'Okinawa Time' (Jam Karet yang Dirindukan)

in #indonesia7 years ago (edited)


(Aki Nakazaki sedang memperagakan penyangraian kopi dengan kaleng bekas rokok Gudang Garam)

Aku mengenal kawan-kawan dari Jepang sebagai pekerja keras, serius dan nyaris seperti mesin. Tepat waktu dalam segala hal, fokus mendalami keahlian dan tekad kuat yang tak mampu kutandingi dengan mental Melayu yang bersemayam di tubuh.

Beberapa hari ini, semua stigma itu berubah saat bertemu dengan Aki Nakazaki (66) dan Natsumi Sugimoto(43). Tuhan dan Tanoh Gayo mempertemukanku dengan mereka. Dan… taraaa… aku menyadari bahwa mereka adalah Jepang yang aneh. Suami-Istri yang terkesan Bohemian. Hidup tanpa terikat dengan jadwal.

Aki dan Natsu sudah 13 tahun bekerja tanpa bertujuan mencari uang. Ia dan Natsu bekerja dengan kembali ke fase pola produksi food-gathering; mengumpulkan kerang, menombak ikan dan bertani bahan makanan sendiri. Semuanya dilakukan di pantai depan rumah mereka di desa Misumi, kota Hamada; Nama lokasi yang mengingatkanku pada lagu Hold On dan Fixing a Broken Heart lantunan Mari Hamada, lagu yang sempat hits di tahun ’90-an.


Source

Nama-Nama orang Jepang yang kukenal langsung seperti Tsubasa Enumoto, Chiho Kozakia, Momoko Higa, dan Erika Akita Inoue terkesan serius. Sementara Kayo Fujiwara, Jun (aku lupa nama keluarganya), dan Maya Mizuno masih memiliki keramahtamahan ala Timur. Secara keseluruhan, kesan serius, fokus dan pekerja-keras telah menjadi bagian tak terpisah dari identifikasiku terhadap orang Jepang.

Kita kembali ke Aki dan Natsu. Keduanya bertualang ke Tanoh Gayo untuk ‘mengalami kopi’ dari fase kebun, panen, penanganan pasca-panen, pengolahan, penjemuran, sortase, penyangraian dan penyeduhan. Mendampingi keduanya seperti membawa diri sendiri jalan-jalan. Selain itu, kunjungan mereka juga menjadi ujian mengenai pergaulanku di dunia kopi Tanoh Gayo. Ketika aku bertanya mengenai jadwal pulang dari tempat-tempat perkopian yang kami kunjungi –entah itu kebun, tempat penjemuran atau café– Aki selalu menjawab, “Cuma Tuhan yang tahu…” atau “Terserah Tuhan…”

Aku merasa ketauhidanku tersindir keras dengan jawaban penuh pasrah dari mulut Aki. Jika ada hambatan yang kami hadapi, dia juga selalu berkata, “Mungkin Tuhan belum mengizinkan,” ujarnya tanpa kesan sombong sedikitpun. Ungkapan ‘Mungkin Tuhan belum mengizinkan’ ia ucapkan saat merekam Maharadi membacakan mantra kuno ritual penanaman kopi di kebun miliknya. Lahan seluas 10 hektar di tepi Danau Lut Tawar yang terletak di kampung Temung, Bintang, Aceh Tengah.

“Mengapa Aki tak seperti orang Jepang lain yang kukenal? Mereka tampak hidup terlalu serius dan selalu seperti dikejar waktu…” imbuhku lagi.

“Orang Jepang banyak yang sudah jadi robot. Sudah sedikit sekali yang masih manusia,” jawabnya.
Natsu memberi tambahan. “Dulu di Jepang ada istilah Okinawa Time untuk orang yang tidak tepat waktu. Dan menurut saya itu bagus. Tapi sejak pemerintah membangun rel kereta api, budaya Okinawa Time sudah tidak ada lagi.

Wah… aku melongo dan nyaris terlompat kaget mendengar penjelasan Natsu. Jika disini kita sering kesal dengan tradisi ‘Jam Karet’, ia justru sedang merasa kehilangan sikap Okinawa Time yang sesungguhnya sepadan dengan kebiasaan terlambat hadir memenuhi janji.


Source

Sort:  

mantap kali diyus menginspirasi kita semua

kebiasaan kita (jam karet) mungkin bang, dibawa oleh penjajah era jepang, sehingga kita menikmati dan terlena selanjutnya terbuai dan kita merasa bahwa tidak tepat waktu adalah budaya asli kita sampai-sampai kita konsisten menjaganya, padahal itu okinawa times bukan budaya asli kita. padahal, kita punya watee kutaraja,

sambil seruput kopi robusta punya chek yuke

Mantap mameen