(Noor Atika)
Tuhan menciptakan makhluk yang beragam dalam kehidupan ini, baik ragam yang tak tampak maupun yang tampak. Salah satu di antaranya, kita mengenal istilah sex dan gender. Istilah yang sudah sangat dekat dengan kehidupan masyarakat namun tidak sedikit dari kita yang salah memaknai perbedaan antara keduanya. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaburan makna antara sex ( jenis kelamin ) dan gender. Banyak orang yang memahami sex dan gender merupakan satu bagian yang sama. Istilah sex dalam kamus bahasa indonesia berarti “ jenis kelamin “. Perbedaan jenis kelamin ini merupakan identifikasi antara laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi yang sudah diperoleh sejak lahir. Sedangkan istilah gender berawal dari tahun 1977 ketika kaum feminisme dilondon tidak lagi menggunakan istilah ataupun isu-isu lama seperti patrialkhal atau sexist. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai “ perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di Indonesia sendiri bias gender merupakan masalah yang tidak dapat dihindari lagi, namun dari masyarakat sendiri seolah menutup mata dengan masalah ketidakadilan gender yang dibalut dalam budaya yang telah mengakar. Alhasil , tingkat ketidaksetaraan gender di Indonesia relatif tinggi. Semakin hari perkembangan ilmu pengetahuan sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia dan tanpa disadari juga diikuti oleh pemikiran tentang keharusan membedakan tiap individu berdasarkan kodrati yang ia miliki yang dipengaruhi oleh budaya yang dibawa oleh tiap individu. Dan hal ini tentunya akan berujung pada tindakan diskriminasi.
Banyak hal yang menyebabkan terbentuknya perbedaan-perbedaan gender , di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Kekerasan terhadap manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence. Pada dasarnya orang lebih familiar jika mendengar istilah kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan, pelacuran, pornografi, pelecehan seksual, diskriminasi terhadap homoseksual, PRT dan kaum-kaum marginal dan minoritas. Budaya patriaki dimana dominasi laki-laki terhadap perempuan sudah terbentuk sedemikin rupa dan tersistematis dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pada dasarnya , kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Efek yang terjadi akibat ketimpangan gender adalah melorotnya kualitas hidup perempuan. Dewasa ini kita masih sering mendengar kasus pendeskriminasian terhadap gender. Seperti contohnya, setiap wanita tidak perlu mendapatkan pendidikan hingga perguruan tinggi karena pada akhirnya ataupun kodrat wanita adalah menerima tanggung jawab di bagian domestik saja. Sementara laki-laki dinilai perlu untuk mendapatkan pendidikan hingga perguruan tinggi agar mampu meningkatkan status sosial dalam masyarakat. Isu tersebut memang bukan lagi hal yang asing di telingan kita. Akan tetapi jika dikaji lebih dalam, ada beberapa hal yang tidak bisa dibenarkan jika dilihat dari kebutuhan dan hak tiap individu. Dengan perkembangan zaman yang semakin hari semakin canggih, dan dengan banyaknya program yang dicanangkan oleh pemerintah agar tiap individu mendapatkan pendidikan yang layak dan agar tidak terjadi lagi pendiskriminasian terhadap salah satu gender terkhusus wanita, tetap saja masih ada daerah-daerah yang belum terjamah oleh program-program yang ada dan masih banyak wanita yang tidak mendapatkan haknya dibidang pendidikan. Ditambah lagi budaya yang masih mengikat di tiap-tiap orang sehingga banyak wanita yang tidak medapatkan haknya tersebut, terlepas apakah itu memang keputusan individu untuk tidak melanjutkan pendidikannya, atau dengan alasan karena tidak mempunyai biaya, dan yang paling miris diantara semuanya ialah seorang wanita yang memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan dengan banyak akses yang tersedia namun ada larangan dari orang tua agar tidak melanjutkan pendidikannya.
Bukan hanya pendiskriminasian saja yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan, namun terlepas dari segala perjuangan yang dilakukan agar mendapatkan izin dan akses dalam dunia pendidikan ternyata masih ada ketimpangan gender lain yang dirasakan oleh wanita diantaranya yaitu double burden atau beban pekerjaan yang diterima oleh salah satu jenis kelamin lebih banyak dari jenis kelamin yang lainnya. Dalam hal ini contoh kasusnya ialah, seorang wanita yang pada awalnya tidak mendapatkan izin dan akses untuk mendapatkan haknya dibidang pendidikan berusaha memperjuangkan nasibnya, namun setelah tujuan pertamanya telah tercapai ternyata ada hal lain yang lagi-lagi harus ia perjuangkan yaitu ia mendapatkan peran ganda sebagai mahasiswa yang penuh dengan kegiatan akademisnya dan ia juga mendapatkan peran sebagai seorang putri dengan kegiatan domestiknya yang harus ia kerjakan sebelum dan sesudah jam perkuliahan selesai. Ketidakadilan seperti ini terjadi dalam dunia yang penuh dengan ilmu pengetahuan namun bias gender ini juga turut serta dibungkus dalam bingkai keilmuan pula.
Ketidakadilan gender yang terus terjadi harusnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dan masyarakat, dimana kesetaraan adalah hak setiap orang. Baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya merupakan makhluk sosial yang keseluruhan kebutuhnnya harus dipenuhi tanpa pengecualinnya. Dengan zaman yang semakin modern dan ilmu pengetahuan juga semakin berkembang harusnya dapat mencabut akar dari ketidakadilan gender yang membudaya pada masyarakat.kebutuhan tiap-tiap gender memanglah berbeda namun bukan berarti dapat terjadi bias gender antara keduanya.