Zulfan sedang merengkuh gitar di dekapnya. Menggenjrengkan gitar dengan akord G-C-Am-D. Sekonyong ia berkata, “Lagu Boss kau itu keren!” ujarnya. Boss yang ia maksud adalah Bapakku. Meski kaget ia bisa tahu Bapakku pernah mencipta lagu, aku tak bertanya. Aku khawatir sobatku marah karena mungkin aku pernah menceritakan dan menyanyikannya dahulu. Aku lebih kaget lagi seandainya ia pernah mendengar Bapak melantunkan karya di hadapannya tanpa kehadiranku. Seingatku aku tak pernah berada di sebentang tempat bersama Bapak dan Zulfan sekaligus.
Lagu yang satu itu kuhapal dalam benak. Saat Zulfan memancing dengan genjrengan, aku langsung menyanyikannya. Tembang yang mengisahkan pertanyaan dalam diri seorang lelaki yang gemar merantau. Gelora muda di tubir renung. Perantau yang meninggalkan kampung untuk mencari kedamaian, bukan harta. Sementara tubuhnya telah lelah. Saat Bapak sudah merasa bimbang, mengikutkan kata hati untuk terus mencari kedamaian di rantau atau mendengar kata kaki yang telah lelah berjalan melipat jarak.
Ungkapan Zulfan tentang lagu itu melayangkan sebentuk tamparan yang menimbulkan memar-memar minder di pikiranku. Sebab aku belum pernah berhasil membuat sejudul lagupun. Padahal soal skill bergitar, referensi sastra dan musik, aku jauh melampaui Bapak, lelaki pedalaman Tamiang yang tak tamat SMP. Betapa meruginya bisa bergitar tapi tak mampu bikin lagu! Mungkin cukup layak jika kondisiku disebut memalukan.
Bukan aku tak berupaya. Sejak aku tahu Bapak pernah mencipta 3 lagu, sebentuk obsesi untuk merangkai nada menjadi gita telah tumbuh. Meski dahulu Bapak sempat memperingatkan untuk menjauhi gitar. “Nanti kau jadi pemalas! Setiap hari kau tak akan lepas dari gitar!” ujarnya memberi amaran.
Saat SMP, ia menambahkan ancaman dengan cara yang tak mampu kumengerti. “Kalau kau mau belajar gitar, jangan sekolah lagi. Biar kubelikan gitar, tapi kau harus kuasai dan bisa cari duit dari gitar itu!” paparnya. Aku tak berani memilih gitar. Bayangan gebyar suasana sekolah masih lebih berkuasa. Macam mana aku bisa meninggalkan keriangan masa pertumbuhan demi sebuah benda mati. Begitu pikiranku menolak tawarannya.
Akhirnya, setelah kudesak berkali-ulang, Bapakpun luluh. Ia bersedia mengajarku bergitar bersama setumpuk syarat. Terutama soal sekolah. Saat itu gitar pinjaman dari kawannya tengah berada di rumah. Bapak tak kenal banyak teknik. Ia cuma mengajarkan not dan kord dasar, tanpa fingering apalagi skala pentatonik dan diatonik. “Jangan belajar melodi dulu. Lancarkan pegang kunci. Kalau belajar melodi, nanti kau kecanduan berat!” ujarnya dengan nada tinggi.
Sebelum kuliah, aku mendapat kesempatan lagi untuk mendalami gitar. Sedikit lebih mendalami. Seorang anak dari Bapak angkatku menjadi mentor kedua. Setelah sekian lama tak melanjutkan pelajaran dari Bapak karena tak ada lagi gitar yang bisa kuakses. Menu fingering 8 jam sehari selama 6 bulan, skala minor yang bikin keriting jemari, bahkan sebodi gitar kopong ia berikan. Sebuah hidangan pengetahuan yang menghadirkan terampil di jariku.
Ingatanku terus melayang, melintasi waktu sembari menjengkal jarak, saat Zulfan berupaya menyisipkan suara dua di bagian refrain. Bersama kesadaran yang semakin menusuk, bahwa aku belum pernah mencipta satu lagupun. Pengaruh beragam musik yang kudengar membuat aku terbeban saat membuat lagu. Mesti bagus, easy listening, gampang lekat dalam ingat dan bermacam embel-embel lain yang menambah beban. Takut mirip dengan lagu lain juga menambah beban saat merangkai nada. Mungkin inilah kutukan pengetahuan; selalu berbanding terbalik dengan penemuan, atau penciptaan.
Mungkin orang-orang jaman dahulu bisa mencipta lagu lebih mudah sebab belum banyak nada dan irama yang dilantunkan. Ah… sepertinya itu cuma alasanku saja. Sebab selalu ada nada dan irama lagu yang baru di telinga. Bahkan sesudah Bohemian Rhapsody berkuasa sebagai komposisi agung telah tercipta sebelumnya. Buktinya, lagu Eh Malam Gam karya Zulfan telah menjamah telinga insan di penjuru Aceh. Terdendangkan oleh bibir-bibir rakyat, mulai sopir labi-labi hingga gembala sapi. Padahal, Ayahnya samasekali tak bisa bermain gitar.
Sumber Foto:
Keakuran Sang Diyus dan Sang Pan patut disyukuri, biasanya kedua Sang selalu berseteru, sampai semua tau bahwa perseteruan mereka sebenarnya adlah bentuk dari keakuran dan kemesraan mereka....
:)
Sukak kali ngomong tebalek-balek. Sok tau kali komennya. :D
*Baca pakek gaya si Abo