Haha
hahaha...Steemit lebih praktis Bang Kemal. Keren!
The @OriginalWorks bot has determined this post by @teukukemalfasya to be original material and upvoted it!
To call @OriginalWorks, simply reply to any post with @originalworks or !originalworks in your message!
To enter this post into the daily RESTEEM contest, upvote this comment! The user with the most upvotes on their @OriginalWorks comment will win!
For more information, Click Here!
Special thanks to @reggaemuffin for being a supporter! Vote him as a witness to help make Steemit a better place!
Thanks @OriginalWorks to appreciate my article..
Imformasi yang sangat bermanfaat teukukemal.
Salam kangen dari abu
Kangen juga nih sama Abu, di dunia steemit kita bertemu
Itulah teuku. Tpi yakinkanlah. InsyaAllah. Suatu saat kita akan jumpa.
Yah begitulah mas, pada dasarnya adalah pergolakan politik itu didasari oleh keinginan berkuasa, bila Ada gejolak politik coba Kita kembali kepada sejarah awal oembentukan negara RI, disana baru Kita sadari arti sebuah oembentukan negara. Bukan hanya karena semata-mata karena beda ideology mau mendirikan negara sendiri yang berujung pada anarkis. Siip :)